Share

ALAT PELUNAS HUTANG

"Apa? Tapi yang benar saja, Bu? Ide macam apa itu?" tanya Zahra kaget.

Sepulang kerja sore tadi, baru saja gadis ini melangkah masuk ke dalam rumah, kedua orang tuanya sudah menunggu dan menyambut di ruang tamu. Tanpa basa-basi sang ibu langsung mengatakan keputusan yang sudah diambil olehnya dan disepakati oleh ayah Daksa untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Sebuah jalan keluar yang nyatanya malah mengorbankan anak gadis satu-satunya tersebut. Tentu saja hal itu mengundang penolakan dari Zahra.

"Hanya ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan rumah ini. Lagipula bukankah tadi pagi kamu bilang akan melakukan apa saja agar rumah ini tidak akan jatuh ke tangan orang lain?" ucap Ibu Lita sinis.

"Iya benar Bu. Aku memang mengatakan hal itu tapi bukan dengan cara seperti ini juga. Bagaimana bisa kalian mengambil keputusan untuk menjadikan aku sebagai alat pelunas hutang ayah. Itu sama saja kalian menjualku kepada pemilik bar itu. Aku tidak mau, Bu. Aku tidak mau," tegas Zahra. 

Gadis itu benar-benar tidak menyangka jika dirinya akan mendengar perkataan seperti ini dari sang ibu. Titik air mulai jatuh dari sudut matanya. Hatinya merasa sakit. Dia sangat percaya kepada ayah dan juga ibunya akan tetapi kenapa sekarang mereka malah melakukan hal ini?

Mendengar penolakan dari sang anak, membuat emosi  Ibu Lita meninggi. Matanya melotot tajam kepada sang anak tiri. Dia berjalan mendekati gadis itu. Dengan kasar, Ibu Lita mencengkram lengan Zahra. Sedikit menekannya hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Lalu apa yang mau kamu lakukan. Tadi siang mereka sudah menghubungi ayahmu dan mengatakan untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan dan segera pergi dari rumah ini. Karena besok lusa, mereka akan mulai melelang rumah ini," jelas Ibu Lita dengan sedikit berteriak. Dia mendorong tubuh Zahra. Gadis itu pun terhuyung mundur beberapa langkah.

"Apa? Tapi kenapa bisa secepat itu?" tanya Zahra tidak mengerti. Matanya menatap sang ibu dan juga sang ayah bergantian.

"Mau bagaimana lagi. Bukankah permainan orang kaya seperti ini sudah biasa mereka lakukan untuk menjerat laki-laki bodoh seperti ayahmu. Yang tidak pernah berpikir sebelum bertindak," balas Ibu Lita sambil memandang sinis ke arah sang suami.

Merasa mendapatkan tekanan dari sang istri, ayah Daksa pun berdiri dari duduknya. Wajahnya memerah dan matanya ikut melotot. Dia menatap ke arah wanita yang sudah dinikahinya bertahun-tahun silam itu.

"Siapa yang kamu panggil bodoh? Hati-hati dengan ucapanmu Lita. Aku ini tidak bodoh," teriak Ayah Daksa.

"Tidak bodoh katamu? Lalu apakah seorang kepala rumah tangga yang berani menjadikan rumah beserta isinya sebagai taruhan di atas meja judi dan kalah, bisa dikatakan sebagai orang pintar?" balas Ibu Lita tidak kalah tinggi.

"Halah, kamu marah-marah seperti ini karena aku kalah, kan? Seandainya saja aku menang, pasti kamu akan menari-nari dan berdandan menor sambil jalan-jalan keluar rumah. Menghabiskan semua uang yang sudah aku dapatkan dengan susah payah di meja judi semalaman," sindir ayah Daksa.

Zahra terus menatap pertengkaran kedua orang tuanya dalam diam. Di dalam otaknya terus berpikir apa yang harus dia lakukan agar rencana dari sang ibu yang akan menjadikan dirinya sebagai alat pelunas hutang itu bisa gagal.

"Tentu saja itu akan aku lakukan jika kamu menang. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas seorang istri untuk menghabiskan semua uang yang didapatkan oleh suami? Tapi lihatlah sekarang kenyataannya. Kamu kalah, semuanya hancur. Dan aku sudah mengambil keputusan. Sang ayah yang berbuat ulah dan sang anak yang harus menebus semuanya," ucap Ibu Lita sambil menatap tajam ke arah Zahra.

"Bu, masih ada satu hari lagi besok kan? Aku akan mencoba untuk berbicara dengan pemilik bar itu agar bisa memberikan kita waktu. Jangan dulu mengambil keputusan seperti ini Bu," pinta Zahra.

"Tidak. Kalau kamu sampai melakukan hal itu, aku takut malah membuat pemilik bar itu marah dan akhirnya langsung mengusir kita saat itu juga. Lagipula mau sampai kapan kamu meminta waktu untuk melunasi semua hutang ayahmu yang jumlahnya sangat banyak itu? Tapi jika kamu membayarnya dengan tubuhmu, ibu yakin dia pasti akan setuju. Dan dalam sekejap mereka akan menghapuskan semua catatan hutang Daksa. Lalu kita juga tidak akan pernah kehilangan rumah ini untuk selamanya."

"Tapi, Bu…"

"Cukup Zahra. Ibu berkata padamu adalah untuk memberitahu keputusan Ibu. Bukan untuk meminta saran kepadamu. Jadi lakukan saja apa yang ibu perintahkan atau nikmati saja sisa umurmu dengan menangis melihat satu-satunya rumah peninggalan ibu kandungmu diambil alih orang lain. Selain itu, jika sampai itu terjadi, kamu tidak akan pernah  membayangkan apa yang bisa aku lakukan kepadamu karena sudah membuat hidupku menjadi miskin," ucap Ibu Lita. Zahra terdiam.

"Malam ini juga, aku akan menghubungi pemilik bar itu untuk mengakhiri semua masalah yang terjadi," ucap Ibu Lita kembali. Dengan dinginnya dia berjalan masuk menuju ke dalam kamar diikuti oleh sang suami.

"Ayah," panggil Zahra. Sang ayah berhenti dan menoleh.

"Apa?" ucap ayah Daksa tak bersemangat.

"Apa ayah bisa beritahu Ibu kalau ini bukan jalan satu-satunya yang bisa kita ambil? Kita bisa…"

"Sudahlah Zahra. Turuti saja kemauan ibumu. Hanya ini satu-satunya jalan agar kita bisa menyelamatkan rumah ini," jawab ayah Daksa.

Zahra sudah membuka mulutnya hendak berbicara lagi akan tetapi sang ayah mengangkat tangannya memberi isyarat agar anak gadisnya itu tidak berbicara lagi. Lalu laki-laki paruh baya itu berbalik dan kembali berjalan menuju ke dalam kamarnya. Meninggalkan Zahra yang masih bingung.

"Bagaimana ini?"

*** 

Suasana pagi yang cerah nyatanya tidak bisa membuat seorang gadis cantik bernama Zahra ceria. Bunyi burung bernyanyi serta kokok ayam yang bersahutan, nyatanya tidak bisa menyembuhkan hatinya yang masih terasa sakit. 

Zahra bangun dari tidurnya, membersihkan tubuh di kamar mandi lalu menyisir rambut panjangnya kemudian memoleskan make up tipis di wajahnya. Gadis itu duduk dalam diam menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia terus bergumam dengan suara yang lirih.

"Zahra, apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana kamu akan menghentikan rencana Ibu Lita?"

Setitik air mata kembali jatuh namun dengan segera dia mengusapnya. Gadis itu tidak bisa membayangkan bagaimana masa depannya jika apa yang diinginkan oleh sang ibu dapat terwujud.

Perlahan Zahra mulai melangkah keluar kamar menuju ke arah dapur dimana kedua orang tuanya sedang bersiap untuk sarapan. Gadis itu duduk di kursi yang sudah tersedia tanpa mau berkata apa-apa.

"Semalam ibu sudah menghubungi pemilik bar itu. Nanti sore dia akan datang ke rumah untuk bertemu denganmu. Jadi pastikan kamu bisa pulang tepat waktu!" titah sang Ibu.

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Be___mei
Semangat zahra ......
goodnovel comment avatar
Weka
duh, kasian amat si zahra
goodnovel comment avatar
Its Me
Ya ampun kesian amat Zahra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status