Share

2. Rumah Tua Sang Kuntilanak

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, kampung ini hanya berisi beberapa kepala keluarga. Mungkin tidak sampai seratus KK. Makanya, ada aura-aura jomblo, eh, sepi bin merana di kampung ini.

Kepala Desa yang sukses membuatku  merinding se-body-badan, namanya Pak Acung. Namanya unik, ya? Pria banget. Acung. Sempat ingin kubertanya kenapa namanya Acung, aku jadi segan bin worry. Tidak sopan. Toh, dia lelaki. Wajar NGACUNG. Eh, apa, sih? Ini kan cerita horror, bukan bo to kep. Ngacungnya digedein pula! Alamak!

Btw, balik lagi ke cerita kuntilanak. Siap-siap, ya? Jangan sampai NGACUNG, eh, berak dalam celana.

Kampung ini namanya Talu-talu. Namanya juga khas dan unik, Talu-talu. Seperti gendang yang dipukul, suaranya bertalu-talu.

"Kenapa dinamakan desa Talu-talu, Pak?" tanyaku begitu pertama kali datang dan singgah ke rumah Pak Acung, sebelum aku di-drop ke rumah kosong milik Nyai Romlah.

Pak Acung memiliki kumis tebal mirip Mas Adam-nya Mbak Inul. Kulitnya hitam dimakan matahari. Tubuhnya jangkung dan kurker. Sorot matanya, tajam dan membuat siapa yang memandang bergetar sebadan-se-body.

"Entahlah, sudah dari zaman itik menyangka dirinya ayam, kampung ini bernama Talu-talu. Masih untung namanya itu, coba bayangkan kalau namanya Bulu-bulu, atau Bolo-bolo? Apa enggak marah Tina Toon, nanti?"

Aku hanya bisa memutar biji mataku. Ya sudahlah, Pak. Pelit amat ngasih tahu. "Btw, tolong antarkan saya ke rumah yang katanya serem bin menakutkan itu, Pak. Saya sudah tidak sabar bin tabah pengen ke sana."

"Kuy-lah!"

Kami segera ngacung dan keluar dari rumah. Namun, Pak Acung menceritakan cerita yang kuceritakan ke kalian sebelumnya di dalam perjalanan, ketika senja merekah menjemput malam. Aura mistik dan kabut tipis membayangi langkah kami menuju rumah Nyai Romlah bin Rarashati.

Rumah itu lumayan terpencil dari rumah-rumah lainnya. Laiknya film horor, sebuah kisah misteri pasti berasal dari rumah-rumah tua dan angker. Menurut informasi dari Kang Gendang, eh, Pak Acung, kejadian Rarashati is dead itu terjadi lima puluh tahun yang silam. Udah lama banget, Cuy! Setengah abad dan itu seusia dengan Pak Acung. W-o-w! Wow!

"Ini rumahnya!"

Di depanku berdiri rapuh sebuah rumah yang telah ditumbuhi  akar-akar dan semak-semak belukar. Tidak terlalu jelas, tapi cahaya purnama masih mampu menerangi rumah tersebut.

"Tidak pernah dihuni, Pak?"

Pak Acung menahan napas. Wajahnya tegang. "Cuma di luarnya saja yang tidak bisa dibersihkan. Di dalamnya masih rapi dan bisa ditinggali."

Aku mengernyit heran, "Kok bisa, Pak?"

"Iya, tidak ada yang berani menebas belukar yang menutupi dinding dan atap rumah. Siapa saja yang melakukan itu, bisa jatuh sakit lalu mati dengan tubuh seperti disayat-sayat. Pokoknya, ngeri banget."

Kupandangi rumah tua tersebut dengan takjub.

"Di sebelah kanan rumah, kamu melihat pohon beringin tua itu ‘kan? Nah, di bawah pohon itulah kuburannya Rarashati."

Aku terlonjak karena begitu Pak Acung selesai berbicara, terdengar bunyi berdebum di dalam rumah. Jantungku cepat-cepot tak karuan rasa.

"Itu suatu pertanda kalau aku tidak boleh bicara banyak pada orang luar. Aku akan pergi. Kamu yakin masih mau stay dan memasuki rumah Rarashati?"

Hati kecilku mengatakan jangan, tapi egoku jauh lebih sombong. Aku menganggukkan kepala atas dan kepala bawah apakah dia juga mengangguk? Huss!

"Baiklah. Ingat, ya? Penerangan di dalam rumah hanya boleh dengan lampu togok. Cahaya senter dan sebangsanya jangan coba-coba di dalam rumah." Pak Acung menyerahkan sebuah lampu klasik yang ada di tahun 90-an. Kalian anak milineal mana kenal lampu togok. Gugel saja kalau mau tahu. Huh!

"Kenapa enggak boleh pakai senter, Pak?" Tentu saja itu sangat mengundang keheranan. Karena aku sudah menyiapkan senter dengan kapasitas sejuta Watt untuk penerangan. Hihihi.

"Biar beda aja gitu. Kalau senter sering dipakai orang-orang luar dalam mengejar hantu." Pak Acung nyengir badai. Aku kembali memutar biji mata.

"Ya sudah. Aku tinggal, ya? Ingat! Apa pun yang terjadi, hadapi sendiri. Jangan pernah libatkan siapa pun. Datang ke sini berarti siap mengorbankan nyawa. Saya tanya untuk terakhir kalinya, kamu yakin?"

Duh, Pak Acung bikin aku tambah ragu, deh. Ini udara malam semakin dingin. Aku butuh kehangatan. Mungkin dengan membakar rumah ini aku bisa hangat bin panas. "Saya yakin, Pak! 100 persen."

"Baiklah. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Yang jelas, begitu kamu memasuki rumah tersebut, kamu sudah tidak berada di alam manusia lagi." Pak Acung terkekeh. Tentu saja aku menganggap apa yang ia sampaikan suatu lelucon belaka.

Pak Acung segera berlalu dari hadapanku ketika telingaku menangkap suara terkikik. Kontan saja hatiku kembat-kembit. Aku hendak bertanya, tapi Pak Acung sudah buru-buru dan bahkan langkahnya seperti berlari kencang. Terbirit-birit luntang-pukang.

Tinggallah aku sendiri di halaman rumah ini. Desir angin terasa begitu lembut, tapi membekukan. Aku yang sudah berjaket tebal saja masih menggigil dibuatnya. Seolah-olah hawa dingin itu menembus tebalnya kulit jaket.

"Akang Gendang ...." Aku terlonjak. Nyaris saja aku terpekik ala Diana Pungki keluar dari kerang. Kalian yang kaum milineal mana tahu dengan Diana Pungki. Huh! Gugel, sono!

"Siapa?" teriakku dengan bibir bergetar.

"Kalau saya suruh muter, muter ya, Kang?"

Aduh, siapa, sih? Suasana genting kayak gini masih saja bercanda. Aku selain takut juga pengen pipis. Jangan sampai aku beser dalam celana.

Tidak berapa lama, terdengar bunyi gendang bertalu-talu. Duh, jadi pengen joged. Aku pejamkan mata. Ini hanya ilusi, ini hanya rayuan setan belaka. Tidak ada hantu, tidak ada setan. Semua itu hanyalah halusinasi semata. Kupertajam indera pendengaran.

Suara gesekan ranting pohon semakin terdengar jelas. Lolongan anjing terdengar sayup-sayup sampai. Hawa semakin mencucuk garang. Membuatku menggerakkan rahang mencoba mengusir udara yang kian tak bersahabat.

Namun, di sela-sela pikiranku yang mencoba untuk tenang, hidungku menangkap bau yang sangat familiar. Bau yang teramat busuk. Nyaris membuat hidungku tanggal saking santernya itu bau.

Jika kalian pernah melewati bak sampah, maka busuknya itu beratus-ratus kali lipat dari bau sampah. Mungkin kalian menebak bau yang kuhidu adalah bau bangkai. Kalian salah.

Ini bukan bau bangkai.

Bau jigong?

Bukan, Bambang!

Lalu bau apa?

Ini semacam bau bangkai.

Izinkan aku memutar bulu hidung. Baunya benar-benar sangat busuk. Seperti bangkai tikus yang terjepit di plafon rumah. Membuat kepala pening bin sakit.

"Akang Gendang ...."

Suara itu teramat dekat bahkan bisa kurasakan ada hembusan napas di telingaku. Mataku yang terpejam semakin aku picingkan. Bagaimana kalau aku buka mata, itu sosok menakutkan hadir menyapa.

Aku tidak kuat. Bau busuk, suara-suara yang menyapa, seketika terasa begitu nyata di dekatku.

"Akang Gend ....!"

"DIAAAM! DIAAAAM!" Kontan aku berteriak murka. Dari tadi kubiarkan saja dia menyebutku Akang Gendang. Sejak kapan aku jadi penabuh gendang? Ketakutan yang tadi membelenggu jiwa, rontok seketika. Kubuka mata dan napasku hampir saja putus menyaksikan ....

Kalau ... di depanku ... saat ini ... adalah ....

Napasku kian sesak. Hatiku nyaris roboh. Tidak menerima fakta kalau di pintu ... rumah ... tua itu ... terlihat ... sesosok tubuh ... tanpa baju sedang ... menyusui bayi.

"Akang Gendang ...."

Sudahlah, aku pingsan saja kalau begitu.

Pingsan dulu, yo?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status