Share

3. Statue Sang Kuntilanak

Aku memutuskan tidak jadi pingsan. Kalau aku pingsan, ngapain capek-capek dan jauh-jauh datang ke kampung misteri ini? Enggak worth it banget, deh, pakai acara pingsan segala. Aku cukup lambaikan tangan ke kamera maka tim Uka-uka akan datang menjemput. Sayangnya, itu hanya khayalanku saja. Aku ke sini sendiri, tanpa crew.

Kubelalakkan mata segede jengkol menatap sosok yang berdiri di depan pintu rumah tua. Walau samar-samar yang jelas itu terlihat seperti sosok seorang perempuan sedang menyusui bayi.

Menguatkan tekad yang membara di dalam celana, eh, jiwa aku memantapkan hati mendekati sosok tersebut, kali aja bisa diajak ngobrol baik-baik, terus dia mau nyusuin aku, astaga! Ha ha ha! Ha ha ha! Astaga! Aku mikir apa, sih? Bisa-bisanya aku mikir. Emang aku punya otak? Ha ha ha. Kok aku tertawa, sih? Hahaha.

Apa, sih!?

Selangkah, dua langkah masih dengan kemantapan hati. Namun, kian dekat, kok, jantung ini serasa makin cepat aja denyutnya. Membuatku keringat dingin. Kuseka peluh yang menggelitik ketiak. Duh, asem banget, sumpah! Karena aku belum mandi. Mandi hanya pagi menjelang berangkat ke sini. Sekarang sudah pukul sembilan malam, tentu saja tubuhku memancarkan aura dan wewangian neraka.

Semakin dekat, itu sosok, kok, diam-diam bae? Ngopi, woy! Ngopiii!

Namun, kediamannya itulah yang membuatku makin penasaran. Diam bukankah artinya emas? Kali aja dia sedang mengeluarkan emas. Hihihi.

Kusibak belukar-belukar yang menghalangi bahuku. Dari jarak sedekat ini, sosoknya kian jelas. Dia masih saja diam membisu.

"Assalamualaikum, Dedek Gemes?" sapaku dengan penuh basa-basi sembari menggosok-gosokkan telapak tangan. Karena hawanya semakin dingin saja. Bau busuk bangkai pun kian kuat. Kalau tidak memegang prinsip kesopanan dalam berhubungan sesama jenis, eh, manusia mungkin aku sudah muntah-muntah tujuh turunan di depan perempuan yang terlihat memiliki paras cantik, tapi cool ini.

Dia tidak menjawab. Jarak kami masih ada sekitar sepuluh langkah. Cahaya purnama terhalang oleh daun-daun dan akar-akar yang memenuhi dinding dan atap rumah.

"Maaf, Kak. Aku kurang sopan, ya? Aku tidak bermaksud kurang ajar. Namaku Astrea Bulan. Kakak bisa memanggilku Asbul. Jangan tanya kenapa namaku itu. Kata Emak dan Bapak, ketika aku lahir, motor Astrea Bulan kesukaan mereka tergadai ke kantor pegadaian demi mendapatkan biaya persalinan. Sampai sekarang itu motor tidak bisa ditebus karena udah raib entah ke mana. Sebagai pengingat, nama Astrea Bulan disematkan ke diriku yang gantengnya ampun-ampunan ini. Demikianlah kisahku, Kak. Apa ada yang mau Kakak tanyakan?"

Aku menunggu sambil memasang wajah manis. Siap dikerubungi semut karena aku memang manis semanis madu.

Namun, tetap tidak ada respon dari yang bersangkutan. Kayaknya dia marah, deh! Itu mata tidak berkedip sama sekali. Nyalang menatap tajam ke arahku.

"Jangan tatap aku seperti itu, Kak. Aku jadi malu."

Apa pun yang meloncat dari bibir seksiku, tetap saja tidak ada tanda-tanda dia akan membalas ucapanku. Akhirnya aku dan dia saling pandang-pandangan. Kucoba membelalakkan incek mato, tetap saja aku kalah. Dia tahan berlama-lama melototkan incek mato. Sedang aku sudah sangat perih, berair dan mungkin juga mengeluarkan darah. Astaga. Lebay banget aku.

Ya sudahlah. Kucoba mendekatkan wajah ke wajahnya.

Barulah aku sadar kalau yang tadi aku ajak bicara panjang kali lebar, tinggi dan rendah ternyata adalah ....

PATUNG.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status