“Tik, kamu cari buku sumber untuk kerja kelompok siang ini, ya? Kamu kebagian buku tentang cara membuat pupuk kompos.”
Tiwi menunjukkan pembagian tugas untuk laporan makalah pelajaran Biologi pekan depan. Dari lima orang anggota kelompok, semua memiliki bagiannya masing-masing. Tema yang diangkat seputar cara menghasilkan tanaman yang baik dan subur.
“Oke.” Atika mengangguk setuju.
Maka ketika ada pelajaran kosong saat jam kedua, Atika bergegas menuju ke pepustakaan. Sebagian temannya ada juga yang ikut pergi ke sana.
“Hmm, di mana buku-buku bertema biologi, ya?” gumam Atika sambil mengawasi judul-judul buku yang ada di rak perpustakaan.
Awalnya dia sempat ingin mengecek katalognya dulu untuk memudahkan pencarian. Hanya saja computer tempat mencari katalog sedang diperbaiki, jadi dia terpaksa mencarinya secara manual alias meneliti satu persatu buku-buku yang ada di rak perpustakaan.
“Hmm, kenapa buk
“Jadi kalau begitu, siapa yang berbohong?” tanya Firda lebih seolah kepada dirinya sendiri.Atika merasakan tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Antara kesal namun juga merasa takut dia mendengar semua berita tentangnya.“Benar kan kataku juga?” Tiba-tiba muncul Sandra dari kelas sebelah langsung menuding Atika.“Apanya?” Atika yang masih syok dengan berita yang disampaikan oleh Firda dan Husna kini harus menghadapi reaksi Sandra juga.“Kamu bilang kalau enggak ada hubungan apa-apa dengan Jerry. Tapi buktinya berita yang tersebar sekarang?” Sandra menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.Atika merasa dirinya dipojokkan. Firda dan Husna tak berkata apa-apa. Mereka hanya terdiam dan menatap Sandra.“Kamu yakin kalau Jerry memang jadian dengan Atika?” tanya Firda tanpa basa-basi.Sandra yang terlihat sedang emosi menoleh ke arah Firda lalu mengangguk c
Atika berhenti sejenak di gerbang sekolah. Kakinya berhenti tepat di mulut gerbang. Sepertinya suasana sekolah pagi ini belum terlalu ramai. Jadi dia tidak perlu bertemu dengan banyak orang yang akan berpapasan di koridor, apalagi yang memandangnya dengan tatapan menghakimi.Sejak kemarin, tak ada satu pun temannya dari keputrian yang mencoba mengontak apalagi menghiburnya. Padahal biasanya juga tiada hari tanpa ngobrol bareng di room chat khusus anggota keputrian sekolah. Hhh, dirinya mau memulai percakapan juga rasanya canggung. Meski beberapa kali saat dia membuka aplikasi chat, terlihat beberapa temannya sedang online.Mata kakinya sudah sedikit membaik. Rasa sakitnya sudah berkurang. Untungnya luka yang dideritanya tidak terlalu dalam sehingga tak perlu dijahit meski goresannya cukup panjang. Jalan pun sudah bisa sedikit biasa lagi karena lukanya sudah ditutup perban cukup tebal. Jadi kalaupun tergesek-gesek pinggiran sepatu, tidak terla
“Ka-kamu mau ngapain?” Atika melihat Jerry mendekatinya perlahan. “Kebetulan kamu di sini. Jadi aku mau sekalian menagih jawabanmu,” ucap Jerry sambil terus mendekat. Atika menangkap gelagat yang kurang baik dari sikap dari pemuda itu. Maka pelan-pelan dia juga mundur selangkah demi selangkah. Sampai ujung tumitnya tertahan oleh sesuatu. Refleks jemarinya menggapai benda di belakangnya. Terasa dingin dan keras. Itu tembok! Desisnya dalam hati. Bagaimana dirinya bisa menjauh dan lepas dari pemuda di hadapannya yang sepertinya terus mendekat dan ingin memerangkap dirinya pada posisi tersudut. Tak bisa kemana-mana. “Oh iya. Aku mau bilang sama kamu. Hadiah-hadiah bros itu bukan dariku. Entah siapa yang cukup konyol dan punya nyali untuk merebutmu dariku.” Jerry tersenyum sinis seperti yang meremehkan si pemberi hadiah bros tersebut. “Bu-bukannya itu dari kamu?” tanya Atika terbata. “Kenapa? Kamu berharap itu dariku?” Jerry tertawa keras.
Tanpa menjawab, Firda langsung menarik tangan Husna kembali ke ruang guru. Secepat mungkin.Tergopoh-gopoh, Husna berusaha mengimbangi langkah gesit keponakannya itu yang seolah ingin terbang. Padahal pening di kepalanya belum mereda.“Mana?” tanya Husna sambil celingak-celinguk ketika keduanya sudah berada di ruang guru.“Nyariin siapa, Neng? Nyari Bapak, ya?” tanya Pak Sanusi, guru mata pelajaran olahraga, sambil bersiul menirukan suara burung dekukur.Guru olahraga mereka itu memang terkenal senang sekali bersiul menirukan suara burung. Jika guru olahraga pada umumnya menggunakan peluit untuk memberikan aba-aba saat melakukan aktivitas gerakan olahraga, maka Pak Sanusi lebih suka memanfaatkan keahliannya bersiul. Lebih murah meriah dan alami katanya.“Anu …. Bapak ada ngeliat 2 orang siswi yang mencari meja Pak Jaka, Pak?” tanya Firda tanpa basa-basi.Pak Sanusi memasukkan kedua tangannya ke saku
“Ini tolong diketik dan diperbanyak, ya?”“Oke!”Atika baru saja akan membalikkan tubuhnya masuk ke dalam kelas ketika sebuah colekan menghentikan langkahnya. Terlihat wajah Sandra yang sedang cengar-cengir mengintip menatapnya dari balik pintu kelasnya.“Hei!” Atika tersenyum.“Siapa, tuh?” Sandra menunjuk lewat isyarat dari gerak bola matanya.“Dia?” Atika menunjuk ke arah Habibi yang hanya terlihat dari bagian belakang karena berjalan menjauh ke arah yang berlawanan.“Huum!” angguk Sandra.“Itu Habibi. Ketua rohis yang baru. Memang kamu enggak tahu?”“Enggak!” geleng Sandra.Sandra teringat peristiwa dua hari lalu saat dirinya sedang mencari-cari liontin kalungnya yang mendadak lepas dan hilang. Awalnya dia tidak tahu. Tetapi saat sedang ngobrol dengan Atika di depan kelas, tanpa sengaja jemarinya memegang-megang liontin ka
Persahabatan antara Atika dan Sandra kembali terjalin mesra dan akrab. Semenjak Atika menemani sahabatnya itu menunggui pamannya yang dirawat intensif di ICU, Sandra terlihat makin lengket dengannya. “Tik! Jangan lupa nanti hadir pas kajian keputrian, ya?” Atika yang sedang menikmati seblak pedasnya mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Firda yang mencolek lengannya. Husna tersenyum sambil membawa dua botol minuman teh.“Kita duluan, ya?” pamit Husna.Atika lagi-lagi mengacungkan jempolnya karena mulutnya masih penuh berisi makanan. Sementara Sandra yang duduk di sebelahnya hanya memerhatikan saja.“Kamu rajin ikut acara kajian, Tik? Memang asyik, ya?” tanya Sandra ingin tahu.“Iya. Namanya juga ngerasa butuh untuk nyari ilmu agama, San. Pelajaran agama kan hanya dua jam sepekan. Kurang, dong.” Ati
“InsyaAllah nanti kita akan mengadakan acara mendaki gunung. Nanti kita rencananya akan bekerjasama dengan eskul lain.”Sedikit pengumuman dari Habibi saat pertemuan rutin bulanan para pengurus rohis dan keputrian membuat suasana yang semula hening mendadak gaduh. Ruang masjid tempat mereka mengadakan pertemuan dipenuhi suara dengungan dari gumaman para pengurus.Ada yang bereaksi sntusias, ada yang tak paham dengan pengumuman tersebut, dan sebagainya. Apalagi Habibi tak melanjutkan infonya dengan memberikan kejelasan-kejelasan lainnya.“Pihak eskul lain itu maksudnya bagaimana?” tanya Akbar, dari divisi perikhwanan.“Kita akan melakukan Kerjasama membuat acara mendaki gunung dengan pihak lain yang tentunya lebih paham dan menguasai seluk beluk pendakian. Kita kemarin itu belum pernah sampai mendaki gunung, kan? Baru menjajal kaki gunung dan sekitarnya. Nah, untuk agenda selanjutnya, kita akan coba untuk mendaki gunung. Tapi
Lain waktu Husna sedang membereskan mukena-mukena di masjid ketika didengarnya ada yang menyapa dari saf Ikhwan.“Butuh bantuan, Ukhti?”Husna menoleh dan menemukan sebuah wajah sedang nyengir menatap kepadanya. Gadis itu tak menjawab. Hanya kembali sibuk merapikan muken yang sedang dibereskannya.“Ukh, kok diam saja? Nan ….” Suara itu berbunyi lagi kali ini lebih mendekat.“Ehem! Jerry! Kamu lagi ngapain di situ?”Tiba-tiba dari balik kain hijab atau pembatas antara saf Ikhwan dan akhwat, menyembul wajah Pak Ahmad, sang pembina rohis yang baru. Wajahnya yang dihiasi kumis tebal terlihat memelototkan kedua matanya.Jerry yang terkesiap kaget, segera mundur perlahan-lahan dan mengangguk malu-malu pada Pak Ahmad. Husna diam-diam menahan tawa melihatnya. Tapi dia bisa berakting dengan terus sibuk merapikan mukena.“Kamu tahu ini apa?” Pak Ahmad memegang kain hijab atau pembatas.