Akhirnya, semua bisa teratasi dengan baik dan masih meninggalkan sisa pertanyaan bagi Gito sekeluarga. Apa yang terjadi antara Ustaz dan Dinda dalam mimpi dan hal tersebut datang hingga berkali-kali? Namun, Pak Kiai dan Ustaz Hamdan tak mau berterus terang sampai Allah yang punya kuasa memberikan kenyataan.“Ngger! Perbanyak istighfar. Moga jalan Allah yang kau tempuh,” ucap Pak Kiai lirih di telinga sang putra saat ia mengetahui Ustaz Hamdan sempat mencuri pandang ke arah Dinda.Akhirnya bapak dan anak menikmati perbincangan hangat bersama keluarga Gito. Semua hal dibahas mereka, termasuk dengan perisitiwa kematian Mbok Wo di dalam rumah kosong.“Ngapain Mbok Wo ada di sana?”tanya Ustaz Hamdan yang semakin penasaran dengan kisah rumah kosong.“Dia penganut aliran sesat,” jawab Pak Kiai.Bu Teti yang merasa pernah jadi pengikut ritual lalu menceritakan apa saja yang harus ia lakukan setiap malam-malam tertentu.Meski ia tak pernah mengikuti ritual di rumah kosong, tapi ia tahu pasti
"Maksud Abah? Jawaban mimpiku? Benarkah?”Pak Kiai mengangguk bersamaan dengan suara dering ponsel di dalam saku.“Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap salam pria bersorban ini kapada seseorang di seberang telepon.Beberapa saat Pak Kiai mendengarkan secara seksama lalu menetes guliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillaihi wa innalillaihirajiun. Tunggu di sana! Kami akan menyusul.”Ustaz Hamdan memandang heran kepada sang abah dan hanya dibalas gelengan. Pria bersorban yang selalu dengan tatapan teduh ini menunduk. Tampak jelas pikirannya sedang kacau. Ia telah tahu dari awal, tapi tak menyangka akan seperti ini hal tersebut bisa terjadi.“Astagfirullah hal adzim ... astaghfirullahhal adzim ... astaghfirullah hal adzim!”Pria berjenggot putih ini meraih tisu lalu mengusap lelehan bening dari kedua sudut mata. Ia tak biasa sesendu ini, kali ini rasa kehilangan sangat membuat rapuh hatinya. Ia masih belum mampu berkata-kata, meski sang putra datang lalu jongkok di
Dalam pandangan mata hanya tampak bayangan Dinda. Hal tersebut ia alami sejak bermimpi dua bulan lalu dan sampai hari ini.“Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, ampuni hamba,” ucap Ustaz Hamdan sembari mengusap wajah.Motor yang ia kendarai telah sampai di halaman ponpes. Pria berwajah bersinar ini segera turun dari motor lalu melangkah menuju ruangan pengasuh ponpes khusus asrama putri.Ia ucapkan salam, begitu dibalas salam langsung masuk ruangan.Dalam ruangan terdapat beberapa wanita pengasuh ponpes, Ustaz Hamdan segera menyampaikan pesan dari abahnya. Setelah itu, ia segera pamit kepada semua yang ada di ruangan.Lega sudah hatinya, pesan telah dilaksanakan. Ia ingin segera taziah sekaligus menemui ‘Jamila’ untuk memberi semangat wanita yang dikabarkan sangat syok dengan kematian suaminya.Ustaz muda ini memberi pengarahan untuk para santri yang sedang mempersiapkan acara penyambutan jenazah dari rumah sakit. Mereka akan merawat jenazah dari memandikan sampai dengan prosesi pemak
“Dengan cara licik? Bertopeng muka saya? Tipu muslihatmu tak akan mempan kali ini. Saya tak akan tinggal diam, jika wanita itu kamu ganggu lagi.”“Ha ha ha! Pede sekali kamu!”Suara Mustafa seketika menghilang bersama desiran angin beraroma kasturi yang masih tertinggal di ujung hidung Ustaz Hamdan.Pria tampan beraut muka TimurTengah berzikir dan berselawat demi menenangkan diri. Baru kali ini dirinya bertemu dengan jenis jin bandel macam Mustafa. Pria ini menggeleng lalu segera mengendarai motor ke arah pulang.Sepanjang perjalanan, Ustaz Hamdan memikirkan suatu cara agar tetap bisa menjaga Dinda dan Bu Teti. Bagaimana pun, keduanya adalah orang yang disayang oleh almarhum Gito—sang sahabat dan ia akan menggantikan posisinya untuk menjaga mereka.Ponsel di dalam jaket ustaz bergetar sehingga ia perlu menepikan kendaraan sebentar. Tertera di layar ponsel nomor kontak tak dikenal mengirim sebuah pesan. Ustaz Hamdan segera membaca isi pesan dan ternyata dari Dinda.[Assalammu'alaikum,
“Alhamdulillah!” seru kedua wanita.Ibu utusan dari ponpes segera meluruskan standar lalu mengajak Dinda turun dari motor. Mereka mendekat ke arah pria pembaca takbir.“Assalammu'alaikum, Ustaz!”“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh! Alhamdulilah kalian selamat,” ucap pria yang tak lain Ustaz Hamdan.“Kurang ajar!” teriak Mustafa emosi melihat kedua wanita telah turun dari motor dan berdiri dekat Ustaz Hamdan.“Kamu tak sepadan dengan mereka. Memalukan!” ucap sang ustaz yang semakin membuat Mustafa gusar.“Aku yang dimau oleh dia. Sekarang Gito telah tak ada, aku bisa membawanya pergi,” balas Mustafa dengan raut wajah memerah.Kedua wanita ini semakin gemetar melihat dua sosok berwajah sama. Namun, Dinda bisa membedakan keduanya dari aroma yang tercium maupun maupun tasbih yang dibawa oleh salah satunya.“Mbak, saya kok jadi bingung. Mukanya sama, tapi yang sebelah kita benar Ustaz Hamdan, kan?”“Iya, Bu.”Ustaz Hamdan yang mendengar pembicaraan keduanya tersenyum geli.“Yan
“Tobatlah pada Allah! Biar tubuhmu tak hancur lebur dimakan api,” ucap Ustaz Hamdan dengan suara tegas.Pria berhidung mancung ini benar-benar tak memberi kesempatan Mustafa untuk lolos. Tubuh tinggi besar ini telah hangus terbakar dari ujung kaki sampai ujung kepala dan menghasilkan aroma sangit. Mulut lebar sang jin mengeluarkan asap bercampur bunga api yang membuatnya tak bisa bicara secara jelas.“Us-taz ... m-mo-hon am-puuun!”“Aku tak akan lepaskan kamu. Selama tak bisa tobat dan mohon ampun pada Allah.”Tanpa disangka-sangka oleh Ustaz Hamdan, Mustafa mengirimkan pesan ke Dinda lewat semilir angin bararoma kasturi.“Jamila, kamu permaisuriku seumur hidupmu. Jika aku mati, tolong jaga anak kita baik-baik. Semua kebutuhan kalian akan dilayani keluargaku.”Dinda yang mendengar pesan Mustafa semakin berdebar jantungnya. Tubuh wanita muda ini semakin menggigil. Ibu pengurus yang membonceng merasakan getaran badan Dinda yang menggigil.“Mbak, sabar, ya! Bentar lagi kita sampe.”Dind
“Saya mau antar obat Mbak Dinda yang ketinggalan,” ucap pria muda tersebut sambil mengulurkan kresek kepada Ibu pengurus.“Terima kasih, Ustaz.”“Semoga lekas sehat, Mbak. Saya pamit dulu ...,”“Tunggu, Ustaz!” teriak Dinda saat Ustaz Hamdan mau beranjak pergi.“Ya?”“Mustafa tadi ke mana?”“Nanti kalo Mbak Dinda udah baikan, akan saya ceritain.”Wanita muda ini pun mengangguk dan memandang punggung sang ustaz sampai menghilang ke arah depan. Bu pengurus meletakkan kresek berisi obat di atas nampan.“Mau minum obat sekarang, Mbak?”“Saya mau minum pake air putih, Bu. Bisa minta tolong, nampan ditaruh di atas meja aja?”“Bisa, Mbak. Bentar, ya.”Bu pengurus segera mengangkat nampan lalu memindahkan keatas meja.“Saya ambilkan air putih dulu ke dapur.”“Terima kasih sebelumnya.”Wanita setengah umur ini melangkah ke dapur dan mengambi lair putih dengan sebuah gelas. Matanya nanar mencari keberadaan wanita mudayang membawakan nampan berisi minuman dan kudapan, tapi tak ada. Kini, ia melan
Ustaz Hamdan yang melihat tersenyum senang. Hadiah pemberiannya, berguna juga di saat seperti ini. Wanita setengahbaya yang berada di antara mereka ikut tersenyum bahagia melihat keduanya.Namun, tiba-tiba kebahagiaan mereka dirusak oleh embusan angin kencang beraroma kasturi bercampur bau bangkai memporak-porandakan isi dalam kamar. Dinda menjerit dan seketika wanita separuh baya tersebut segera mendekapnya erat.“Waqur rabbi a'ụżu bika min hamazātisy-syayāṭīn.” [SuratAl-Mu'minun: 97-98].Ustaz Hamdan melanjutkan doanya dengan berzikir. Ia sangat geram dengan ulah jin satu ini. Meski telah dihancurkan wujudnya, tapi masih mampu bertahan.Padahal kekuatannya pun sudah tak bisa dipergunakan lagi. Namun, dengan adanya angin yang berembus barusan, bisa jadi iatak akan datang lagi untuk waktu yang lama.“Nekat kamu. Tersisa kekuatan harusnya buat beribadah pada Allah, dibuang percuma. Kembali ke alammu!” seru sang ustaz sembari meniup kembali pada satu titik, yaitu tepat di dekat pintu.U