Share

KEBIMBANGAN

BAB 4

Pagi ini, Dea terbangun dengan keadaan hati yang tidak baik, perasaannya gelisah dan tidak menentu, bahkan ia hanya tidur dua jam saja dan itu membuatnya tidak bersemangat menjalani aktifitas hari ini.

Dengan langkah perlahan Dea keluar dari kamarnya, menuruni tangga yang terasa sangat panjang menuju meja makan untuk bergabung dengan keluarganya yang sedang sarapan pagi.

“Pagi Ayah, pagi Bunda, pagi Abang!” sapa Dea ketika ia melihat semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan.

“Pagi, Sayang!” sahut Bunda dan Ayah.

Dea duduk di samping Angga, lalu mengambil sehelai roti tawar dan mengolesinya dengan selai coklat kesukaannya.

“Kamu kenapa, Dek! Kelihatannya enggak semangat gitu,” Angga melirik adiknya.

“Enggak apa-apa!” Dea menggeleng.

Ayah dan Bunda menatap putrinya, memastikan apa yang baru saja dikatakan oleh putranya dan memang benar, putrinya terlihat lesu dan tidak bersemangat, biasanya dia sangat ceria dan banyak bercerita tentang apa saja yang dia alami ketika di kampusnya.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Ayah khawatir.

“Pasti masih mikirin laki-laki yang katanya melamar kamu itu ya, Dek?” celetuk Angga, membuat Dea langsung menatap tajam padanya.

Angga memang tidak bisa diajak kompromi, Dea sudah memintanya untuk tidak memberitahu orang tuanya dulu tentang hal ini, ia yang akan memberitahu ayah dan bundanya ketika ia sudah yakin dengan pilihannya.

“Kamu dilamar, Dea?” tanya Ayah.

“Kenapa enggak cerita sama Bunda, Nak!” Bunda menatap putrinya.

Mendapat tatapan yang tidak bersahabat dari orang tuanya, membuat Dea menciut, ia tidak bisa mengelak dan mencari alasan lagi, dengan terpaksa ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan.

Setelah mendengarkan semua yang diceritakan oleh putrinya, ada rasa kecewa di hati mereka karena Dea tidak memberitahu ini sejak awal, kalau saja mereka tahu sebelumnya, mereka bisa bertindak lebih cepat dan masalah ini tidak akan berlarut-larut.

“Ayah ‘kan sudah pernah bilang sama kamu, laki-laki yang baik itu akan langsung datang menemui ayah lalu meminangmu, bukan malah mengatakan janji-janji manis padamu saja,” papar Ayah.

“Tapi Dea belum menjawab lamaran mereka, Ayah!” jelas Dea.

“Tidak perlu kamu jawab, langsung saja katakan kalau kamu menolaknya!” sarkas Ayah, lalu ia pergi meninggalkan putrinya yang terlihat akan menangis.

Dea benar-benar terkejut dengan ucapan ayah, baru kali ini ia melihat ayahnya marah dan berkata dengan nada tinggi padanya, biasanya beliau tidak pernah seperti itu.

Air mata menetes membasahi wajah Dea, lengkap sudah kegalauannya hari ini, ia sedang bimbang dengan perasaannya dan kini ayah juga marah padanya.

“Maafkan perkataan ayah ya, Nak! Ayah hanya merasa kecewa dan merasa gagal menjaga putrinya,” Bunda memeluk Dea.

“Dea yang salah, Bunda! Seharusnya Dea mengatakan ini sejak awal,” tutur Dea sambil teriasak.

Bunda mengelus-elus pundak putrinya agar dia merasa tenang, ia tau pasti Dea sangat sedih, seharusnya suaminya tidak perlu berkata keras pada putrinya, mungkin saja Dea punya alasan kenapa tidak menceritakannya sejak awal.

“Sekarang hapus air matanya dan jangan nangis lagi, kamu mau ke kampus ‘kan?” Bunda melepaskan pelukannya dan menghapus air mata di pipi Dea.

“Iya, Bunda!” Dea menganguk, “hari ini Dea ada bimbingan sama dosen,” jelas Dea.

Melihat adiknya menangis seperti itu, membuat Angga merasa bersalah, ia tidak bermaksud mengadu pada orang tuanya, hanya saja ia tidak mau jika Dea terus saja memikirkan hal yang menurutnya tidak penting.

“Abang antar kamu ke kampus ya, Dek!” tawar Angga.

“Iya!” Dea mengangguk, membuat Angga tersenyum.

Kini keduanya sudah berada di mobil, menelusuri jalan ibu kota yang selalu ramai setiap harinya. Sejak mereka masuk mobil, Dea dan Angga tidak ada yang membuka suara, Dea hanya diam sambil melihat jalanan yang ada di depannya dan Angga juga hanya fokus mengemudi sambil memikirkan bagaimana cara mengusir keheningan diantara dirinya dan Dea.

“Dea masih marah ya sama Abang?” Angga menoleh sekilas pada adiknya.

“Enggak!” jawab Dea lirih.

“Abang minta maaf! Abang salah!” ucap Angga.

“Abang enggak perlu minta maaf, Dea yang salah,” Dea menoleh pada Angga, lalu ia tersenyum.

Angga bisa bernapas lega, setelah ia melihat adiknya tersenyum, setidaknya ia tahu kalau adiknya sudah tidak marah lagi padanya, lalu ia melanjutkan perjalanannya dengan hati yang tenang.

~~~

Kini Dea sudah berada di kampusnya, sedang menunggu dosen pembimbingnya yang belum juga datang, padahal ia ingin bimbingannya cepat selesai dan ia bisa cepat pulang.

“Hai calon istri!” sapa Bayu tiba-tiba.

“Belum jadi calon istri, Bayu! Aku ‘kan belum menerima lamaran kamu,” sanggah Dea jutek.

Bayu tersenyum lalu ia duduk di samping Dea, ia sangat suka jika melihat Dea jutek seperti itu. Dea memang gadis yang langka, dizaman sekarang yang rata-rata wanita lebih suka agresif pada laki-laki, tapi dia justru tidak suka jika ada laki-laki yang mendekatinya.

“Jangan jutek gitu, nanti aku tambah cinta sama kamu!” goda Bayu.

“Lebih baik kamu pergi, aku sedang tidak mood mendengar gombalanmu!” pinta Dea.

Dea benar-benar hanya ingin sendiri, ia butuh ketenangan, agar ia bisa berpikir jernih.

“Dea! Masuk ke ruangan saya!” perintah dosen pembimbing yang baru saja datang.

“Baik, Pak!” Dea bergegas mengikuti langkah dosen pembimbingnya dan masuk ke ruangannya, meninggalkan Bayu yang masih menatap kepergiannya.

Setelah hampir dua jam ia mendapatkan bimbingan dari dosennya dan kini waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang, beruntung hari ini ia tidak ada kelas, jadi Dea memutuskan untuk pulang ke rumah saja.

Baru saja ia melangkahkan kaki dari gerbang kampus, sebuah mobil metik berwarna hitam berhenti di depannya, terlihat Bisma turun dari mobil dan menghampirinya.

‘Bisma!’ gumam Dea.

“Hai, Dea! Aku antar kamu pulang ya?” ajak Bisma, “kamu tidak bisa alasan abang kamu jemput lagi, karena sekarang Bang Angga tidak ada di sini!” pekik Bisma.

Dea melihat sekelilingnya, siapa tahu ada seseorang yang bisa menyelamatkannya agar ia tidak pulang bersama Bisma, tapi sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, kenyataannya tidak ada yang bisa menolongnya.

“A—Aku, dijemput….” ucap Dea ragu.

“Dijemput siapa? Enggak usah alasan lagi, aku tau kamu mau berbohong padaku, kemarin juga kamu bohong ‘kan padaku, kamu tidak dijemput Bang Angga!” sarkas Bisma.

Dea benar-benar bingung harus memberi alasan apa pada Bisma, kenapa ia merasa sekarang bisma terlalu memaksanya, padahal dulu dia sangat baik dan sangat pengertian. Oleh sebab itu, ketika dia mengatakan mau melamarnya, ia memutuskan untuk meminta waktu berpikir dan sekarang sikapnya malah berubah jadi menyebalkan.

“Aku, enggak….” belum sempat Dea menjelaskan pada Bisma, tiba-tiba seseorang turun dari mobil dan menghampiri Dea dan Bisma.

“Dea!!” panggil seseorang, membuat Dea dan Bisma menoleh.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status