Share

MIMPI YANG SAMA

BAB 3

Detak jantung Dea berdegub sangat kencang, ketika netranya tidak sengaja bertemu dengan netra milik Arfan, begitu juga dengan Arfan, ia merasakan hal yang sama dengan Dea, sama-sama merasa grogi. Hanya saja, Arfan pandai menyembunyikan itu semua.

Dea memberanikan diri melirik Arfan, dia memang terlihat sangat tampan hari ini, apalagi dengan baju formal yang ia pakai, sama persis seperti pemeran CEO tampan di novel yang baru saja ia baca. Walaupun, Arfan memang benar-benar seorang CEO tampan di dunia nyata, pemilik perusahaan besar di tempat abangnya bekerja.

“Dea, kuliah siang ya?” tanya Arfan lagi, membuat Dea tersadar dari lamunannya.

Dea menoleh pada Arfan yang sudah duduk di depannya sambil tersenyum manis.

‘Ya Allah, kenapa jadi deg-degan gini, padahal udah sering lihat Bang Arfan tersenyum seperti itu,’ gumam Dea.

Angga yang melihat adiknya hanya diam saja, menepuk tangannya pelan.

“Astagfirullah!” pekik Dea terkejut, “Abang! Ngagetin aja, deh!” tambahnya.

“Kamu ditanya Arfan malah bengong,” Angga melirik Arfan.

Dea ikut melirik Arfan sekilas, lalu ia kembali menundukan wajahnya, ia benar-benar merasa malu dan canggung ketika tau kalau Arfan masih menatapnya.

“I—iya, Abang! Hari ini Dea kuliah siang,” papar Dea, ia melirik Angga yang kini duduk di samping Arfan, seolah ia bertanya pada kakaknya menggunakan bahasa isyarat, kenapa Angga tidak memberitahunya tentang kedatangan Arfan yang tiba-tiba itu.

“Kita ada meeting di Puncak siang ini, kebetulan mobil Abang juga lagi ada di bengkel! Jadi, Abang minta Arfan jemput ke sini,” jelas Angga yang tau isi pikiran adiknya itu, membuat Dea tersenyum canggung dan melirik Arfan.

Jantungnya masih belum kembali normal sejak tadi Arfan menatapnya, dan sekarang Arfan selalu menampilkan senyumnya yang manis itu lagi, lama-lama Dea bisa terkena serangan jantung kalau sering bertemu dengan makhluk tampan yang kini ada di depannya. Padahal, kemarin-kemarin ia tidak pernah merasa seperti ini bila bertemu dengan Arfan, kenapa hari ini rasanya berbeda.

‘Kenapa jadi aneh gini sih! Apa yang sebenarnya terjadi padaku?’ batin Dea.

“Abang berangkat ya, De! Tolong bilang sama bunda, maaf Abang enggak pamit sama bunda,” pamit Angga membuyarkan semua lamunan Dea.

“Iya, nanti Dea sampaikan,” sahut Dea.

Dea masih menatap Angga, sampai dia menghilang di balik pintu, lalu menoleh kepada Arfan yang masih tersenyum manis padanya.

“Kenapa senyum-senyum?” tanya Dea jutek.

“Enggak apa-apa! Kamu tambah cantik kalau lagi marah gitu!” goda Arfan.

“Apa sih, enggak jelas banget, deh! Udah deh sana berangkat? Tuh, Bang Angga sudah menunggu!” ketus Dea.

Bukannya marah, Arfan malah tersenyum melihatnya gadis di depannya ketus padanya, justru ia terlihat sangat menggemaskan di mata Afran. Andai saja boleh, ia ingin sekali mencubit pipinya yang merona itu.

“Ya sudah! Abang berangkat kerja dulu ya, Dea!” pamit Arfan.

“Hemm!” sahut Dea.

“Kuliah yang bener ya, supaya kamu cepat lulus. Nanti, kalau kamu sudah lulus, Abang mau——“ Arfan menggantung ucapannya.

“Mau apa?” tanya Dea penasaran.

Arfan tersenyum manis sembari menaik turunkan alisnya, lalu menatap manik Dea yang terlihat penasaran.

”Mau lamar kamu!” pungkas Arfan, lalu ia pergi meninggalkan Dea yang masih terperangah karena ucapannya itu.

Dea benar-benar dibuat speechless dengan ucapan Arfan barusan, kini perasaannya menjadi kacau dan galau. Tidak dipungkiri, ia juga merasa senang ketika mengingat kejadian yang baru saja membuat jantungnya berdebar kencang itu.

————

Di kampus, seharian ini Dea disibukan dengan tugas-tugas kuliahnya, ia juga mencari beberapa bahan untuk persentasi besok. Rencananya, ia akan mengambil skripsinya pada semester enam, agar ia bisa cepat-cepat wisuda.

Ets, bukan karena tadi pagi Bang Arfan yang bilang mau melamarnya ya, tapi memang sebelumnya Dea sudah berencana seperti itu dan sudah disetujui oleh dosen pembimbingnya agar Dea mengambil wisuda secepatnya.

“Dea ...!” panggil Bisma, ketika ia sedang berjalan di koridor kampus.

“Iya! Ada apa, Bisma?” Dea menoleh pada Bisma.

“Pulang bareng aku, yuk?” ajak Bisma.

Bisma menarik tangan Dea, tapi Dea mencoba melepaskan kembali tangannya, lalu ia memundurkan langkahnya menghindari Bisma.

“Maaf, Bisma! Aku dijemput Bang Angga,” ujar Dea berbohong, ia tidak mau jika Bisma mengantarnya pulang.

“Enggak apa-apa, nanti aku yang izin sama abang kamu, kamu pulangnya bareng sama aku,” ujar Bisma memaksa.

Dea benar-benar kecewa pada Bisma, dia sudah lancang menyentuh dan menarik tangannya dan sekarang dia juga memaksanya ikut pulang dengannya. Meskipun, dia sudah menyampaikan niatnya melamar Dea, bukan berarti dia bebas untuk menyentuhnya.

“Lain kali saja ya, Bisma! Permisi …!” Dea pergi meninggalkan Bisma menuju halte bus yang tidak jauh dari kampusnya.

Bisma menatap kepergian Dea, ada rasa kesal di hatinya karena dia telah menolak ajakannya, bahkan ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Dea.

‘Bisa-bisanya seorang Bisma Adiyaksa ditolak oleh gadis macam kamu, Dea!’ gumam Bisma, ”aku akan membuat kamu menyesal, telah menolak ajakanku, Dea!” Bisma mengepalkan tangannya.

————

Kini Dea sudah berada di kamarnya, ia sedang melepas penat dari rutinitas yang banyak menguras tenaga dan pikirannya hari ini.

Malam ini, Dea memutuskan melaksanakan shalat istiharoh lagi, ini kali kedua ia melakukannya, semoga kali ini ia mendapat jawaban yang tepat dan dapat meyakinkan hatinya yang masih ragu. Setelah selesai shalat dan berdoa, Dea bergegas menuju ranjangnya, merebahkan tubuhnya untuk menyelami mimpi indahnya.

“Astagfirullah aladzim,” Dea terperanjat dengan napas yang terburu-buru ketika ia terbangun dari tidurnya.

Matanya melirik jam yang ada di dinding kamarnya, ternyata baru pukul satu malam dan itu artinya, ia baru tidur sekitar tiga jam saja.

‘Kenapa Bang Arfan lagi yang muncul di mimpiku, Ya Allah? Apa benar kalau Bang Arfan itu adalah jodohku?’ gumam Dea, ‘apa yang harus aku lakukan? Bang Arfan itu enggak suka sama aku, dia itu hanya menganggapku sebagai adiknya saja,’ lirih Dea.

Dea mencoba memejamkan matanya agar ia bisa kembali tidur dengan nyenyak, tapi itu tidak bisa terjadi. Ucapan Arfan di kamar Angga waktu itu, kembali terngiang-ngiang di telinganya.

“Fan, kalau misalnya tidak ada gadis lain selain Dea, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Angga.

“Dea itu sudah saya anggap seperti adik saya sendiri, tidak mungkin saya mencintai Dea,” jawab Arfan.

Degg,

Mengingat itu semua, membuat air mata Dea menetes membasahi pipinya.

”Kenapa, Abang bohong sama Dea, padahal abang sudah janji akan menikah dengan Dea, kalau Dea sudah besar,” lirih Dea.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status