Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
"Dek, tolong uleg bumbu ini ya," pintaku pada adik iparku. Istri dari adik laki-lakiku yang baru tiga bulan lalu dinikahi. Mereka menikah di ibu kota dan tinggal juga di sana. Keduanya sama-sama bekerja di kota metropolitan itu. Dua hari yang lalu, mereka datang ke kampung karena tiga hari lagi adalah hari raya idul Fitri. Hari ini kami akan masak untuk berbuka puasa. Meskipun adik iparku ini tinggal di kota dan bukan ibu rumah tangga, tapi di sini, tak segan-segan wanita yang selalu menutup sempurna auratnya itu turun ke dapur membantu kami. Setelah makan pun, dia dengan cekatan mencuci piring dengan berjongkok di bawa keran air. Ya, kami tidak memiliki kitchen Sik ataupun wastafel ala-ala orang kota. "Ini mbak, sudah," ujar Dek Alya, adik iparku sembari menyodorkan alat penggiling bumbu yang biasa kami sebut cobek yang terbuat dari batu. Didalam cobek tersebut, tampak bumbu-bumbu yang aku minta haluskan tadi sudah tercampur dengan sangat halus. Lebih halus daripada aku sendiri y
Gara-gara tragedi beli pentol bakso ala sultan, rumah kami mendadak jadi lapak jualan dadakan. Sepulang salah tarawih, Fitriana membawa anak muridnya di TPA untuk menghabiskan semua makanan itu setelah kami ambil beberapa mangkuk untuk kami konsumsi sendiri. Suasana tambah rame saat Fitriana benar-benar memvidiokan hal itu ala-ala konten kreator dan yang yang menjadi kameramennya adalah Dek Alya."Mbak tolong kamu yang take video pakai handphone kamu ya. Handphone mbak Alya sudah canggih pasti lebih bagus hasilnya," pinta Fitriana pada kakak iparnya tadi saat mereka melakukan semuanya."Kamu ini, Ana. Sudahlah pinjam handphonenya, orang yang punya pun kau suruh-suruh. Nggak sopan," ucapku pada adik bungsuku tersebut."Nggak apa-apa Mbak, aku suka kok, seru. Kapan lagi kayak gini, di sana aku pun juga terbiasa dengan anak-anak," sahut Alya.Wanita muda itu tampak antusias dengan kegiatannya tadi. Di kota Jakarta, Alya memang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah. Mungkin karena itul
Harun dan Fitriana langsung menyusulku ke dapur begitu mendengar keramaian yang aku buat. "Ya ampun Mbak Alya cemong, kayak kucing habis masuk ke tungku." Fitriana berbicara sambil terkekeh. "Masa?" Dek Alya mengusap mukanya dengan tangannya yang kotor, jadilah itu muka makin cemong. Pasti ini yang menyebabkan mukanya menjadi kotor seperti itu. "Ya Allah 'yang', kenapa mukamu jadi kaya gitu," seru Harun begitu melihat istrinya. "Sudah Dek, kamu cuci muka sana. Biar Mbak aja yang terusin masak air. Ini udah dari berapa lama?" Tanyaku seraya membuka panci yang ada diatas tungku. Air di dalamnya masih terlihat belum panas sama sekali, tentu saja. Karena apinya juga terlihat baru menyala. "Udah dari tadi, Mbak. Tapi apinya gak nyala-nyala jadi airnya juga gak panas-panas," jawab Dek Alya dengan nada bersalah. "Ada cara lain Mbak biar cepat panas tanpa api," sela Fitriana. "Apa?" Aku dan Dek Alya tanya berbarengan. "Dengerin julidan tetangga," sahut Fitriana disertai tawa berdera
"Hai guys, nih aku spill yaa wajah Kakak Iparku yang dari kota kemarin. Hari ini, kami mau berbelanja buat buka puasa, ikuti keseruan kami yuk!"Terdengar suara Fitriana membuka acara live di media sosialnya. Di video itu, hanya ada suara Fitriana tanpa ada wajahnya, yang terlihat malah Dek Alya. Wanita muda itu berjalan diantara pedagang sayuran. Dengan memakai gamis berwarna merah marun dan kerudung senada, serta masker menutupi sebagian wajahnya. Saat ini, aku sedang duduk sambil melihat aktifitas yang mereka lakukan tadi saat di pasar. Pulang dari pasar, bukannya heboh dengan belanjaannya, Fitriana malah heboh dengan hasil live nya. Katanya banyak yang nonton, banyak yang komentar dan bahkan ada yang kasih gift. Haduh ... Bocah. "Aku mau upload juga ah di media sosialku yang lain, kali aja ada yang kasih star," celetuk Fitriana. "Ana, kalau begini namanya kamu eksploitasi kakakmu," seruku mengingatkan. "Enggak kok, Mbak. Hanya seru-seruan saja, aku tidak merasa di eksplorasi.