“Kok kamu belum siap-siap? Pesawat kita jam 06.00!" Adit mendekati Intan yang tengah mulai menyalakan kompor di dapur.“Lhah, Mas Adit kan semalam nggak bilang. Emang aku dukun. Bisa nebak jam berapa kira berangkat?” Intan balik bertanya dengan nada sedikit kesal.Dia menatap Adit yang sudah rapi. Harum yang menguar ditubuhnya menandakan dia sudah mandi.“Sudah, sana. Biar Mbak Indah yang urus.” Indah mengedipkan matanya, memberi kode agar Intan segara beranjak.“Serius Mbak, nggak papa?”“Sudah sana. Sarapan aja, kan? Paling bikin nasi goreng aja, sama telor dadar.” Indah mendorong Intan agar menjauh.Seperti biasa, hanya butuh waktu tak sampai sepuluh menit, Intan sudah siap.“Nggak sarapan dulu?” tanya Bu Handoyo yang tengah memangku cucunya di ruang tengah.“Di Bandara saja, Ma. Adit pamit.”D
“Ndhuk, kamu sudah sadar, Ndhuk?” Intan mengerjapkan matanya. Tampak samar-samar wajah buliknya duduk di sisi ranjang sedang menatapnya. “Ayo sarapan dulu. Kamu belum sarapan, jadinya masuk angin. Nanti habis mandi, bulik dandani, biar agak seger,” titah Bu Ratni, adiknya ibu Intan. Intan makin tidak mengerti. Orang-orang ini bicara apa. Apakah dia masih di bawah alam sadarnya? Tetapi dia sadar, dia harus kuat jika hendak bertanya. Dengan badan tak bertenaga seperti ini, dia tak berdaya. Bahkan, bicarapun lidah terasa kelu. “Sarapan dulu, Dik Intan.” Lastri meletakkan sepiring nasi dengan lauk di meja belajar, yang terletak di sebelah ranjang Intan. Bulik Ratni membantu Intan duduk.“Kamu mesti kangen nasi urap kan?” Intan mendelik. Emang dia hidup dimana, bisa kangen nasi urap. Kalau pun kangen juga bisa bikin sendiri, gampang. Mungkin, buliknya pikir, Jakarta itu semacam luar angkasa, yang nggak nemu kelapa parut. Jadi bikin urap saja sulit. Intan menyendok nasi lauk urap da
“Hueeekkkk!” Intan tiba-tiba mual dan ingin muntah. Semua mata menatap ke Intan yang terlihat pucat pasi. Yang lain menatap ke Aditya bergantian. Aditya menjadi panik saat sadar orang-orang menatapnya penuh tanya. Padahal, Aditya penasaran. Ada apa dengan Intan? Sakit? Selama ini, Aditya tak pernah lihat Intan sakit. Anggota keluarganya, juga tak pernah cerita kalau Intan mudah sakit. Intan berlari ke toilet. Tak lama Bu Harti sudah di belakang Intan sambil membawa minyak angin. Diurutnya leher Intan. Gadis itu masih membungkuk di atas kloset. “Kapan kamu mens terakhir, Nduk?” tanya Bu Harti. “Kemaren,” jawab Intan sambil mengelap bibirnya dengan tisue. “Yakin kemaren?” Bu Harti menyelidik. Intan mengangguk, sembari melirik ke Budenya yang masih berdiri di dekatnya. Bu Harti masih menatapnya. “Tuh, sampah pembalutnya masih ada. Intan baru kramas kemaren sore,” jawa
Aditya bangkit dari posisinya. Ia mengambil ponsel dan membuka salah satu aplikasi. “Balik hari Senin apa Selasa?” tanya Aditya. Dia tengah membatalkan penerbangan kembali ke Jakarta. “Aku ada kuliah, Mas.” Aditya tertawa. Lupa kalau dia menikahi anak kuliahan. “Senin kuliah? Jam berapa?" “Senin ngerjain tugas. Selasa kuliah.” “Ngerjain tugasnya nggak harus ke kampus, kan?” tanya Aditya. Intan merasa, ini adalah percakapan dengan Aditya yang paling panjang di ruang privat. Meski beberapa hari terakhir Aditya sering ke kampusnya, tapi dia jarang menanyakan hal privat. Di kampus Aditya masih misterius. Datang dan pergi seolah tanpa tujuan. Hal yang sangat aneh bagi seorang Aditya, makhluk serius.“Emang Mas Adit nggak kerja?” tanya Intan. “Oh, aku gampang. Bisa cuti.” Intan menoleh. Ternyata Aditya tengah menatapnya. Buru-buru Intan memalingkan kembali mukanya. “Ya Alloh, pacaran aja nggak pernah. Ta'aruf nggak pernah. Tahu-tahu ada pria asing di sampingnya.” “Kenapa?” “Ngga
“Nak Adit, Ayah dan Ibu titip Intan, ya. Kesempatan Ayah dan Ibu mendidiknya, kini sudah berpindah ke pundakmu. Ayah dan Ibu percaya, Nak Adit pasti bisa menjadi imam yang baik untuk Intan. Ayah dan Ibu minta, tolong jaga amanah ini,” nasehat Pak Arman saat Aditya pamit. “Insyaalloh, Ayah. Adit akan menjaga Intan dengan sebaik-baiknya,” janji pemuda itu. Sementara Intan masih kesal dengan Aditya. Jawabannya yang tidak lugas, membuatnya merasa dipermainkan. Bisa-bisanya, orang tuanya setuju-setuju saja menikahkan dia dengan pria yang sekarang menjadi suaminya. Ya pasti setuju. Semua orang juga tahu, Aditya itu di mata orang luar adalah perfect young man. Nggak heran kalau Sarah sampai minta balikan. Hanya orang tua Sarah waktu itu saja yang belum membuka mata. Kalau iya, hampir semua orang tua pasti ingin menjadikan Aditya sebagai menantunya. Sholeh, pinter, mapan, pandai bergaul, punya tatakrama, hormat pada orangtua, dan masih banya
Pagi-pagi seperti biasa Intan sudah siap mau berbelanja sayuran ke Mang Udin di dekat Gardu Satpam. Dilihatnya mbak-mbak ART penghuni kompleks sudah pada kumpul di sana. Mereka tengah memilah-milah belanjaannya masing-masing.Selama Intan tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan sering berinteraksi dengan mereka. Kalau saat menginap pun, pasti salah satu tugas Intan adalah belanja sebelum berangkat kuliah. Mang Udin sudah mulai mangkal sejak jam 5 pagi.“Wah pengantin baru datang,” ledek mbak-mbak yang asyik belanja itu.Deg.Seketika mata Intan melebar.Kok pada tahu? Batin Intan.“Kemaren Bu Handoyo bagi-bagi berkat. Katanya kamu dinikahkan di kampung sama Mas Adit ya?” tanya Mira, ART-nya Pak Rusman yang tinggal di sebelah rumah Aditya."Dari mana Mbak Mira tahu?" Padahal, dia sedang menyusun rencana konspirasi menyamar jadi pembantu. Eh, malah tetangga sudah tahu kalau
Flashback“Mah, aku perhatiin, Adit tuh akhir-akhir ini sering jalan sama Intan,” ujar Dimas saat baru pulang kerja. Lelaki itu langsung mengambil air di kulkas dapur.Mama yang sedari tadi sibuk mengupas bawang, menghentikan kegiatannya, Ia menoleh dan tersenyum pada putra tengahnya.“Serius kamu?”Dimas ikut tersenyum melihat ekspresi bahagia mamanya. Sudah sekian bulan sejak Aditya dekat dengan Sarah, mamanya selalu bermuram durja.“Serius, lah, Ma. Kapan Dimas nggak serius. Dimas lihat sendiri, kok.”“Lihat dimana??”Dimas tertawa. Dia lupa kalau sudah janji nggak akan membocorkan rahasia ini.“Mama itu mengkhawatirkan adikmu. Dia kan nggak seperti kamu yang gampang bergaul. Pacaran, putus. Besok dapat lagi. Lha kalau si Adit? Dia ini sejak SMA ngga pernah dekat sama cewek. Kuliah, masih anti cewek. Apalagi kuliah S
Hingga suatu hari, saat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. “Intan keterima dimana, Dik?” Bu Handoyo langsung menelpon sahabatnya, tatkala para tetangga sudah heboh musim penerimaan mahasiswa. “Alhamdulillah, seusai cita-citanya,” sahut Bu Arman. Bu Handoyo sudah tahu sejak lama, kalau Intan ingin sekolah di Jakarta. “Biar tahu ibukota, Bude. Mas Adit suka ngledek kalau Intan kampungan. Mau Intan tunjukin ke dia, kalau Intan juga nggak kalah sama orang kota,” ujarnya, tepat di depan Aditya kala itu. Saat itu, Intan tersinggung, karena Aditya menyindirnya saat semua orang memuji masakannya. “Keren kamu, Dik. Masih remaja sudah pinter masak. Gadis jaman sekarang, mana ada yang suka ke dapur. Ya, nggak, Ma,” puji Danang saat menikmati makan malam di rumah neneknya. Kebetulan Ibu Intan bercerita kalau itu masakan Intan. “Halah, buat apa pinter masak. Pesen catering saja banyak!” sahut Aditya de