“Sarah? Ada apa?” tanya Aditya. Roman muka Aditya setengah terkejut mendapati
Sarah sudah ada di ruang tamu. Wanita itu duduk di sofa yang biasa digunakan untuk menerima tamu.
Sementara, Pak Handoyo terlihat terpaksa menemaninya karena tidak ada orang lain di rumah selain dirinya.
Saat Bu Handoyo masuk rumah dan melihat Sarah di dalam, raut mukanya serta merta berubah menjadi suram. Tak seulas senyum pun terbit dari wajahnya, meski Sarah langsung menyambut untuk menyapa dan menyalaminya.
Wanita paruh baya itu memilih segera masuk ke dalam tanpa kata disbanding ikut menemui tamu anaknya itu di ruang tamu.
Sarah menatap ibunda Aditya yang meninggalkan ruang tamu itu dengan sendu. Ada rasa kaget sekaligus syok saat melihat ekspresi penolakan dari wanita yang telah melahirkan kekasih hatinya itu.
Selama ini, tak seorangpun yang pernah menampakkan raut tak suka padanya. Gelimang harta yang dimiliki, membuat semua orang hormat dan tunduk padanya. Ditambah sikapnya yang selalu ramah, menambah kekaguman setiap orang terhadapnya.
“Om tinggal dulu, ya, Nak Sarah,” pamit Pak Handoyo seraya mengikuti istrinya ke belakang karena sudah merasa ada Aditya yang menemani tamunya.
Sarah mengangguk. Ada rasa lega karena ayah Aditya sangat ramah padanya, bertolak belakang dengan ibundanya.
“Kenapa kamu kesini?” Aditya segera duduk di sofa yang beradu pojok dengan sofa yang diduduki Sarah.
Bagi Aditya, kedatangan Sarah ke rumahnya terlalu nekat, tanpa pemberitahuan padanya. Apalagi, mamanya sejak lama menentang kedekatannya dengan Sarah, meski Aditya tak pernah menceritakan itu pada wanita di hadapannya ini.
“Ponselmu kenapa?” tanya Sarah sambil menatap Aditya dengan cemas.
“Oh, ketinggalan di kamar,” jawab Aditya datar.
Tak menyangka, tindakannya mematikan ponsel, justru membuat Sarah datang ke rumah dan bertemu dengan mamanya.
“Kamu kenapa ngga jawab pertanyaanku kemaren? Jadi ‘kan hari ini kenalan sama papa?” tanya Sarah penuh harap.
Cintanya pada Aditya seolah menggugurkan batas yang tercipta. Dia tak peduli akan status ekonomi Aditya yang berbeda, yang selama ini menjadi alasan utama mamanya Aditya menentang hubungan itu.
Aditya menarik napas dengan berat. Dia memang enggan menjawabnya. Tak tahu jawaban apa yang pantas diberikan.
Jika dia menjawab iya, apakah dia sudah siap dengan segala konsekuensianya. Jika menjawab tidak, apakah dia benar-benar lelaki pecundang yang tak jelas kemana arah sebuah hubungan?
Mendadak pandangan mata Aditya tertuju ke meja tamu. Sarah belum diberi minum dari tadi.
“Kamu mau minum apa?” tanya Aditya mengalihkan pembicaraan.
“Atau, kita minum di luar?” tawar Aditya lagi.
Mungkin akan lebih nyaman membawa Sarah keluar rumah dibanding tetap di rumah dengan menerima sikap penolakan mamanya.
Tak menunggu waktu lama, Sarah mengangguk setuju.
“Pamit dulu sama mama dan papamu,” pinta Sarah.
Wanita itu tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil hati kedua orang tua Aditya. Dengan bersikap sopan, tentu saja akan menambah nilai plus baginya.
Aditya mengangguk sebelum kemudian memanggilkan kedua orang tuanya agar Sarah dapat berpamitan.
Hanya Pak Handoyo yang menyunggingkan senyum.
Sementara, Bu Handoyo masih dingin saat mereka berpamitan.
“Mamamu kenapa? Tampaknya tidak suka denganku?” tanya Sarah saat mereka sudah di mobil. Mobil milik Sarah.
“Ngga papa, mungkin Mama sedang capek saja karena habis dari luar,” jawab Aditya beralasan. Tak tega rasanya memberikan kejujuran jika mamanya tak menyetujui hubungan mereka.
***ETW***
Aditya meminggirkan mobil Sarah di depan sebuah café.
Sejak mengenal Sarah, Aditya lebih sering mengunjungi ke café atau restoran dibanding warung makan tenda pinggir jalan, seperti kebiasaan sebelum mengenal Sarah.
“Kenapa saldo rekeningmu tidak bertambah?” tanya mamanya saat mengecek buku tabungannya.
Sejak mengenal Sarah, Aditya cenderung boros. Pengeluaran untuk jajan tentu tak dipedulikannya, mengingat dia masih lajang dan masih tinggal dengan orang tuanya.
Namun, mamanya selalu mengingatkan, kalau Aditya harus mulai memikirkan masa depan, terutama tabungan. Tidak boros seperti anak kuliahan lagi.
Tak dipungkiri, Aditya memang terpaksa harus mengimbangi gaya hidup Sarah.
“Sebenarnya aku bisa kok makan di tempat biasa,” kata Sarah suatu hari.
Tapi Aditya tidak tega. Apa iya mobil semewah itu akan parkir di depan warung tenda. Bukankah warung tenda pengunjungnya sebagian besar mengendarai motor.
“Kenapa kamu ngga mau segera kenalan sama papaku? Apa weekend besok kamu juga ngga jadi datang ke acara kakakku?” tanya Sarah sambil menunggu pesanan minuman mereka.
“Kamu tahu dari mana alamat rumahku?” Aditya mengalihkan pembicaraan.
“Dari Seno. Ngga papa kan aku tahu rumahmu?” jawab Sarah Sarah.
Aditya menggeleng.
Bukan masalah tidak boleh tahu alamat rumahnya. Tapi, masalahnya mama Aditya belum bisa menerima hubungan mereka.
Jika Sarah nekat datang seperti ini, bukan membuat mama Aditya menerima, justru sebaliknya. Memperkeruh suasana.
“Mas, aku ngga ingin kamu seperti yang lain,” tutur Sarah seraya menghela nafas.
Kata-katanya terhenti sejenak karena pelayan café menyajikan pesanan mereka.
Secangkir kopi late panas yang asapnya mengepul digeser ke hadapan Sarah. Gadis itu lalu menuang gula dalam kemasan saset, kemudian mengaduknya dengan sendok kecil.
Sementara, Aditya yang memesan es capucino mengaduk kopi dalam gelas tersebut dengan sedotan berlubang besar. Embun di gelas sudah membasahi, menunjukkan betapa dinginnya cairan di dalamnya.
“Mereka tidak ada yang mau dekat denganku karena keluargaku. Aku juga tidak mau dilahirkan dari keluarga kaya. Aku ingin seperti kalian, hidup biasa saja,” ujar Sarah seolah menumpahkan kekesalah akan nasibnya.
Selama ini, dia merasa sendiri. Setiap ada pria yang mendekat, mundur teratur Ketika hendak dikenalkan pada keluarganya. Padahal, keluarga mereka bukanlah keluarga yang turun-termurun memiliki kekayaan berlimpah. Papanya dulu juga pernah merasakan masa-masa sulit sebelum kemudian seperti sekarang.
Aditya menunduk. Tangannya masih mengaduk-aduk es capucino miliknya. Pikirannya mencoba memahami bahwa Sarah memang berbeda, tidak seperti yang mamanya khawatirkan. Aditya menjadi sedikit yakin jika tidak ada yang salah dengan Sarah. Dirinya saja yang terlalu khawatir. Mungkin karena banyak dipengaruhi oleh kecemasan mamanya.
“Apa besok kamu ke rumah?” tanya Sarah lagi. Sarah tidak menghiraukan kebisuan pemuda di hadapannya itu.
“Akan aku pikirkan,” jawab Aditya ragu.
“Kalau kamu tidak datang, besok aku jemput,---” ujar Sarah menggantung.
Bola mata Aditya membulat.
Kalau sampai Sarah menjemput, mamanya bisa makin tak menyukainya. Padahal, dia harus dapat mengambil hati mamanya, jika dia benar-benar berharapkan hubungan dengan Sarah berlanjut ke tahap serius.
“Lebih baik jangan. Biar aku yang ke rumahmu,” kata Aditya kemudian.
Sebuah senyum bahagia terulas di bibir Sarah.
Keduanya berjalan keluar dari café setelah menghabiskan minumannya.
“Ngga usah diantar, Mas. Aku bisa sendiri. Aku antar kamu saja,” kata Sarah saat Aditya mau membelokkan mobil ke arah rumah Sarah.
***ETW***
“Apa bagusnya gadis yang nekat datang ke rumah laki-laki?” ujar Bu Handoyo saat Aditya masuk rumah.
Wanita paruh baya itu sedang menanti putranya di ruang tamu. Ia duduk di sofa dengan raut muka masam, seperti saat Sarah masih ada.
“Ma, tadi saat Adit mengantar Mama ke pasar, ponsel Adit ada di rumah. Jadi, Sarah ngga bisa menghubungi,” jelas Aditya. Lelaki itu kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan posisi duduk mamanya.
“Itu bukan alasan. Apa dia tidak bisa bersabar, sampai harus datang ke rumah?” tanya Bu Handoyo retoris.
Wajah wanita yang sudah berganti baju dengan dres rumahan itu tampak muram. Bagi Wanita yang selama ini menjunjung tinggi tatakrama dan adab pergaulan konvensional, mendatangi rumah teman laki-laki adalah hal yang melanggar etika. Apalagi datang seorang diri dengan maksud yang tidak jelas.
Berbeda halnya, jika kedatangannya dengan banyak teman dan hendak mengerjakan pekerjaan sekolah atau pekerjaan kantor. Itupun kalua bisa dihindari.
“Mama tidak suka perempuan seperti itu. Tidak bisa menjaga diri. Tidak bisa menjaga kehormatan,” lanjut Bu Handoyo.
Baginya, datangnya wanita ke rumah lelaki apapun alasannya tidak dapat ditolerir. Apalagi hubungan keduanya belum jelas. Selain mengurangi nilai di mata orang tua keluarga lelaki, juga tak patut dilihat oleh tetangga sekitar.
“Mama, itu bukan masalah kehormatan,” sahut Aditya sambil menurunkan tensi suaranya, agar tetap terdengar sopan di telinga ibundanya.
“Lalu apa? Apakah dia punya harga diri jika datang ke rumah laki-laki, bahkan kita belum mengenalnya?” Suara bu Handoyo kembali meninggi. Ia mencoba menekankan dimana letak kesalahan wanita tambatan hati putranya itu. Bu Handoyo merasa putranya belum paham apa yang selama ini menjadi keresahannya, mengapa ia tak menyetujui hubungan mereka.
Aditya tertunduk lesu. Dia menyadari mamanya memang sudah tidak menyukai Sarah sejak awal. Sehingga apa yang dilakukan Sarah akan selalu terlihat salah. Tak ada untungnya mendebat mamanya.
“Sudah, Ma. Adit, kamu masuk kamar saja,” kata Pak Handoyo berusaha menengahi. Lelaki paruh baya yang sedari tadi duduk sambil membaca majalah ini paham gelagat istrinya jika sudah tidak suka pada sesuatu. Apapun akan tampak tak baik.
Pemuda itu beranjak, lalu melangkah lesu ke kamarnya. Bayang-bayang Sarah dan mamanya bergantian di pelupuk matanya. Bagaimana dia bisa menyatukan dua wanita yang dicintainya.
Drttttt…
[Jangan lupa, ya, Mas. Besok kalau kamu ngga datang, aku jemput] Pesan dari Sarah terbaca di layar ponselnya.
Aditya menghela napas, ia tidak punya keinginan untuk membalasnya.
Dalam hati Aditya bergumam, mungkinkah semua Wanita seperti ini? Mau menang sendiri dan tidak ada yang mau mengalah. Begitu rumitnya hidup dengan wanita. Tapi bukankah suatu masa dia harus hidup dengan wanita?
Sepanjang hidup Aditya, memang hanya mama, wanita satu-satunya. Aditya tiga bersaudara, ketiganya laki-laki. Mungkin, itu juga yang membuat Aditya sulit memahami wanita.
EPILOGSarah sudah menyiapkan sarapan untuk Dimas, Papa dan Mamanya, dibantu oleh ART. Kondisi kesehartan Pak Anwar sudah stabil. Begitu juga Bu Anwar. Mereka bahagia karena Sarah dan Dimas kembali tinggal bersama mereka. “Mama sudah kangen ingin menimang cucu,” ujar Bu Anwar, wanita yang biasanya pendiam itu, di sela-sela sarapannya. Mendengar pertanyaan mamanya tentang keturunan, membuat hati Sarah terasa tersayat oleh kesalahannya sendiri. Dia yang salah, yang membuat bayi dalam kandungannya menjadi tiada. Dan kini, seperti mendapat teguran, karena belum kembali mendapatkan apa yang tiap wanita bersuami inginkan. Sarah dan Dimas saling berpandangan. Sarah terdiam sambil menelan ludah. Sementara Dimas tersenyum, sebagaimana kebiasaannya setiap hendak meanggapi pertanyaan dari siapa saja. “Sabar, Ma. Insyaalloh kalau sudah waktunya, nanti juga dipercaya sama Alloh,” jawab Dimas. “Kalian jangan menunda. Jangan seperti kakakmu yang mementingkan pekerjaaan. Pekerjaan itu taka da ha
Sampai di Jakarta, Dimas dan Sarah langsung bertolak ke kantor. Ada meeting dengan klien yang sudah diagendakan.“Kamu ikut saja, biar kamu tahu perkembangannya,” ujar Dimas pada Sarah. Wanita itu ikut masuk ke ruangan Dimas. Dia sendiri mendapatkan tempat duduk bersama staf lainnya di salah satu kubikel. Meskipun Sarah istrinya, tapi Dimas tak memperlakukan istimewa. Apalagi, memang Sarah yang meminta ditempatkan di bagian keuangan. “Nanti kalau perusahaan sudah selesai dengan problem yang melilit sejak ditinggal papa kamu, kita bisa perluasan lagi kantor. Kamu bisa mendapatkan ruangan sendiri. Dan posisimu juga bisa di naikkan,” ujar Dimas kala dia tak dapat memberikan posisi yang diharapkan Sarah. Lagi pula, dia tak pernah memaksa Sarah untuk bekerja di kantor yang semula memang hanya merekrut para fresh graduate, malah lulusan D3 dan SMK. Yang penting mau bekerja keras, meski Dimas harus berlelah-lelah mengajari dari nol. Dimas segera menyalakan komputernya. Mencetak bahan rapa
Hari ini hari terakhir Intan dan teman-temannya magang di kantor Aditya. Sementara sesuai rencana, Aditya sudah memesan makanan untuk tasyakuran mengumumkan status barunya. Setelah merenungkan kata-kata Intan, benar juga. Semestinya dia harus mengabarkan status itu. Selain menghindarkan fitnah, juga menghindarkan dari kejaran pengagum gelap masing-masing. Aditya sudah meminta ijin menggunakan ruang meeting besar untuk acara tasyakuran yang akan diselenggarakan saat jam istirahat. Hanya staf di divisinya dan di divisi Intan yang diundang. “Baik, bapak dan ibu sekalian. Kami bedua sengaja mengundang bapak dan ibu di sini, karena ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan,” ucap Aditya. Lelaki itu berdiri di depan, sementara pada staf di dua divisi itu duduk melingkar di kursi yang mengelilingi meja itu. ruangan meeting besar itu berkapasitas sekitar tiga puluh orang. Selain staf, pada office boy dan cleaning service pun juga di undang. Intan berdiri di sebelah Aditya. Sementara tem
Pagi-pagi Sarah dan Dimas sudah tiba di bandara. Seperti dugaan Sarah, Hana sudah menjemput di hotel dan mengantarkan mereka berdua ke bandara. Dugaan kuat Sarah, gadis itu memang agak mencurigakan. Namun, Sarah tak menangkap sesuatu yang mencurigakan dari Dimas. Apakah lelaki selalu seperti itu? dapat menyimpan rasa yang dipendamnya? Sarah mengamati setiap gerak gerik Dimas. Begitu tiba di bandara, Dimas turun begitu saja. Tak ada lambaian tangan atau bahkan menunggu mobil yang ditumpangi Rustam dan Hana hilang di tikungan. Tidak ada drama. Atau semua ini karena ada dirinya? Batin Sarah. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bandara, dan langsung menuju ruang tunggu bandara. “Kamu mau mampir minum kopi dulu?” tawar Dimas kala melewati kedai kopi di dalam. “Masih lama?” tanya Sarah. Dimas segera mengecek jam di pergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Cukuplah,” sahut Dimas. Keduanya lalu memilih duduk di sofa pojok, karena café itu lumayan sepi. “Katakan padaku, kenapa k
Aditya melangkah cepat ke ruangan Intan. Dia tak boleh terlambat. Karena pasti gadis itu akan keluar duluan dari ruangannya tepat saat jam makan siang. Aditya menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. Masih kurang satu menit. Lalu dia kembali memasuki ruangan di lantai 6 itu. Baru beberapa langkah, Amir yang kebetulan menoleh ke pintu keluar menatapnya sembari mengulaskan senyum di bibir. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya. “Wah, lagi akur, Bro?” seloroh Amir sembari mendekat ke Aditya.Aditya yang pandangannya sedari tadi fokus ke meja kerja Intan terpaksa menoleh, lalu memberikan sapaan. Meskipun hatinya kesal, namun, bukan tabiat Aditya bermuka masam pada orang lain. Dia hanya bermuka masam pada orang yang hatinya sudah dekat. Mama, Papa dan dua kakak lelakinya. Tapi, pada Intan? Sejak gadis itu masih remaja, Aditya selalu bermuka kecut padanya. Apakah ini tanda-tanda kalau hatinya sudah tertambat sejak remaja? Lelaki itu lalu berhenti di depan meja Intan. Sementara Amir
“Jadi mereka sudah tahu kalau Mas Adit sudah menikah?” tanya Intan lagi. Aditya berdiri karena sudah selesai mengenakan sepatunya. “Ayo berangkat keburu panas!” ujarnya tanpa memberikan jawaban. Keduanya melangkah keluar dari rumahnya. “Beneran aku boleh bareng?” tanya Intan meyakinkan. Jangan sampai dia sudah kena PHP, tahunya tetep jalan kaki. Lumayan juga karena sudah lumayan siang. Panas!Aditya tak menjawab. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan hingga langkahnya terhenti di depan lift. Saat lift terhenti di lantai 5, Aditya segera menggeser tubuhnya ke dekat Intan tatkala melihat Amir dan Irfan masuk. “Tumben berangkat bareng,” kata Irfan sambil menatap Aditya dan Intan bergantian. Aditya hanya menjawab dengan mencebikkan mulutnya. Sementara Intan hanya mengangguk seraya tersenyum.“Mesti deket-deket nih sama calon kakak ipar,” sahut Amir seraya menggeser tubuhnya, sontak membuat Aditya menoleh ke arah Intan seraya melebarkan matanya. Intan melirik Aditya sekilas, lalu