Share

2

last update Huling Na-update: 2023-02-20 19:17:32

Hari itu Hari Sabtu. Sejak pagi Aditya sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Ia ingat, hari itu adalah hari yang ditunggu oleh Sarah. Teman dekatnya itu ingin mendapatkan jawaban, apakah ia bersedia datang ke rumah untuk bertemu dengan ayah Sarah. 

Hati Aditya menjadi gundah. 

Bagaimanapun Sarah mungkin adalah cinta pertamanya. Selama ini, Aditya memang tak mau terjerat oleh cinta. Jika saja dia jatuh hati pada seorang wanita, serta merta dia akan membunuhnya dan mencari pelarian yang lain. Belajar, berorganisasi, atau segudang aktivitas lainnya. 

Tapi kini, apakah yang dia rasakan pada Sarah itu adalah cinta? Apa benar itu cinta?

Aditya mengenal Sarah saat pertama kali masuk menjadi pegawai baru di kantornya. Sarah sudah lebih senior. Dari Sarah lah, Adit banyak mengenal seluk beluk kantor. 

Wanita itu mendekati Aditya saat dirinya masih belum punya banyak kenalan di tempat kerja barunya. Sarah juga yang mengenalkan Aditya pada kolega kantornya yang lain.

Sarah adalah tipe wanita yang mandiri. Meskipun ayahnya seorang pengusaha, namun dia tak serta merta menggunakan kekuasaan ayahnya. Bahkan, Sarah memilih menjadi karyawati biasa di perusahaan lain dibanding bekerja dengan ayahnya. 

"Masih memikirkannya?" Suara Bu Handoyo yang sedang membuka pintu kamar Aditya, mengangetkannya. 

Kamar Aditya berada di lantai dua. Rumah keluarga itu tipe minimalis. Ada tiga buah kamar di lantai atas, dan satu buah kamar di lantai bawah. 

Rumah tipe 21 itu sudah full bangunan, karena begitu anak-anak beranjak besar, mereka dibuatkan kamar masing-masing. Tidak besar, tapi cukup untuk satu buah tempat tidur ukuran single, meja belajar dan lemari pakaian.

"Jam 09.00 antar Mama ke pasar, ya," titah Bu Handoyo. 

Aditya hanya mengangguk lesu. Namun, ini jelas lebih baik jika dibanding harus mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Sarah yang memintanya datang.

Keluarga Bu Handoyo bukan keluarga kaya. Pak Handoyo sebagai kepala keluarga berprofesi sebagai staf di kantor kecamatan. Lelaki itu hanya tamatan SMA yang kemudian melanjutkan S1 saat sudah bekerja. Pangkatnya tentu tidak tinggi. Namun, gajinya cukup untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan tiga anak lelakinya sampai perguruan tinggi. 

Karena keuletan Bu Handoyo dalam mendidik anak-anaknya, ketiganya kini sudah tamat perguruan tinggi, meski tidak semuanya sarjana, ada yang mengambil program diploma. Bahkan Aditya bisa menamatkan Pendidikan S2 nya di luar negeri dengan beasiswa.

Saat Aditya kuliah di luar negeri, di rumahnya, pernah tinggal saudara jauh yang kebetulan sedang kuliah di kampus yang berada di kota tempat Aditya tinggal. 

Bu Handoyo sengaja mengajaknya tinggal bersama, sebab sejak dulu dia menginginkan anak perempuan. Meski, Aditya tak pernah menyetujuinya. 

Sikap Aditya yang tertutup pada wanita, membuatnya merasa risih jika ada perempuan lain tinggal di rumahnya. Apalagi, ukuran rumahnya yang sempit, mengharuskan selalu berinteraksi.

Intan nama gadis itu. Dialah yang biasa menemani Bu Handoyo ke pasar, membantu di dapur, membantu beres-beres rumah, atau apa saja yang dilakukan Bu Handoyo dengan senang hati saat dia tinggal bersama keluarga itu. 

Namun, sejak Aditya kembali ke rumah usai studinya, Intan memilih indekos di dekat kampus. Ia  menyadari Aditya tak menyukai jika dia tetap tinggal di rumah Bu Handoyo. 

Entah mengapa Aditya merasa tidak cocok dengan Intan. 

Gadis yang sehari-hari ceria dan rajin membantu Bu Handoyo itu sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarganya. Sayang, itu tidak berlaku bagi Aditya. 

Setiap ada Intan di dekatnya, dada Aditya merasa bergemuruh, tak tenang. Bahkan, dia sering dilanda emosi. Apa saja yang dilakukan Intan seperti memancing kemarahannya. Anehnya, itu tidak terjadi pada anggota keluarga yang lain. 

"Kalau ada Intan, kita ngga bakal kelaparan," keluh Dimas, kakak kedua Aditya suatu hari, saat Bu Handoyo sedang tak di rumah. 

Dimas memang masih tinggal di rumah meskipun sudah bekerja. Baginya, meski rumah orangtuanya jauh dari tempat kerjanya, namun dia dapat menikmati masakan rumahan setiap hari, dibandingkan dia tinggal di kosan yang hanya selangkah dari kantor, namun harus makan masakan luar setiap hari.

"Emang kita tidak bisa order makanan saja? Kenapa mesti harus nunggu ada Intan?" timpal Aditya gusar. 

Kakaknya selalu saja memuji wanita yang tak disukainya itu. Tentu saja, semua mata langsung menatapnya sambil menggelengkan kepala. Bahkan, semua orang di rumah menganggapnya iri akan keberadaan Intan. 

“Ck!” Aditya berdecak. Apa sih pentingnya anak itu?

"Aditya! Ayo Mama udah siap!" Panggilan Bu Handoyo dari lantai bawah membuyarkan lamunan Aditya. 

Setelah turun dari kamar, Aditya mengeluarkan motor matik yang terparkir di depan rumahnya. 

Dia mengenakan jaket kulit dan juga helm full face yang biasa dipakainya. Panas sudah terik meskipun baru jam 9 pagi. 

Tak lama Bu Handoyo sudah duduk di boncengan belakang. 

Sejak Aditya dekat dengan Sarah, pria itu sudah jarang mengendarai motor jarak jauh. Setiap hari pria itu mengendarai motornya sampai gang dekat rumah Sarah. Setelah itu, dia akan berganti mengemudikan mobil milik Sarah. Mobil keluaran terbaru yang tergolong mewah. Bahkan, karena Sarah juga, Aditya kemudian kursus stir mobil dan memiliki SIM. 

Aditya meminggirkan motornya saat sudah memasuki area pasar, tempat menurunkan mamanya. Wanita itu biasanya akan menelpon jika sudah usai berbelanja. Namun, hari ini Aditya sengaja tidak membawa ponsel. 

“Ma, Adit tunggu di tempat bubur ayam, ya” ujar Aditya begitu mamanya turun. 

Wanita paruh baya yang masih lincah dan energik itu mengangguk. Lalu ia menenteng tas belanjaannya masuk ke mulut pintu pasar. 

Aditya menikmati semangkuk bubur ayam. Pikirannya menerawang saat merasakan panasnya udara pagi itu. Peluh mulai membasahi dahinya. Pria itu teringat, sejak bersama Sarah, dia hampir tak pernah makan di warung tenda atau kios pinggir jalan sederhana seperti saat ini. Minimal café dengan sentuhan penyejuk ruangan.

“Aku yang traktir, Dit!” Sarah selalu menolak jika dia hendak membayarnya. Katanya, itu sebagai ganti karena dia sudah mengantar jemputnya setiap hari. 

Mendadak hati Aditya merasa ngilu mengingatnya. Aditya merasa malu, dia merasa hanya seperti supir yang setiap pagi dan sore mengantar dan menjemput Sarah. 

"Melamun lagi?" Bu Handoyo menepuk bahu Aditya. 

Ibunda Aditya meletakkan satu kantung besar belanjaan di sisi kaki Aditya yang duduk di bangku warung bubur ayam itu.  

"Mama perhatikan, sejak kamu dekat sama gadis itu, kamu lebih banyak melamun dibanding bersuka hati," lanjut Bu Handoyo. 

Wanita itu kemudian menarik kursi plastik di sebelah Aditya dan duduk di sana, lantas ia memesan es jeruk untuk melepas dahaganya.

"Kamu sudah dewasa. Sebuah hubungan harus jelas kemana arahnya. Jangan jadi pengecut." Bu Handoyo menambahkan. 

Arahnya masih sama. Ketidaksukaan hubungan Aditya dengan wanita anak orang kaya.

"Dalam pernikahan, sepadan itu penting, Nak. Jangan sampai perbedaan latar belakang keluarga, kelak akan menimbulkan masalah," nasehat Bu Handoyo lagi. 

"Kamu sekarang mungkin belum merasakan. Tapi percayalah. Hidup berkeluarga itu tidak sulit tapi juga tidak mudah. Menjadi mudah jika keduanya memiliki visi yang sama. Tapi akan menjadi sulit jika dari awal tidak dilandasi kesepemahaman..." ucap wanita yang meskipun hanya ibu rumah tangga, namun pemikirannya jauh ke depan.

Aditya menarik nafas berat, lalu menghembuskannya kembali. Ia memikirkan dan membenarkan apa kata mamanya. 

Bubur ayam di mangkuk Aditya sudah tandas. Pria itu lalu meneguk teh tawar yang disajikan gratis kepada pembeli bubur.  

Sementara, sang mama menyedot jus jeruk dengan perlahan. Ia menikmati aliran dingin cairan itu di tenggorokannya. 

“Mama beli bumbu dapur dulu. Ada yang ketinggalan. Kamu tunggu di sini saja,” ujar wanita itu sebelum berjalan cepat menyusuri trotoar yang penuh pedagang sayuran, kembali ke dalam pasar.

Sementara Aditya hanya menatap punggung mamanya, hingga hilang di tikungan arah masuk ke pasar.

***ETW***

Aditya masih menyandarkan punggungnya di sandaran kursi plastik di warung itu. Cuaca terik tak membuatnya ingin bergeser dari posisinya. Pikirannya dipenuhi oleh nasehat mamanya akhir-akhir ini. 

Aditya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini memang tidak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita. Dari dulu dia tidak percaya dengan namanya pacaran. Dia lebih memilih menghindar dari jatuh cinta. Bukan karena tak ada yang menyukainya. Bahkan bisa dibilang banyak yang antri untuk mendapatkannya. Tapi dia tidak ingin merasakan sakitnya putus cinta.

Tapi kini, jalannya telah berubah. Usianya sudah cukup matang. Teman-teman seangkatannya sudah bergantian mengirimkan undangan pernikahan. Tapi tak satu jua pun hati tertambat padanya. Hingga Sarah, gadis cantik berkelas itu tiba-tiba mengisi hatinya. 

Aditya mengacak rambutnya dengan kasar. Mengapa harus Sarah? Kenapa tidak yang lain? Di kantornya, banyak staf yang cantik dan pintar. 

Awalnya, banyak gadis yang mencoba mencuri perhatiannya. Namun, setelah mengetahui kedekatannya dengan Sarah, tak satupun berani mendekat. 

"Hebat kamu, Dit," kata Seno, teman sedivisinya suatu hari. 

"Di kantor ini ngga ada yang berani mendekati Sarah. Semua keder. Hanya kamu yang berani," lanjut Seno. 

Saat itu, Aditya belum tahu latar belakang Sarah. 

"Emang kenapa, Kak?" tanya Aditya menyelidik. Digesernya kursi duduknya mendekati kursi Seno yang berada di sebelah kubikelnya. Ada rasa penasaran dengan apa yang dikatakan Seno barusan.

"Keluarganya tajir melintir. Ngga selevel sama kita. Mendingan kita mundur." kata Seno sambil mengesekkan ibu jari dengan jari tengahnya, sebagai isyarat banyaknya uang yang dimiliki oleh keluarga Sarah. 

Setelah percakapannya dengan Seno dan penjelasan lelaki itu panjang lebar, Aditya mulai mencari alasan untuk tidak mundur. 

Sarah, meskipun dari golongan kaya, tetapi dia sama sekali tidak sombong. Tetap rendah hati. Bahkan Aditya sampai tidak tahu jika ternyata keluarganya kaya. 

Sarah rajin menolong. Dia memiliki jiwa dermawan. Sering Aditya melihatnya memberikan sedekah jika bertemu dengan orang yang tidak mampu dan membutuhkan. 

"Sudah melamunnya?" kata Bu Handoyo sambil menepuk pundaknya. 

Wanita yang telah melahirkannya itu sudah membawa tas jinjing berisi bumbu dapur dan aneka rupa sayuran. Padahal, di sebelah kaki Aditya sudah tergeletak tas besar berisi belanjaan. Wanita itu memang biasa berbelanja seminggu sekali ke pasar. Selebihnya, belanja dari tukang sayur.

"Langsung pulang atau kemana dulu, Ma?" tanya Aditya sambil mengaitkan tas belanjaan mamanya ke kaitan di motornya.

"Pulang saja. Tapi, nanti mampir dulu ke penjahit langganan Mama, ya." Aditya mengangguk. 

Padahal dia berharap mamanya akan belanja lagi atau kemana lagi yang memakan waktu lama. Aditya merasa ingin melarikan diri dari beban pikirannya. 

"Memilih pasangan yang tepat itu bisa membuat kita nyaman dan bahagia, bukan menambah beban pikiran," ujar Bu Handoyo saat Aditya meminggirkan motornya di tukang jahit langganannya, seolah tahu jalan pikiran Aditya. 

Penjahit langganan Bu Handoyo adalah penjahit rumahan. Letaknya di ujung gang kompleks perumahan berseberangan dengan perumahan di mana Aditya tinggal. Sama, perumahan kelas bawah padat penghuni. Bukan penjahit butik berkelas. 

Tak lama, mamanya sudah keluar dengan menenteng tas agak besar berisi baju jahitan. 

"Mbak Hani ini jahitannya bagus. Enak dipakai. Nanti kamu kalau menikah, calon istri kamu bisa menjahitkan kebaya di sini," kata Bu Handoyo, seolah menyentil Aditya. 

Deg. Tiba-tiba jatungnya merasa bergemuruh. 

Mana mau Sarah menjahitkan baju nikah di penjahit rumahan. Tempo hari saja untuk menyambut tamu makan malam, gaunnya buatan butik ternama. 

Saat motor yang dikendarai Aditya hampir mendekati rumahnya, terlihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. 

"Ada tamu, Dit. Siapa, ya?" tanya Bu Handoyo. Kepalanya setengah melongok ke depan karena penasaran. 

Mata Aditya serta-merta membulat. 

Mobil itu adalah mobil yang setiap hari dikendarainya. 

Ada apa Sarah datang ke rumah? Dari mana dia tahu rumah Aditya? Bukannya selama ini Aditya tak pernah memberitahukannya di mana rumahnya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • JODOH PILIHAN MAMA   56c

    EPILOGSarah sudah menyiapkan sarapan untuk Dimas, Papa dan Mamanya, dibantu oleh ART. Kondisi kesehartan Pak Anwar sudah stabil. Begitu juga Bu Anwar. Mereka bahagia karena Sarah dan Dimas kembali tinggal bersama mereka. “Mama sudah kangen ingin menimang cucu,” ujar Bu Anwar, wanita yang biasanya pendiam itu, di sela-sela sarapannya. Mendengar pertanyaan mamanya tentang keturunan, membuat hati Sarah terasa tersayat oleh kesalahannya sendiri. Dia yang salah, yang membuat bayi dalam kandungannya menjadi tiada. Dan kini, seperti mendapat teguran, karena belum kembali mendapatkan apa yang tiap wanita bersuami inginkan. Sarah dan Dimas saling berpandangan. Sarah terdiam sambil menelan ludah. Sementara Dimas tersenyum, sebagaimana kebiasaannya setiap hendak meanggapi pertanyaan dari siapa saja. “Sabar, Ma. Insyaalloh kalau sudah waktunya, nanti juga dipercaya sama Alloh,” jawab Dimas. “Kalian jangan menunda. Jangan seperti kakakmu yang mementingkan pekerjaaan. Pekerjaan itu taka da ha

  • JODOH PILIHAN MAMA   56b

    Sampai di Jakarta, Dimas dan Sarah langsung bertolak ke kantor. Ada meeting dengan klien yang sudah diagendakan.“Kamu ikut saja, biar kamu tahu perkembangannya,” ujar Dimas pada Sarah. Wanita itu ikut masuk ke ruangan Dimas. Dia sendiri mendapatkan tempat duduk bersama staf lainnya di salah satu kubikel. Meskipun Sarah istrinya, tapi Dimas tak memperlakukan istimewa. Apalagi, memang Sarah yang meminta ditempatkan di bagian keuangan. “Nanti kalau perusahaan sudah selesai dengan problem yang melilit sejak ditinggal papa kamu, kita bisa perluasan lagi kantor. Kamu bisa mendapatkan ruangan sendiri. Dan posisimu juga bisa di naikkan,” ujar Dimas kala dia tak dapat memberikan posisi yang diharapkan Sarah. Lagi pula, dia tak pernah memaksa Sarah untuk bekerja di kantor yang semula memang hanya merekrut para fresh graduate, malah lulusan D3 dan SMK. Yang penting mau bekerja keras, meski Dimas harus berlelah-lelah mengajari dari nol. Dimas segera menyalakan komputernya. Mencetak bahan rapa

  • JODOH PILIHAN MAMA   56a

    Hari ini hari terakhir Intan dan teman-temannya magang di kantor Aditya. Sementara sesuai rencana, Aditya sudah memesan makanan untuk tasyakuran mengumumkan status barunya. Setelah merenungkan kata-kata Intan, benar juga. Semestinya dia harus mengabarkan status itu. Selain menghindarkan fitnah, juga menghindarkan dari kejaran pengagum gelap masing-masing. Aditya sudah meminta ijin menggunakan ruang meeting besar untuk acara tasyakuran yang akan diselenggarakan saat jam istirahat. Hanya staf di divisinya dan di divisi Intan yang diundang. “Baik, bapak dan ibu sekalian. Kami bedua sengaja mengundang bapak dan ibu di sini, karena ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan,” ucap Aditya. Lelaki itu berdiri di depan, sementara pada staf di dua divisi itu duduk melingkar di kursi yang mengelilingi meja itu. ruangan meeting besar itu berkapasitas sekitar tiga puluh orang. Selain staf, pada office boy dan cleaning service pun juga di undang. Intan berdiri di sebelah Aditya. Sementara tem

  • JODOH PILIHAN MAMA   55b

    Pagi-pagi Sarah dan Dimas sudah tiba di bandara. Seperti dugaan Sarah, Hana sudah menjemput di hotel dan mengantarkan mereka berdua ke bandara. Dugaan kuat Sarah, gadis itu memang agak mencurigakan. Namun, Sarah tak menangkap sesuatu yang mencurigakan dari Dimas. Apakah lelaki selalu seperti itu? dapat menyimpan rasa yang dipendamnya? Sarah mengamati setiap gerak gerik Dimas. Begitu tiba di bandara, Dimas turun begitu saja. Tak ada lambaian tangan atau bahkan menunggu mobil yang ditumpangi Rustam dan Hana hilang di tikungan. Tidak ada drama. Atau semua ini karena ada dirinya? Batin Sarah. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bandara, dan langsung menuju ruang tunggu bandara. “Kamu mau mampir minum kopi dulu?” tawar Dimas kala melewati kedai kopi di dalam. “Masih lama?” tanya Sarah. Dimas segera mengecek jam di pergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Cukuplah,” sahut Dimas. Keduanya lalu memilih duduk di sofa pojok, karena café itu lumayan sepi. “Katakan padaku, kenapa k

  • JODOH PILIHAN MAMA   55a

    Aditya melangkah cepat ke ruangan Intan. Dia tak boleh terlambat. Karena pasti gadis itu akan keluar duluan dari ruangannya tepat saat jam makan siang. Aditya menatap jam di pergelangan tangannya sejenak. Masih kurang satu menit. Lalu dia kembali memasuki ruangan di lantai 6 itu. Baru beberapa langkah, Amir yang kebetulan menoleh ke pintu keluar menatapnya sembari mengulaskan senyum di bibir. Pemuda itu lalu bangkit dari duduknya. “Wah, lagi akur, Bro?” seloroh Amir sembari mendekat ke Aditya.Aditya yang pandangannya sedari tadi fokus ke meja kerja Intan terpaksa menoleh, lalu memberikan sapaan. Meskipun hatinya kesal, namun, bukan tabiat Aditya bermuka masam pada orang lain. Dia hanya bermuka masam pada orang yang hatinya sudah dekat. Mama, Papa dan dua kakak lelakinya. Tapi, pada Intan? Sejak gadis itu masih remaja, Aditya selalu bermuka kecut padanya. Apakah ini tanda-tanda kalau hatinya sudah tertambat sejak remaja? Lelaki itu lalu berhenti di depan meja Intan. Sementara Amir

  • JODOH PILIHAN MAMA   54b

    “Jadi mereka sudah tahu kalau Mas Adit sudah menikah?” tanya Intan lagi. Aditya berdiri karena sudah selesai mengenakan sepatunya. “Ayo berangkat keburu panas!” ujarnya tanpa memberikan jawaban. Keduanya melangkah keluar dari rumahnya. “Beneran aku boleh bareng?” tanya Intan meyakinkan. Jangan sampai dia sudah kena PHP, tahunya tetep jalan kaki. Lumayan juga karena sudah lumayan siang. Panas!Aditya tak menjawab. Lelaki itu hanya menatap lurus ke depan hingga langkahnya terhenti di depan lift. Saat lift terhenti di lantai 5, Aditya segera menggeser tubuhnya ke dekat Intan tatkala melihat Amir dan Irfan masuk. “Tumben berangkat bareng,” kata Irfan sambil menatap Aditya dan Intan bergantian. Aditya hanya menjawab dengan mencebikkan mulutnya. Sementara Intan hanya mengangguk seraya tersenyum.“Mesti deket-deket nih sama calon kakak ipar,” sahut Amir seraya menggeser tubuhnya, sontak membuat Aditya menoleh ke arah Intan seraya melebarkan matanya. Intan melirik Aditya sekilas, lalu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status