Aditya sedang mematut diri. Dari pagi dia sudah beberapa kali berganti T-shirt. Mungkin karena grogi, rasanya semua bajunya seperti tidak pantas dipakainya.
[Sudah siap? Papa sudah menunggumu]
Sebuah pesan dari Sarah masuk Kembali ke ponsel Aditya. Jika sebelumnya Aditya sangat bersuka hati pergi dengan Sarah, hari ini, dia menjadi kesal.
Dia bingung, apakah harus benar-benar datang, atau lebih baik mencari alasan. Ah, lelaki macam apa aku ini? Jangan sampai dibilang pengecut, batin Aditya terus saja berperang.
“Kamu yakin mau ke sana?” tanya Bu Handoyo saat melihat Aditya turun dari lantai dua.
Penampilan Aditya sudah rapi dengan kaus berkerah warna biru donker polos yang dimasukkan ke dalam celana jin warna senada, hingga memberi kesan santai namun elegan. Tak lupa ikat pinggang menambah penampilannya sedikit berwibawa.
Ibunda Aditya itu masih tampak tidak meyakini jika anak bungsunya akan benar-benar datang untuk berkenalan dengan keluarga Sarah.
“Jadilah dirimu sendiri, Nak? Jangan jadi orang lain,” pesan Bu Handoyo sebelum Aditya sempat menjawab pertanyaannya.
Aditya menghela napasnya panjang.
Hari ini dia memutuskan akan benar-benar pergi ke rumah Sarah. Mengendarai motornya, kendaraan yang selama ini dipakainya. Bukan mobil layaknya orang berada. Bagaimana kira-kira penerimaan orang tua Sarah.
***ETW***
Tak seperti biasanya yang hanya mengantar jemput Sarah hingga ujung gang dan menitipkan motornya di kedai kopi, kali ini Adtya mengendari motornya memasuki perumahan elit, dimana tambatan hatinya itu tinggal.
Ada rasa berbeda.
Berbeda dengan perumahan tempat Aditya tinggal yang sederhana dan padat penduduk, hingga akan mudah ditemui anak-anak berseliweran di jalanan, termasuk pedagang aneka jajanan dan pedagang sayuran.
Sementara di kompleks perumahan yang dia masuki kali ini cenderung sepi. Pagar-pagar tinggi menjulang. Tak ada tukang sayur atau jajanan lalu Lalang. Bahkan untuk masuk ke gerbang kompleks saja, Aditya harus menyebutkan nama pemilik rumah yang hendak dia kunjungi ke satpam.
Aditya memacu motornya perlahan.
Meskipun Sarah sudah membagikan lokasi rumahnya, namun Aditya ingin menelisik bangunan rumah yang tak sadar membuat jantungnya bergemuruh. Apakah kelak dia bisa menghadiahkan Sarah rumah seperti ini? Sementara orang tuanya saja tinggal di rumah tipe kecil.
Lamunan Adtya terhenti tatkala dilihatnya lambaian tangan Sarah di depan salah satu gerbang pagar tak jauh darinya.
Gadis itu memakai dress dengan rambut lurus tergerai di atas pundak, sehingga terlihat segar.
“Ayo masuk, Mas,” ujar Sarah sambil mendorong pintu pagar.
Halaman depan rumah itu sungguh luas. Selain terparkir beberapa mobil, termasuk mobil yang biasa dikendarai oleh Aditya, di halaman juga terlihat tanaman-tanaman hias.
Berbeda dengan halaman rumahnya yang hanya cukup untuk beberapa motor anggota keluarganya. Ada beberapa pot tanaman yang dipelihara oleh mamanya, tapi tidak sebanyak di rumah Sarah. Mamanya pecinta tanaman hias, tapi bukan yang harganya mahal. Malah, mamanya mengembangbiakkan sendiri, dari satu pot menjadi beberapa pot.
Aditya memarkir motornya di sela-sela mobil yang berderet.
“Ayo masuk, jangan bengong,” tukas Sarah.
Gadis itu lalu mengajak Aditya masuk ke rumah. Rumah megah dengan sofa mewah berjajar di ruang tamu.
Berbeda dengan rumah Aditya yang sempit dan penuh perabot rumah, meski telah ditata apik oleh mamanya. Rumah Sarah terasa lega dan luas.
Tiba-tiba saja rasa percaya diri Adtya yang sejak dari rumah dibangun, kini sudah lenyap.
“Papa di halaman belakang, Mas,” ujar Sarah tatkala melihat ekor mata Aditya seolah mencari-cari sesuatu.
Aditya mengikuti Sarah masuk lebih dalam. Dadanya bergetar. Bahkan, ruang tamunya saja sudah seluas rumahnya sendiri. Rasa tak nyaman mulai menyeruak dalam hatinya.
Aditya menyapa satu dua orang yang ditemui di dalam rumah. Mereka adalah pegawai rumah tangga. Ada tukang kebun, dan ada pula bibik yang berbenah dan memasak.
Berbeda dengan di rumahnya yang hanya mengandalkan mamanya untuk melakukan semua tugas rumah tangga.
Sesampai di halaman belakang, terlihat seorang pria berusia lebih dari setengah abad itu berdiri membelakanginya. Rambutnya sedikit memutih. Badannya tegap dan terlihat segar. Pria itu tampak sedang mengamati ikan yang lalu lalang di akuarium yang berukuran besar.
“Pa, ini Mas Adit.”
Pria itu membalikkan badannya. Ia menatap Aditya dengan menyungingkan senyum keramahan.
Aditya segera menyalami Pak Anwar, papa Sarah, dengan takzim.
“Mama mana, Pa?” tanya Sarah. Ekor matanya menatap sekitar mencari-cari seseorang.
Pria itu lalu mengajak Aditya melihat ikan hias miliknya.
Aditya merasa benar-benar mati kutu. Perasaanya tak karuan. Dia merasa bodoh karena sama sekali tidak mengerti dengan pembicaraan lelaki di sebelahnya ini mengenai ikan hias. Namun, dia tak ingin membuatnya kecewa.
Sesekali Aditya menanggapi dengan bahasa tubuhnya, manggut-manggut.
“Mas, ini Mama...”
Sarah datang mendekat dengan seorang wanita paruh baya yang perawakan sedikit gemuk, jauh dari bayangan Aditya.
Semula, pemuda itu membayangkan kalau mama Sarah tentulah mirip sosialita.
“Selamat siang, Tante,” sapa Aditya seraya menyalami mama Sarah.
Wanita itu hanya mengangguk, tanpa berucap sepatah kata. Bahkan, roman mukanya pun hanya dingin.
***ETW***
“Ayo Pa, Ma, kita makan. Makan siang sudah siap. Keburu dingin,” ujar Sarah sambil mengajak semuanya ke meja makan.
Ruang makan yang ada di dalam rumah Sarah sangat besar dengan meja makan yang besar. Bahkan, mereka hanya mengisi ujungnya saja. Banyak makanan telah tersaji di sana.
“Ayo, Mas ...” Sarah menegur Aditya saat pria berkaus biru tua itu masih bengong, setelah papa dan mamanya mengambil makanan.
Aditya memilih hanya mengambil lauk yang terdekat dari posisinya.
“Orang tua Nak Adit, kerja dimana?” tanya Pak Anwar di sela-sela makannya, seolah menyelidik.
“PNS, Om. Di kantor kecamatan. Mama saya di rumah, ibu rumah tangga,” jawab Aditya singkat.
Pria paruh baya itu mengangguk mendengar jawaban Aditya.
“Tadi ke sini naik apa?” tanya Pak Anwar lagi.
Apa yang dikawatirkan, seolah menjadi kenyataan. Mendengar pertanyaan itu, Aditya mulai merasa insecure. Aditya mulai tak nyaman. Apalagi selama ini dia telah memanfaatkan fasilitas milik Sarah.
“Motor, Om.” jawab Aditya ragu.
Namun, Pak Anwar tampak biasa saja. Tidak kaget, ataupun merendahkan.
“Om ini dulunya juga bukan siapa-siapa, Nak Adit. Hanya kuli bangunan yang merantau ke kota. Nasib mujur saja hingga Om bisa seperti ini,” ujar Pak Anwar mulai menceritakan jatidirinya. Nampaknya lelaki ini mulai membaca kecemasan Aditya.
Sementara, Aditya merasa jarum jam berjalan sangat lambat. Biasanya tak sulit bagi dirinya untuk mengajak ngobrol dengan orang yang seumuran papanya. Topik pembicaraan apa saja bisa diimbangi. Aditya memang berwawasan sangat luas. Namun baru kali ini ia merasa mati kutu.
“Oo jadi kamu sudah lulus master di luar negeri?” tanya Pak Anwar.
Adit hanya mengangguk. Entah mengapa lidahnya terasa kelu. Padahal harusnya dia merasa bangga. Harusnya dia bisa menjadikan prestasinya itu untuk menaikkan jati dirinya di hadapan orang tua Sarah. Tapi, dia kini merasa menjadi bukan dirinya sendiri.
Benar kata mamanya. Dia harus menjadi dirinya sendiri.
Jam baru menunjukkan pukul satu. Padahal dia datang jam 12 siang. Tapi dia sudah merasa jengah.
Rasanya sudah habis topik pembicaraan. Padahal, biasanya dia memiliki cadangan stok bahan pembicaraan yang banyak.
Aditya sudah biasa bicara dengan orang-orang di warteg, warkop ataupun tukang ojek yang dulu biasa mangkal di pangkalan.
Tak hanya itu, dengan kalangan atas pun dia tak pernah segan. Pejabat KBRI, pejabat di kampusnya dulu, dekan, ketua jurusan, bahkan pembicara-pembicara seminar yang diundangnya, semua sudah biasa.
Namun kini, seolah lidah seolah kaku. Rahangnya malas untuk membuka, meski sekedar berbasa-basi.
Drdttdrdttt.
“Sarah, mamaku minta aku anterin belanja, bisa tidak aku pamit sekarang?” bisik Aditya usai membaca pesan dari Mamanya.
Sarah mengangguk.
“Pa, Ma, Mas Adit mau pamit,” ucap Sarah memberikan pengantar sebelum Aditya berpamitan ke orang tua Sarah.
Keluar dari rumah Sarah, Aditya melajukan motornya keluar kompleks perumahan elit itu. Lega rasanya bisa keluar dari rumah besar nan megah itu. Lega juga karena dia tidak jadi pengecut. Ah biarlah apa yang terjadi nanti.
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak