Share

3. Dijodohkan

Author: Elita Lestari
last update Last Updated: 2025-01-23 15:35:48

Nadira dibuat keheranan. Begitu ia selesai mandi, Mbok Ras sudah berada di kamarnya. Wanita yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu tengah menyiapkan pakaian dan peralatan makeup.

"Simbok ngapain?" tanya Nadira yang tubuhnya sudah terbalut kaus putih dan celana pendek sebatas paha. Rambut basahnya meneteskan air ke pundak. Kaki yang masih banyak air meninggalkan jejak licin di lantai kamar. Mbok Ras geleng-geleng kepala melihatnya.

"Rambutnya dipakein handuk dulu, dong, Nduk. Kakinya juga kenapa ndak keset dulu itu. Jadi basah ke mana-mana. Licin. Kalau kepleset kepiye, jal?" tegur si wanita paruh baya, dengan logat Jawa yang kental.

"Hehehe ... buru-buru, Mbok. Tadi Ayah minta Rara cepet-cepet," sahut si majikan kecil sambil nyengir.

"Iya, tapi tetep kudu hati-hati. Sini dibantu sama Simbok." Pemilik nama lengkap Rasmiyati itu meraih lengan Nadira. Menarik gadis tersebut untuk duduk di tepi ranjang.

Nadira tak membantah. Tak ada kecanggungan, karena memang sudah biasa. Sejak kecil, Nadira diurus oleh Mbok Ras. Ibunya sudah lama meninggal dunia, bahkan sejak Nadira masih balita.

Ekor mata gadis itu melirik ke atas ranjang, di mana sebuah midi dress berwarna peach diletakkan oleh pembantunya itu di sana.

"Ini baju siapa?" Nadira bertanya ketika Mbok Ras kembali  dengan membawa handuk kecil yang baru saja ia ambil dari dalam lemari.

"Bapak yang nyiapin. Buat Gendhuk pakai," jawab Mbok Ras seraya mulai mengusak rambut Nadira agar lekas kering. Gendhuk adalah panggilan sayang dari Mbok Ras untuk Nadira. Panggilan umum untuk gadis di kampung, tetapi Nadira merasa istimewa ketika Mbok Ras menyebutnya 'Nduk'.

"Suruh dipakai sekarang?" Gadis itu memiringkan kepala, mendongak ke arah pembantunya.

"Iya. Ini dikeringkan dulu rambutnya, terus ganti baju. Nanti Simbok bantu dandan." Wanita setengah tua yang mengenakan daster batik itu menyampirkan handuk kecil tadi pada bahu Nadira.

"Emangnya mau ke mana, sih, Mbok? Kok harus dandan segala." Gadis itu menoleh ke arah Mbok Ras, sambil menggosok sendiri rambutnya.

"Ndak ke mana-mana. Di rumah saja. Tapi mau ada tamu yang datang." Mbok Ras menjawab sembari mengambil hairdryer dari dalam laci meja rias.

Nadira bertanya saat wanita paruh baya itu kembali mendekat. "Ayah mau bawa wanita ke rumah? Ayah mau nikah, ya?" terkanya.

Mbok Ras tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. "Kalau Bapak memang mau menikah lagi yo sudah dari dulu to, Nduk. Bapak itu cintanya cuma buat ibu sama kamu. Ndak bakal ada wanita lainnya."

"Lah, terus. Mau ada acara apa? Segala suruh pakai dress ginian. Diminta dandan pula." Ujung jari Nadira menyentuh gaun sederhana yang ada di sebelahnya.

"Kalau Simbok bilang, bukan kejutan, dong, namanya. Bapak saja ndak ngasih tahu, to?" Mbok Ras mencubit hidung bangir milik majikan kecilnya.

"Ah, Simbok gitu. Ayo bilang buruan." Sang gadis menggoyang-goyangkan lengan si wanita setengah tua yang selama ini mengasuhnya. Merayu, meminta jawaban.

"Nanti kamu juga tahu sendiri." Mbok Ras menunjukkan senyuman.

Meski banyak pertanyaan di dalam kepala, Nadira akhirnya patuh juga. Pasrah ketika akhirnya dirinya di-permak oleh Mbok Ras.

Ternyata, bersiap saja membutuhkan waktu cukup lama. Hari sudah mulai gelap saat Nadira turun ke lantai bawah. Wajah manisnya tampak bercahaya dengan riasan tipis ala Mbok Ras. Rambut sedikit bergelombang sebatas bahu itu dibiarkan terurai dengan aksesoris jepit pita kecil di salah satu sisi.

Tampak seperti gadis-gadis Korea dalam drama, tetapi kecantikan alami pribumi yang Nadira miliki sungguh terpancar lebih indah. Para aktris dijamin kalah.

"Ayah!" panggilnya, berjalan cepat dan melompat pada barisan anak tangga. Kakinya tak memakai alas. Sepatunya belum disiapkan oleh Mbok Ras.

Tidak mendapat sahutan dari sang ayah, gadis itu mencari sang pembantu yang sudah turun lebih dulu. Dapur adalah area yang dia tuju. Benar saja, si wanita pecinta daster batik itu sedang menata hidangan di atas meja makan.

"Oh, wow!" seru gadis tersebut.

Bibir Nadira membulat. Selama tujuh belas tahun hidup di dunia, sepertinya baru kali ini Nadira melihat Mbok Ras masak banyak. Bahkan di hari raya atau hari ulang tahunnya saja tidak seheboh ini isi meja makan mereka.

"Ini mau ada tamu siapa, sih, Mbok? Kok meja makan ampe penuh begini?" tanya Nadira. Tangannya terulur ingin mencomot potongan lauk, tetapi punggung tangannya langsung ditepuk pelan sama si pembantu.

"Ndak sopan itu. Nanti saja bareng-bareng tamu," tegur Mbok Ras dengan ekspresi marah yang dibuat-buat. Sementara Nadira menyuguhkan cengiran konyolnya.

"Habisnya Rara lapar, Mbok. Tadi di sekolah Rara kena hukum suruh bersihin toilet seluruh gedung. Gak sempet makan. Untung gak semaput." Gadis itu mengadu sambil mengusap perut.

"Waduh, siapa yang berani menghukum tuan putrinya Mbok Ras?" Wajah wanita tua itu terkejut. Meski sebenarnya kejadian seperti itu bukan hal yang baru. Sudah biasa mendengar kabar Nadira dihukum. Namun, membersihkan toilet di seluruh gedung itu terdengar sungguh terlalu.

"Sama guru galak predator anak. Ngeselin banget, deh, Mbok. Tapi ganteng, sih. Hihihi ...." Nadira tak memungkiri. Adhinata memang setampan itu.

"Guru galak predator anak, piye to maksudnya?" Mbok Ras mengerutkan keningnya.

"Dah, enggak usah dipikir, Mbok. Nanti pusing." Nadira mengibaskan tangan.

"Mendingan Simbok ganti baju sana. Masa mau ada tamu, dasteran gombrong begini. Buruan dandan yang cantik," sambung gadis itu, memutar bahu Mbok Ras dan mendorong tubuh sedikit subur tersebut menuju kamar yang tak jauh dari dapur.

"Simbok lho mau nonton sinetron saja di kamar. Kamu saja nanti yang menjamu tamunya," kata Mbok Ras.

"Enak saja. Mana boleh gitu." Nadira berkacak pinggang.

"Boleh saja. Terserah Simbok," seloroh Mbok Ras.

"Dih, Simbok mah gitu." Nadira cemberut.

"Yo ben!" Wanita paruh baya itu melenggang ke kamar. Setelah mengucap satu kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti 'biarin' tersebut.

"Pakai sepatu yang Simbok siapin di dekat tangga, Nduk." Mbok Ras bersuara lantang sebelum sepenuhnya menghilang ke dalam kamar.

Nadira tak membalas. Pipinya menggembung lucu karena sebal. Namun, gadis itu tetap melakukan apa yang Mbok Ras minta. Dia memutar badan lalu melangkah mendekati tangga.

Benar kata Mbok Ras. Di sana, sudah ada kotak sepatu berwarna hitam. Gadis itu duduk di anak tangga terbawah dan membuka kotak sepatunya. Tidak seperti warna kotaknya yang gelap, justru sepasang sepatu di dalamnya berwarna putih tulang dengan style Mary Jane kekinian.

"Wah, bagus," celetuk Nadira kagum. Selera ayahnya bagus juga. Selama ini biasanya Wirawan hanya memberi uang. Perkara mau dibelanjakan apa, itu terserah Nadira. Baru malam ini dia mendapatkan hadiah yang tak terduga.

Nadira suka.

Bukan perkara selera yang merasa dipuaskan, tetapi ini karena sang ayah menunjukkan perhatian yang biasanya sangat jarang Nadira dapat.

Sungguh hal langka. Wirawan biasanya hanya sibuk kerja.

Gadis itu memasukkan kaki kanan, lalu kaki kirinya. Kaitan di dekat pergelangan kaki berbentuk seperti mutiara yang jika dipasangkan tampak seperti gelang kaki yang elegan. Sungguh indah dipandang.

Nadira berdiri dan berputar-putar sembari tersenyum cerah. Menyebabkan ujung dress-nya berkibar.

Cantik sekali.

Perpaduan simple midi dress sebatas betis, riasan tipis yang manis, dan sepatu modis, membuat Nadira tampak sempurna malam ini.

Ketika sedang asyik mengamati diri sendiri dari ujung kaki, tiba-tiba sang ayah memanggil.

"Rara."

Gadis itu pun menoleh. Mendapati ayahnya yang juga tampak rapi dengan kemeja warna krem dan celana panjang hitam yang membalut kaki.

"Cantik sekali putri Ayah," puji Wirawan, mendekati Nadira. "Baju sama sepatunya pas?" sambungnya.

Tentu saja Nadira tersipu mendapat pujian demikian. Ingat, 'kan, Wirawan ini jarang-jarang menunjukkan perhatian.

"Pas, kok. Beneran ini Ayah yang beli? Gak yakin, sih, tapi makasih," ucap gadis itu diiringi senyum manis.

Tak menjawab, Wirawan justru berkata, "Ikut Ayah sebentar. Ayah mau bicara."

Tumben alus bener bicaranya, batin Nadira.

Suasana yang mendadak berubah dan ekspresi serius Wirawan, membuat Nadira curiga.

"Ada apa, sih, Yah? Di sini aja bicaranya," sahut gadis tersebut.

"Rara curiga, Ayah mau bawa perempuan ke rumah, ya? Ayah mau menikah?" terka gadis itu tak sabar. Mencoba berkelakar, meski ayahnya ini nyaris tak memiliki selera humor seperti dirinya.

"Kenapa berpikir seperti itu?" sergah Wirawan. "Sini duduk dulu." Pria itu menuntun putrinya untuk duduk pada sofa di ruang keluarga. Lagi-lagi hal itu membuat Nadira terheran-heran.

Kali ini Nadira duduk diam. Bersiap mendengarkan apa pun yang akan Wirawan bicarakan. Tatap matanya begitu lekat memaku sepasang netra sang ayah.

Wirawan menghela napas. Tangannya meraih jemari Nadira dan menggenggamnya erat. Perasaan gadis itu pun menghangat.

"Dengarkan Ayah," kata Wirawan pelan, tetapi penuh penekanan. Dan Nadira memberikan anggukan.

"Malam ini, akan ada yang datang melamar kamu—"

"Apa?!" Mata Nadira membulat sempurna dan memotong kalimat ayahnya yang belum tuntas. Terkejut bukan kepalang.

"Dengarkan Ayah dulu—"

"Enggak-enggak. Ini gak bener. Rara masih sekolah, Yah," kata gadis itu.

"Iya, Ayah tahu."

"Terus kenapa begitu?" sambar Nadira lagi.

"Menikahnya juga kan tidak sekarang. Nanti setelah kamu lulus. Dan sebenarnya, kamu sudah Ayah jodohkan sejak dulu, dengan anak dari teman Ayah dan Bunda kamu," terang Wirawan.

"Enggak. Apa-apaan. Kenapa tiba-tiba? Kenapa Rara gak dikasih tahu sebelumnya? Rara gak mau dijodohkan!" Nada suara Nadira meningkat.

"Maafkan Ayah—"

"Selama ini Ayah jarang di rumah. Gak peduli seberapa besar aku butuh perhatian Ayah. Ayah sibuk terus sama kerjaan. Dan sekarang mendadak mau menerima lamaran orang? Enggak! Rara gak mau, Yah!" Nadira menggeleng kuat.

Wirawan mengusap wajah, kentara mulai tersulut emosinya. Padahal dia sudah sebisa mungkin menunjukkan kelembutan.

"Tolong nanti bersikap baik, Rara. Sebentar lagi mereka datang. Kita harus—"

"Rara enggak mau!" Gadis itu berdiri cepat.

"Rara, jangan seperti ini!" Wirawan mendongak—masih dalam posisi duduk, menatap tajam putrinya.

"Harusnya aku yang ngomong begitu ke Ayah. Ayah keterlaluan. Ayah selalu seenaknya!" Anak itu berteriak.

Mbok Ras yang telah selesai bersiap pun berlari mendekat, tetapi tak berani berbuat banyak. Wanita setengah tua itu hanya memperhatikan dari balik dinding sekat dapur dengan muka tegang.

"Ayah selalu memaksakan kehendak! Maaf, tapi kali ini Rara gak bisa nurutin kemauan Ayah."

Gadis itu berlari pergi. Wirawan tersentak dan menyusul secepat mungkin. Namun, Nadira lebih gesit. Gadis itu sudah membuka pintu depan dan kian kencang berlari. Menembus gerimis tipis yang menyapa bumi.

Mbok Ras memanggil-manggil sang majikan kecil sambil menangis. Langkahnya turut mengejar, tetapi gagal.

Bersamaan dengan Wirawan yang kehilangan jejak dan berteriak memanggil putrinya di halaman, Mbok Ras pun mematung di teras rumah.

Sementara itu, Nadira masih berlari dalam tangis. Melewati lorong kecil di sela-sela rumah warga yang sempit. Sengaja ia mengambil jalan itu, agar sang ayah tak mengetahui.

Nahas bagi Nadira, saat ia keluar gang hendak menyeberang jalan raya, sebuah kendaraan melaju cukup kencang dari arah kanan.

Gadis itu sudah terlanjur menginjakkan kaki di atas jalan beraspal. Lamunannya membuat konsentrasi hilang hingga tak sadar telah membawanya dalam bahaya. Kini, Nadira bak linglung tak tahu harus berbuat apa karena kejadiannya begitu cepat.

TIN!!! TIN!!! TIN!!!

Bunyi klakson kencang yang membuat pengang telinga disertai sorot lampu kendaraan yang menyilaukan, mengiring tubuh Nadira yang tersungkur seketika.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • JODOHKU GURU GALAK   123. Kejutan di Tengah Laut

    Pagi berikutnya datang dengan sapaan berbeda. Bukan hanya cahaya matahari yang membangunkan Nadira, tetapi deru pelan mesin kapal yang berubah nada. Ia membuka mata perlahan, menyadari bahwa Adhinata sudah tak ada di sampingnya. Hanya selimut yang masih menyimpan jejak kehangatan tubuh suaminya. Nadira mengerjap, mendapati selembar catatan kecil di atas bantal. Pagi, Istriku Sayang. Mas tunggu di atas dek. Jangan buru-buru menyusul. Nikmati pagi pelan-pelan. Hari ini, Mas punya kejutan. Nadira tersenyum. Suaminya memang lelaki penuh kejutan. "Apalagi sekarang?" gumam Nadira, bersama seulas senyuman menghias wajah. Setelah mandi dan mengenakan gaun santai berwarna pastel—yang disiapkan Adhinata di sisi ranjang, Nadira keluar dari kabin. Angin laut menyapa rambutnya yang digerai. Langkahnya ringan menuju dek utama. Di sana, Adhinata sudah menunggu, berdiri menghadap laut sambil membawa dua cangkir kopi. Saat melihat Nadira mendekat, pria itu tersenyum seperti baru pertama ka

  • JODOHKU GURU GALAK   122. Bulan Madu yang Sempurna

    Mentari pagi menyelinap lembut dari balik tirai kabin kapal pesiar yang mengapung tenang di tengah laut biru. Sinar emas menari-nari di atas seprai putih yang kusut, menyinari dua sosok yang masih terlelap dalam pelukan satu sama lain. Hembusan angin laut dari balkon terbuka membawa aroma asin yang khas, berpadu dengan kehangatan tubuh yang baru saja melewati malam pertama sebagai suami istri.Adhinata membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung jatuh pada wajah Nadira yang damai, tertidur dengan napas teratur dan pipi merona. Ia tak sanggup menahan senyum."Rara ...," bisiknya pelan sambil menyibak anak rambut yang jatuh di dahi istrinya.Nadira menggeliat manja, lalu membuka mata separuh. "Pagi, Mas ...." Suaranya serak manja, seperti bisikan yang membuat debar jantung Adhinata meningkat. "Mas baru sadar, ternyata pagi di atas kapal pesiar bareng istri itu indah banget," bisiknya sambil mencium kening Nadira dan merapatkan pelukan."Mas ih ... pagi-pagi gombal." Nadira menyembun

  • JODOHKU GURU GALAK   121. Menikmati Malam Panjang

    Nadira terbangun di tengah malam dengan napas yang sedikit tersengal. Di luar, suara deburan ombak terdengar samar, menyatu dengan desir angin laut yang menembus celah-celah balkon suite mereka. Bulan masih menggantung di langit, cahayanya menerobos masuk melalui tirai yang sedikit tersibak.Ia menoleh ke samping. Adhinata tertidur pulas, satu lengannya masih melingkari pinggangnya, seperti tidak ingin melepaskannya. Wajah suaminya terlihat damai, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Nadira menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Bukan penyesalan, bukan pula rasa takut, tapi semacam guncangan emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia ingin bahagia, ia tahu dirinya bahagia. Namun, ada sesuatu yang terasa berat, seakan ada yang menekan dadanya perlahan.Ia menyingkirkan tangan Adhinata dengan hati-hati, lalu turun dari ranjang tanpa suara.Nadira mengernyit ketika setiap gerakan yang ia lakukan menimbulkan rasa nyeri dan perih di are

  • JODOHKU GURU GALAK   120. Romansa di Kapal Pesiar

    Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma

  • JODOHKU GURU GALAK   119. Pulau Pribadi

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti

  • JODOHKU GURU GALAK   118. Bulan Madu

    Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status