“Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku menolak,” balasku pada Dave. Memberikan tatapan lurus-lurus padanya.
Dave mengerut, lagi. Mungkin dia sedang berpikir kenapa aku membalasnya karena merasa ucapannya tidak ada yang salah.
“Kau menolak, itu pasti. Kau memang tidak mengatakannya tapi kau menggeleng saat pertama kali kusuruh. Dan saat kedua kalinya barulah kau menurut dan setuju,” ungkap Dave.
Aku menggeleng, dan semakin berusaha mengabaikan Steve, apalagi saat aku akan menyebut ibunya lagi.
“Aku menggeleng karena berpikir mungkin sulit mengubah keputusan Mrs. Felton, tidak semudah seperti yang kau pikirkan dan katakan. Dan sudah kubilang, ‘aku akan berusaha’. Jika aku awalnya menolak aku pasti akan menjawab ‘iya’ atau ‘baiklah’!”
Wajah Dave kaku saat aku berseru padanya.
Aku melanjutkan lagi, “Jangan-jangan kau juga tidak puas dengan jawaban ‘aku akan berusaha’ meski kau bilang ‘bagus’? Aku baru sadar kalau sebenarnya seperti ini pikiranmu semalam.”
Dave terlihat tidak terima, “Kau menyalahkanku? Kau pikir aku bisa membaca pikiran?!”
“Kalian!” Steve berseru membuatku dan juga Dave terkejut. Kami sontak melihat ke arahnya.
“Tidak ada perdebatan lagi! Tidak ada yang akan melakukan sesuatu! Kalian pikir apa yang kalian lakukan?!”
Napasku tercekat, tidak menyangka Steve akan menyalahkanku juga. Dia bahkan membentak. Jika keadaan tidak seserius ini aku akan dengan senang hati bertanya dengan polos ‘apa maksud perkataanmu Steve? aku tidak mengerti sama sekali apa yang kami lakukan seperti yang kau maksud’.
Meski aku tidak sepenuhnya paham apa yang Steve katakan, sudah pasti dia marah karena tindakanku dan Dave. Entah kenapa aku yakin dia tidak ingin aku berbicara dengan ibunya untuk membatalkan pernikahannya karena kita tidak akan tahu apa yang akan dilakukan ibunya nanti. Dan jelas dia tidak ingin Dave mendorongku melakukan itu.
Keadaan hening, tidak ada yang bersuara antara aku dan Dave. Steve juga belum bersuara lagi ikut mengheningkan keadaaan. Kami saling melihat ke arah lain karena saling menghindari, tidak ingin bertatapan dengan siapa pun.
Sampai akhirnya, “Maaf,” ucap Steve. Aku dan Dave kembali melihat ke arahnya lagi. “Aku lepas kendali,” lanjut Steve. Mungkin menyesal telah membentak kami.
Aku dan Dave tidak langsung menyahut. Aku bingung harus membalas seperti apa. 'Tidak apa-apa Steve, aku mengerti. Tapi kau jangan memaksakan diri jika pertunangan ini bukan hal yang kau inginkan.' Seperti itu kah yang harus kukatakan?
Tapi aku tidak berani mengatakan dengan jelas ini bukan hal yang dia inginkan. Karena itu akan membuatku semakin merasa sakit.
Hening beberapa detik sampai Dave bersuara, “Aku juga.” Dia juga menyesal?
Aku menatap Dave yang masih menatap ke arah lain. Keadaan macam apa ini? Rasanya aku ingin lari dan pergi sejauh-jauhnya.
Hening lagi beberapa detik. Lalu Dave melihat ke arahku dengan sebelah alis terangkat. Dia seolah berkata tinggal aku yang harus minta maaf.
Tapi kemudian aku ragu dengan dugaanku saat dia berkata, “Hanya kau yang tidak bersalah di sini. Maaf sudah salah paham.”
Aku tertegun. Benar-benar tidak bisa menebak pikiran pria yang satu ini.
Pandanganku perlahan menunduk, dengan napas yang berat aku menyahut, “Justru aku yang paling bersalah di sini.” Suaraku pelan sekali.
Bisa kurasakan pandangan kedua pria di depanku menajam. Aku berkata lagi, “Kenapa semua ini terjadi adalah karena perbuatanku. Akulah penyebabnya.” Mungkin memang aku harus mengakuinya dengan terang-terangan. Dan ini sakit sekali.
Aku menarik napas, “Jangan menyela ucapanku dulu,” ucapku tahu mereka akan berkomentar.
“Jika dari awal aku tidak pernah menerima tawaran Mrs. Felton, semua ini tidak akan terjadi.” Aku menggepalkan tangan.
Aku menunduk terus karena aku sedang berusaha tidak menangis meski mataku sudah berkaca-kaca. Aku juga berusaha mengatur napasku yang terasa menyakitkan tenggorokan. Tapi aku tidak berniat menunduk terus, perlahan aku mengangkat kepala.
Sampai akhirnya aku bisa menatap mereka dan mengabaikan ekspresi mereka yang memucat, mungkin karena melihat raut mukaku.
Aku berkata, “Karena itu, aku akan memperbaiki kesalahanku.”
*****
Aku duduk dengan perasaan yang gelisah tapi tetap berusaha tenang. Sekarang berhadapan langsung dengan Mrs. Felton, ibu Steve, benar-benar membuat gugup.
Yeah, aku sudah berada di rumahnya sekarang setelah mengendarai mobilku sendiri dari apartemen Steve yang menghabiskan waktu satu jam.
“Mom, aku ingin membicarakan tentang pertunangan,” aku diam sejenak untuk melihat reaksi ibu Steve setelah aku menyebut kata ‘tunangan’.
Ibu Steve jelas langsung menatap dengan teliti, fokus memperhatikan. Membuatku semakin gugup.
“Pertunangan kami, antara aku dan Steve. Bagaimana,” aku berhenti lagi, mempersiapkan diri menyebut kalimat selanjutnya, “Itu,”
“Kenapa sayang?” tanya ibu Steve membuat aku menghentikan kalimatku yang ingin mengatakan kata ‘dibatalkan’.
“Ada apa dengan dengan pertunangan kalian? Ingin tahu kapan waktunya dilaksanakan?” tanyanya lagi.
Aku menelan ludah sebelum akhirnya menggeleng cepat, “Bukan.”
“Lalu?” Ibu Steve terlihat penasaran dengan apa yang akan aku katakan. Dia terlihat curiga.
Aku membuka mulut dan hendak berkata.
“Kau ingin membatalkannya?” tanya Ibu Steve pada akhirnya tepat sasaran menebak apa yang akan kukatakan, raut wajahnya tidak secerah saat bertanya waktu dilaksanakannya pertunangan. Tentu saja dua hal itu sangat berkebalikan.
Dan perkataan tepat sasarannya itu sama sekali tidak membuatku tenang dan malah semakin gelisah. Aku ragu dan tidak langsung menjawab karena takut.
“Jawab Helen.” Ibu Steve tidak menyebutku dengan ‘sayang’ lagi, dia sudah tidak bersikap santai lagi.
Aku ingin menjawab, tapi sekali lagi ibu Steve menghentikanku dan melanjutkan bertanya, “Apa yang Steve lakukan padamu sampai kamu mau membatalkan pertunangan yang sudah kamu setujui sebelumnya?”
Sepertinya dia tidak membutuhkan jawabanku karena sudah bisa menebaknya dengan tepat sekali lagi. Bahwa benar jika aku mau membatalkan pertunanganku dan itu karena Steve.
“Steve tidak melakukan apa pun, Mom.” jawabku pada akhirnya. Dia terlihat menghela napas.
“Jadi memang benar kamu mau membatalkan pertunangan kalian?” tanyanya mulai terdengar lebih lemah. Karena aku mengakui untuk membatalkan pertunanganku.
Aku menahan napas. Meski ternyata dia sebenarnya belum yakin dengan jawabanku, dan memberi pertanyaan menjebak tadi untuk memastikan, aku harus mengatakannya untuk memperjelas.
“Iya, Mom.” jawabku.
“Mana kunci mobilmu?” Ibu Steve bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya padaku. Suaranya kembali menguat.
“Untuk apa, Mom?” tanyaku sambil menyentuh tas tangan milikku, tempat kunci mobilku ditaruh.
“Mom pinjam. Kita pergi ke suatu tempat,” jawabnya sambil menggerakkan telapak tangannya tanda agar aku segera memberikan kunci mobilku padanya.
“Karena mungkin setelah ini kamu tidak ke sini lagi, sekalian Mom bawa mobil kamu,” lanjutnya saat aku memberi kunci mobilku setelah kuambil dari dalam tas.
Aku termenung karena kalimatnya, apa artinya rencanaku berhasil? Aku berhasil meminta Mrs. Felton membatalkan pertunangan? Karena itu dia mengatakan aku tidak akan kembali lagi ke kediamannya?
*****
Selamat membaca! 😊Aku harap kalian suka dengan cerita ini dan semoga cerita ini menghibur ya..🤗 jangan lupa untuk vote dan beri komentar di cerita ini sebagai bentuk dukungan kalian. See you guys😘
“Mom yang menyetir?” tanyaku ragu jika harus membiarkan wanita paruh baya yang beberapa tahun lagi berumur setengah abad untuk mengendarai mobilku. Dia tidak menjawab dan hanya membalas, “Ayo.” Kami sudah berjalan keluar dari kediamannya, dimana aku ikut berjalan di belakang Mrs. Felton. Dia tidak membawa apa pun dan aku hanya membawa satu tas tangan. “Sebenarnya kita akan ke mana, Mom?” tanyaku saat sudah masuk ke dalam mobil. “Kalau kita pergi dengan sopir Mom atau bawa mobil Mom sendiri, kamu harus balik ke sini lagi untuk mengambil mobilmu, karena kamu perginya harus sama Mom.” Ibu Steve menyalakan mesin mobil. Jadi Mrs. Felton harus pergi bersamaku tanpa meninggalkan mobilku agar aku tidak kembali ke kediamannya untuk mengambil mobilku. Aku sadar ibu Steve tidak menjawab de
Aku semakin takut saat Mrs. Felton membuka pintu sebuah ruangan tanpa mengetuknya. Tapi kemudian aku bernapas lega saat pintu terbuka menampilkan sebuah ruangan yang aku tebak sebagai kantor tempat kerja Steve. Di sana tidak ada Steve. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yeah, aku lega meski aku tahu apa pun yang terjadi Mrs. Felton akan menemui Steve. Dan Steve juga akan berhadapan dengan ibunya. Lega ini hanya sementara, aku tahu itu. Yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Seperti berusaha membuat Mrs. Felton tidak memarahi Steve. Aku ingin membuatnya merasa lebih tenang. Tapi ketika aku berniat melakukan itu, karena mengira Mrs. Felton akan menunggu Steve di ruangan ini, Mrs. Felton malah segera keluar dari ruangan. Aku yang tidak ingin ketinggalan segera mengikutinya. Aku juga tidak berani bertanya kenapa be
Jadi ceritanya adalah, Mrs. Felton hendak melayangkan tangannya pada Steve seperti hendak menamparnya. Lalu aku segera menghalangi itu dengan menggunakan tubuhku sebagai tameng. Karena tangan Mrs. Felton yang melayang pada Steve yang tubuhnya di belakangku, maka aku bukan terkena telapak Mrs. Felton tapi terkena pukulan lengan bawahnya di kepalaku. Jika aku jauh beberapa centi dari tempatku sekarang mungkin Steve sudah kena tampar karena aku terlambat. Kepalaku yang terpukul seperti mau di pisahkan dari lehernya. Karena itu leherku juga ikut sakit. Tapi aku yakin tangan Mrs. Felton juga sakit. "Hah." helaan napas berat terdengar jelas di telingaku karena Mrs. Felton yang menge
Aku suka sekali meminta ibu bermain piano untukku ketika ada di rumah sejak kecil. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh pianonya jika ibu tidak ada.Entah sejak kapan aku tidak berani melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan padaku."Yang mana?" Ibu melihat buku tulisku."Aku harus mengerjakannya dalam waktu lima menit. Tapi aku hanya bisa melakukannya dalam waktu sepuluh menit." Kataku sambil menunjukkan stop watch kepada ibu.Ibu menatapku terkejut. Entah karena apa yang aku ucapkan atau karena apa yang aku tunjukkan atau juga mungkin karena apa yang tertulis di buku ku.Yang aku tahu, ibu tidak membantuku mengerjakan tugas tapi malah berdiri sambil membawa buku tugasku. Ibu berjalan menjauhiku."Mama?" Pang
Saat itu, karena merasa sudah lebih baik. Aku ingin menggambar sembari bersandar di sandaran kasur. Tapi ayah tiba-tiba datang. Aku mengalihkan perhatianku dari buku gambar. Aku tidak sendirian, ada pelayan yang menemaniku menggantikan ibu. Karena aku sudah lebih baikan, ibu tidak memaksakan diri lagi menjaga dan menemaniku. Aku bisa melihat ayah mengerut ke arah buku di pangkuanku. Ia lalu berkata, "Bukannya kau dilarang untuk menggambar? Aku sudah menyuruhmu sebelumnya untuk tidak menggambar dan lebih fokuslah pada pembelajaran." Aku melebarkan mataku mendengar itu lalu membalas, "Ayah tidak pernah bilang begitu sebelumnya." Aku tid
Setelah mengunjungi makam ibu, aku tidak tahu harus kemana selanjutnya. Aku tidak mungkin ke apartemen Steve sekarang, suasananya akan canggung. Tapi bagaimana dengan barang-barangku yang ada di sana? Aku sepertinya tetap harus ke sana. Napasku kuhembuskan kuat-kuat. Jika saja rambutku pendek mungkin aku juga akan mengacak-acak rambutku sebagai pengalihan rasa frustrasi. Ah, apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiranku tiba-tiba teringat ibu. “Ibu, jika kau ada di sisi Helen sekarang, mungkin ibu bisa memberi Helen saran yang baik,” gumamku tanpa sadar. Ponselku berdering di detik berikutnya. Aku melihat layarnya yang langsung membuatku terdiam dengan kedua alis yang saling bertaut. Nomor tidak dikenal menghubungi ponselku. Aku menggerakkan mobilku ke sebuah restoran lalu berhenti di parkiran untuk mengangkat panggilan. Setelah menghilangkan rasa ragu, aku mengangkat panggilan itu dengan sedikit gug
Begitu aku sampai di apartemen Steve, langsung saja aku masuk ke kamarku yang sebentar lagi kehilangan penghuninya. Meski aku hanya tinggal beberapa hari saja. Mataku otomatis memperhatikan seisi kamar. Lalu berhenti saat melihat tumpukan kardus di sudut kamar. Aku menghela napas. Padahal paket dari ibunya Steve sudah setengahnya telah dikeluarkan dan ditata dalam lemari. Tanpa mengeluh lagi, aku mengemas barang-barangku dalam keheningan kamar. Sampai perutku terasa melilit karena lapar, aku berhenti dari pekerjaanku saat langit sudah mulai menggelap. Aku memilih memesan makanan dari restoran terdekat daripada memasak karena sudah terlalu telat makan. Lagi pula aku ragu bisa memasak dengan tenaga yang tersisa. Tenaga yang tersisa untuk makan malah aku gunakan untuk membuat masakan. Bisa-bisa aku pingsan di dapur. Kan tidak lucu kalau Steve tahu aku pingsan karena menghindari bertemu dengannya hingga aku telat
"Kalau kau ingin menolak, kau bisa mengatakan langsung pada Nyonya Felton." Dave menyahut lagi masih dengan nada yang kurang bersahabat di telingaku. Aku dan Steve tentu melihat ke arah Dave saat ia berbicara. "Dave," tegur Steve padanya. "Apa? Kau juga tidak ingin dia tinggal di kediaman keluarga kalian kan?" Dave menyindir. Aku menegang mendengar itu. Tanganku saling meremas satu sama lain sebagai bentuk pengalihan rasa sesak yang tiba-tiba datang. "Dave!" Steve meninggikan suaranya. Steve lalu beralih memandangku, "Dengar Helen, aku tidak keberatan kau tinggal di kediaman kami. Selama itu keinginan Mom, aku tidak akan keberatan. Oke?" Aku balas memandang Steve namun tidak membalas kalimatnya. Aku masih belum bisa menghilangkan perasaan tidak nyaman ini meski Steve mengatakan itu. Steve melanjutkan, "Jadi lupakan saja apa yang dikatakan Dave tadi. Dia memang selalu begini. Makannya tidak ada wanit