Aku tahu masalah semalam pasti akan diungkit, entah untuk membicarakan tentang rencana pembatalan pertunangan atau membicarakan hal yang lainnya. Aku hanya tidak menyangka jika Dave akan meminta maaf.
“Tidak masalah,” jawabku bohong tanpa melihat ke arahnya. Tentu saja masalah, tapi Dave tidak perlu tahu. Tanganku kembali melanjutkan kegiatan untuk menata sarapan. “Aku mengerti," lanjutku.
“Aku sadar semalam sudah menyinggungmu dan menyalahkanmu berlebihan. Hanya saja aku sangat geram dengan masalah Steve.”
Aku berdeham lalu membalas tanpa melihatnya lagi, “Yeah. Aku tahu.”
Akhirnya makanan untuk sarapan dan piring yang akan dipakai untuk makan sudah tertata semuanya di atas meja bar dapur.
“Aku akan membangunkan Steve untuk sarapan bersama,” ucap Dave.
Aku mengangguk. Dave mulai melangkah menjauh.
Selanjutnya aku menunggu dengan tenang, namun sebenarnya didalam kepalaku sedang ada banyak hal yang kupikirkan. Aku juga merasakan gugup ketika memikirkan akan makan bersama Steve.
Beberapa menit kemudian Dave datang sambil berkata, “Karena Steve baru bangun, dia perlu bersiap sebentar.”
Aku mengangguk lagi sebagai jawaban.
Seperti yang dikatakan, Steve datang setelah menunggunya beberapa saat. Wajahnya tampak sedikit pucat tapi tertutupi oleh senyumnya.
“Maaf membuat kalian menunggu. Wah, sepertinya enak,” kata Steve memperhatikan berbagai jenis makanan di atas meja bar.
Meski aku berpikir Steve menyembunyikan kegalauannya, aku tanpa bisa ditahan, mengulum senyum tipis melihatnya tersenyum karena makanan.
“Ya. Ayo makan sekarang.” Dave mengambil tempat di sampingku, membuat Steve duduk di sampingnya. Jadi Dave yang berada ditengah antara aku dan Steve. Apakah Dave masih waspada denganku? Dia tidak ingin aku ada kesempatan berdekatan dengan Steve. Padahal aku berharap Steve yang duduk di sampingku.
Sebenarnya masih ada kursi kosong di sebelah Steve, aku menahan diri untuk tidak pindah ke sana. Yah, aku juga tidak seberani itu. Apa lagi setelah kejadian semalam, kemungkinan Steve risih berdekatan denganku.
“Bagaimana rencanamu? Kapan kau akan menemui Mrs. Felton?”
Aku hampir tersedak saat mendengar pertanyaan Dave. Bukan apa, aku hanya tidak berpikir dia bertanya seperti itu di depan Steve secara terang-terangan.
Apa dia ingin membicarakan hal itu juga dengan Steve? Berdiskusi bersama?
Oke, aku gugup sekarang.
Aku tidak langsung menjawab dan hanya mengerjap menatap Dave, lalu melihat ke arah Steve yang kemudian dibalas olehnya. Hanya beberapa detik aku dan Steve berpandangan.
Aku kemudian melihat Dave lagi. Aku berharap dia mengerti arti kode pandanganku yang melihat ke arah Steve tadi. Apa dia mau membicarakan ini di depan Steve langsung?
Tapi Dave tidak mengatakan apa pun. Apa dia tidak mengerti kode yang aku berikan? Atau mungkin saja Dave memang sengaja dan ingin membicarakannya juga dengan Steve? Aku tidak mengerti jalan pikirannya.
Akhirnya aku memutuskan menjawab, “Aku akan menemui Mrs. Felton hari ini. Mungkin siang ini?” mataku menatap ke arah jam tangan silver di pergelangan tanganku, memastikan waktu yang sesuai dengan perkataanku.
Mataku kemudian melihat kembali ke depan, melihat ke arah mereka. Tampak Dave dengan tatapan lurusnya dan Steve dengan lipatan di dahinya.
Aku lebih tertarik mendalami ekspresi Steve saat aku menjawab tadi, apakah dia merasa sesuatu yang aneh? Dia melihatku seperti saat aku mendorongnya keluar dari kamar kemarin.
Tapi berbeda dengan waktu itu yang membuatku menahan napas karena tatapan dalamnya, sekarang aku menahan napas karena ini menyangkut masalah pertunangan kami.
“Kau mau apa menemui Mom?” tanyanya.
Aku tidak tahu harus menjawab atau tidak pertanyaan Steve itu. Karena itu aku beralih menatap Dave. Dan karena apa yang kulakukan, Steve ikut memandangi Dave yang ada di sampingnya.
“Dave.” Steve bersuara membuatku meliriknya lagi. Tapi meski Steve sadar aku meliriknya, dia tidak balas melihatku lagi dan tetap melihat ke arah Dave.
“Selesaikan makannya dulu.” Dave melanjutkan makannya.
Aku menganga mendengar balasan Dave. Padahal dia yang memulai. Sekarang dia malah bertindak seenaknya dengan memutus percakapan. Kalau dia tidak mau Steve menyahut, kenapa dia memancingku bicara tentang rencana pembatalan pertunangan?
“Dave.” Sekali lagi Steve bersuara dengan nada rendah dan pandangan matanya yang tampak penuh peringatan.
Aku merasa aneh saat melihat Steve seperti itu, dia terlihat tidak seperti biasanya. Dan bukan hanya itu, aku juga merasa tegang meski jelas Dave yang dipanggil dan bukan diriku yang dipanggil.
Mau tak mau Dave akhirnya menggubris, dia mengangkat pandangan untuk membalas Steve.
“Ayo bicara,” ucap Steve masih dengan nada rendahnya pada Dave.
“Bicaralah,” Dave membalas lalu menghela napas, padahal di mataku Dave terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan Steve tapi kini Dave menghela napasnya? Kenapa aku tidak bisa menebaknya? Dave terlalu sulit ditebak.
Tapi kemudian aku menebak, Dave pasti menyesal membahas hal ini di depan Steve. Lalu kenapa dia melakukannya kalau begitu? Apa dia kelepasan bertanya?
“Ikut aku, kita bicara di luar dapur.” Steve melanjutkan.
Dave menghela napasnya lagi dan akhirnya bangkit dari kursi mengikuti Steve yang lebih dulu meninggalkan dapur. Sedangkan aku hanya bisa memegang erat sendok di tanganku ketika melihat punggung mereka mulai menjauh.
*****
“Helen.” Penglihatanku menemukan Steve dan Dave berdiri di hadapanku.
Sebenarnya aku sudah memperhatikan mereka sejak mereka masuk ke dapur.
Aku berkedip sekali, “Ya,” jawabku.
“Kami minta maaf,” ungkap Steve terlihat benar-benar menyesal. Dia minta soal apa? Karena tadi malam? Aku lebih suka kalau semuanya bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Jangan membahasnya langsung seperti ini. Mentalku memang selemah itu.
Aku kemudian melihat Dave yang menatapku tanpa minat. “Aku sudah minta maaf tadi,” timpalnya.
Sepertinya mereka memang membahas tentang yang terjadi semalam saat Steve tidak sadarkan diri karena mabuk. Ya, sudah dipastikan Steve mabuk karena semalam aroma alkohol tercium sangat pekat dari tubuhnya.
“Yang benar minta maafnya. Minta maaf lagi,” perintah Steve.
Dave justru bertanya, “Kau sudah memaafkanku, kan?”
Dave benar-benar tidak bisa membuatku berkata-kata. Aku hanya bisa mengangguk sambil menggumam mengiyakan saja.
“Nah. Lihat,” kata Dave pada Steve. Steve menghela napas.
Steve bersuara lagi, “Apa yang terjadi semalam, aku mabuk tidak ada hubungannya dengan pertunangan antara-,” aku langsung memotong ucapan Steve.
“Yang terjadi semalam tidak ku permasalahkan sama sekali. Jadi tidak apa-apa,” ucapku.
Jika aku bilang yang terjadi semalam ‘lupakanlah’ akan terkesan memperjelas bahwa yang terjadi semalam menyakitiku dan membuatku ingin melupakannya. Karena itu aku mencari kata pengganti dan bilang tidak aku permasalahkan.
Meski sebenarnya itu sudah pasti membuatku tidak baik-baik saja dan menjadi masalahku.
Tapi aku tidak menyangka raut muka yang ditampakkan oleh Dave, dia melihatku dengan alis yang berkerut.
“Benarkah?” tanyanya. Entah kenapa aku merasa terintimidasi lagi seperti semalam padahal aku yakin Dave tidak berniat seperti itu karena nadanya tidak setajam seperti tadi malam.
“Kenapa memangnya?” tanyaku setelah menarik napas, merasa tidak nyaman.
“Semalam kau sempat untuk menolak. Tapi baguslah kalau begitu,” ucapnya terlihat santai berlawanan denganku yang langsung menegang saat dia mengatakan itu.
Aku takut melihat raut muka Steve, takut melihat ekspresinya. Aku berusaha menganggapnya tidak ada dan menganggap dia tidak sedang melihatku. Aku berusaha untuk mengabaikan Steve.
Dave tahukah perkatanmu membuatku canggung sekali sekarang di hadapan Steve?
*****
Selamat membaca! 😊Aku harap kalian suka dengan cerita ini dan semoga cerita ini menghibur ya..🤗 jangan lupa untuk vote dan beri komentar di cerita ini sebagai bentuk dukungan kalian. See you guys😘
Aku tidak ingin membayangkan bagaimana perasaan atau ekspresi Steve saat mendengar aku sempat menolak dari perkataan Dave, seolah aku sangat ingin bersama Steve atau memaksa bersama Steve. Padahal aku tidak menolak sama sekali. “Perasaan aku tidak pernah bilang kalau aku menolak,” balasku pada Dave. Memberikan tatapan lurus-lurus padanya. Dave mengerut, lagi. Mungkin dia sedang berpikir kenapa aku membalasnya karena merasa ucapannya tidak ada yang salah. “Kau menolak, itu pasti. Kau memang tidak mengatakannya tapi kau menggeleng saat pertama kali kusuruh. Dan saat kedua kalinya barulah kau menurut dan setuju,” ungkap Dave. Aku menggeleng, dan semakin berusaha mengabaikan Steve, apalagi saat aku akan menyebut ibunya lagi. “Aku menggeleng karena ber
“Mom yang menyetir?” tanyaku ragu jika harus membiarkan wanita paruh baya yang beberapa tahun lagi berumur setengah abad untuk mengendarai mobilku. Dia tidak menjawab dan hanya membalas, “Ayo.” Kami sudah berjalan keluar dari kediamannya, dimana aku ikut berjalan di belakang Mrs. Felton. Dia tidak membawa apa pun dan aku hanya membawa satu tas tangan. “Sebenarnya kita akan ke mana, Mom?” tanyaku saat sudah masuk ke dalam mobil. “Kalau kita pergi dengan sopir Mom atau bawa mobil Mom sendiri, kamu harus balik ke sini lagi untuk mengambil mobilmu, karena kamu perginya harus sama Mom.” Ibu Steve menyalakan mesin mobil. Jadi Mrs. Felton harus pergi bersamaku tanpa meninggalkan mobilku agar aku tidak kembali ke kediamannya untuk mengambil mobilku. Aku sadar ibu Steve tidak menjawab de
Aku semakin takut saat Mrs. Felton membuka pintu sebuah ruangan tanpa mengetuknya. Tapi kemudian aku bernapas lega saat pintu terbuka menampilkan sebuah ruangan yang aku tebak sebagai kantor tempat kerja Steve. Di sana tidak ada Steve. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Yeah, aku lega meski aku tahu apa pun yang terjadi Mrs. Felton akan menemui Steve. Dan Steve juga akan berhadapan dengan ibunya. Lega ini hanya sementara, aku tahu itu. Yang bisa aku lakukan, akan aku lakukan. Seperti berusaha membuat Mrs. Felton tidak memarahi Steve. Aku ingin membuatnya merasa lebih tenang. Tapi ketika aku berniat melakukan itu, karena mengira Mrs. Felton akan menunggu Steve di ruangan ini, Mrs. Felton malah segera keluar dari ruangan. Aku yang tidak ingin ketinggalan segera mengikutinya. Aku juga tidak berani bertanya kenapa be
Jadi ceritanya adalah, Mrs. Felton hendak melayangkan tangannya pada Steve seperti hendak menamparnya. Lalu aku segera menghalangi itu dengan menggunakan tubuhku sebagai tameng. Karena tangan Mrs. Felton yang melayang pada Steve yang tubuhnya di belakangku, maka aku bukan terkena telapak Mrs. Felton tapi terkena pukulan lengan bawahnya di kepalaku. Jika aku jauh beberapa centi dari tempatku sekarang mungkin Steve sudah kena tampar karena aku terlambat. Kepalaku yang terpukul seperti mau di pisahkan dari lehernya. Karena itu leherku juga ikut sakit. Tapi aku yakin tangan Mrs. Felton juga sakit. "Hah." helaan napas berat terdengar jelas di telingaku karena Mrs. Felton yang menge
Aku suka sekali meminta ibu bermain piano untukku ketika ada di rumah sejak kecil. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh pianonya jika ibu tidak ada.Entah sejak kapan aku tidak berani melakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan padaku."Yang mana?" Ibu melihat buku tulisku."Aku harus mengerjakannya dalam waktu lima menit. Tapi aku hanya bisa melakukannya dalam waktu sepuluh menit." Kataku sambil menunjukkan stop watch kepada ibu.Ibu menatapku terkejut. Entah karena apa yang aku ucapkan atau karena apa yang aku tunjukkan atau juga mungkin karena apa yang tertulis di buku ku.Yang aku tahu, ibu tidak membantuku mengerjakan tugas tapi malah berdiri sambil membawa buku tugasku. Ibu berjalan menjauhiku."Mama?" Pang
Saat itu, karena merasa sudah lebih baik. Aku ingin menggambar sembari bersandar di sandaran kasur. Tapi ayah tiba-tiba datang. Aku mengalihkan perhatianku dari buku gambar. Aku tidak sendirian, ada pelayan yang menemaniku menggantikan ibu. Karena aku sudah lebih baikan, ibu tidak memaksakan diri lagi menjaga dan menemaniku. Aku bisa melihat ayah mengerut ke arah buku di pangkuanku. Ia lalu berkata, "Bukannya kau dilarang untuk menggambar? Aku sudah menyuruhmu sebelumnya untuk tidak menggambar dan lebih fokuslah pada pembelajaran." Aku melebarkan mataku mendengar itu lalu membalas, "Ayah tidak pernah bilang begitu sebelumnya." Aku tid
Setelah mengunjungi makam ibu, aku tidak tahu harus kemana selanjutnya. Aku tidak mungkin ke apartemen Steve sekarang, suasananya akan canggung. Tapi bagaimana dengan barang-barangku yang ada di sana? Aku sepertinya tetap harus ke sana. Napasku kuhembuskan kuat-kuat. Jika saja rambutku pendek mungkin aku juga akan mengacak-acak rambutku sebagai pengalihan rasa frustrasi. Ah, apa yang harus kulakukan sekarang? Pikiranku tiba-tiba teringat ibu. “Ibu, jika kau ada di sisi Helen sekarang, mungkin ibu bisa memberi Helen saran yang baik,” gumamku tanpa sadar. Ponselku berdering di detik berikutnya. Aku melihat layarnya yang langsung membuatku terdiam dengan kedua alis yang saling bertaut. Nomor tidak dikenal menghubungi ponselku. Aku menggerakkan mobilku ke sebuah restoran lalu berhenti di parkiran untuk mengangkat panggilan. Setelah menghilangkan rasa ragu, aku mengangkat panggilan itu dengan sedikit gug
Begitu aku sampai di apartemen Steve, langsung saja aku masuk ke kamarku yang sebentar lagi kehilangan penghuninya. Meski aku hanya tinggal beberapa hari saja. Mataku otomatis memperhatikan seisi kamar. Lalu berhenti saat melihat tumpukan kardus di sudut kamar. Aku menghela napas. Padahal paket dari ibunya Steve sudah setengahnya telah dikeluarkan dan ditata dalam lemari. Tanpa mengeluh lagi, aku mengemas barang-barangku dalam keheningan kamar. Sampai perutku terasa melilit karena lapar, aku berhenti dari pekerjaanku saat langit sudah mulai menggelap. Aku memilih memesan makanan dari restoran terdekat daripada memasak karena sudah terlalu telat makan. Lagi pula aku ragu bisa memasak dengan tenaga yang tersisa. Tenaga yang tersisa untuk makan malah aku gunakan untuk membuat masakan. Bisa-bisa aku pingsan di dapur. Kan tidak lucu kalau Steve tahu aku pingsan karena menghindari bertemu dengannya hingga aku telat