Share

Bab 6

Aku tahu masalah semalam pasti akan diungkit, entah untuk membicarakan tentang rencana pembatalan pertunangan atau membicarakan hal yang lainnya. Aku hanya tidak menyangka jika Dave akan meminta maaf.

“Tidak masalah,” jawabku bohong tanpa melihat ke arahnya. Tentu saja masalah, tapi Dave tidak perlu tahu. Tanganku kembali melanjutkan kegiatan untuk menata sarapan. “Aku mengerti," lanjutku.

“Aku sadar semalam sudah menyinggungmu dan menyalahkanmu berlebihan. Hanya saja aku sangat geram dengan masalah Steve.”

Aku berdeham lalu membalas tanpa melihatnya lagi, “Yeah. Aku tahu.”

Akhirnya makanan untuk sarapan dan piring yang akan dipakai untuk makan sudah tertata semuanya di atas meja bar dapur.

“Aku akan membangunkan Steve untuk sarapan bersama,” ucap Dave.

Aku mengangguk. Dave mulai melangkah menjauh.

Selanjutnya aku menunggu dengan tenang, namun sebenarnya didalam kepalaku sedang ada banyak hal yang kupikirkan. Aku juga merasakan gugup ketika memikirkan akan makan bersama Steve.

Beberapa menit kemudian Dave datang sambil berkata, “Karena Steve baru bangun, dia perlu bersiap sebentar.”

Aku mengangguk lagi sebagai jawaban.

Seperti yang dikatakan, Steve datang setelah menunggunya beberapa saat. Wajahnya tampak sedikit pucat tapi tertutupi oleh senyumnya.

“Maaf membuat kalian menunggu. Wah, sepertinya enak,” kata Steve memperhatikan berbagai jenis makanan di atas meja bar.

Meski aku berpikir Steve menyembunyikan kegalauannya, aku tanpa bisa ditahan, mengulum senyum tipis melihatnya tersenyum karena makanan.

“Ya. Ayo makan sekarang.” Dave mengambil tempat di sampingku, membuat Steve duduk di sampingnya. Jadi Dave yang berada ditengah antara aku dan Steve. Apakah Dave masih waspada denganku? Dia tidak ingin aku ada kesempatan berdekatan dengan Steve. Padahal aku berharap Steve yang duduk di sampingku.

Sebenarnya masih ada kursi kosong di sebelah Steve, aku menahan diri untuk tidak pindah ke sana. Yah, aku juga tidak seberani itu. Apa lagi setelah kejadian semalam, kemungkinan Steve risih berdekatan denganku.

“Bagaimana rencanamu? Kapan kau akan menemui Mrs. Felton?”

Aku hampir tersedak saat mendengar pertanyaan Dave. Bukan apa, aku hanya tidak berpikir dia bertanya seperti itu di depan Steve secara terang-terangan.

Apa dia ingin membicarakan hal itu juga dengan Steve? Berdiskusi bersama?

Oke, aku gugup sekarang.

Aku tidak langsung menjawab dan hanya mengerjap menatap Dave, lalu melihat ke arah Steve yang kemudian dibalas olehnya. Hanya beberapa detik aku dan Steve berpandangan.

Aku kemudian melihat Dave lagi. Aku berharap dia mengerti arti kode pandanganku yang melihat ke arah Steve tadi. Apa dia mau membicarakan ini di depan Steve langsung?

Tapi Dave tidak mengatakan apa pun. Apa dia tidak mengerti kode yang aku berikan? Atau mungkin saja Dave memang sengaja dan ingin membicarakannya juga dengan Steve? Aku tidak mengerti jalan pikirannya.

Akhirnya aku memutuskan menjawab, “Aku akan menemui Mrs. Felton hari ini. Mungkin siang ini?” mataku menatap ke arah jam tangan silver di pergelangan tanganku, memastikan waktu yang sesuai dengan perkataanku.

Mataku kemudian melihat kembali ke depan, melihat ke arah mereka. Tampak Dave dengan tatapan lurusnya dan Steve dengan lipatan di dahinya.

Aku lebih tertarik mendalami ekspresi Steve saat aku menjawab tadi, apakah dia merasa sesuatu yang aneh? Dia melihatku seperti saat aku mendorongnya keluar dari kamar kemarin. 

Tapi berbeda dengan waktu itu yang membuatku menahan napas karena tatapan dalamnya, sekarang aku menahan napas karena ini menyangkut masalah pertunangan kami.

“Kau mau apa menemui Mom?” tanyanya. 

Aku tidak tahu harus menjawab atau tidak pertanyaan Steve itu. Karena itu aku beralih menatap Dave. Dan karena apa yang kulakukan, Steve ikut memandangi Dave yang ada di sampingnya.

“Dave.” Steve bersuara membuatku meliriknya lagi. Tapi meski Steve sadar aku meliriknya, dia tidak balas melihatku lagi dan tetap melihat ke arah Dave.

“Selesaikan makannya dulu.” Dave melanjutkan makannya.

Aku menganga mendengar balasan Dave. Padahal dia yang memulai. Sekarang dia malah bertindak seenaknya dengan memutus percakapan. Kalau dia tidak mau Steve menyahut, kenapa dia memancingku bicara tentang rencana pembatalan pertunangan?

“Dave.” Sekali lagi Steve bersuara dengan nada rendah dan pandangan matanya yang tampak penuh peringatan.

Aku merasa aneh saat melihat Steve seperti itu, dia terlihat tidak seperti biasanya. Dan bukan hanya itu, aku juga merasa tegang meski jelas Dave yang dipanggil dan bukan diriku yang dipanggil. 

Mau tak mau Dave akhirnya menggubris, dia mengangkat pandangan untuk membalas Steve.

“Ayo bicara,” ucap Steve masih dengan nada rendahnya pada Dave.

“Bicaralah,” Dave membalas lalu menghela napas, padahal di mataku Dave terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan Steve tapi kini Dave menghela napasnya? Kenapa aku tidak bisa menebaknya? Dave terlalu sulit ditebak.

Tapi kemudian aku menebak, Dave pasti menyesal membahas hal ini di depan Steve. Lalu kenapa dia melakukannya kalau begitu? Apa dia kelepasan bertanya?

“Ikut aku, kita bicara di luar dapur.” Steve melanjutkan.

Dave menghela napasnya lagi dan akhirnya bangkit dari kursi mengikuti Steve yang lebih dulu meninggalkan dapur. Sedangkan aku hanya bisa memegang erat sendok di tanganku ketika melihat punggung mereka mulai menjauh.

*****

“Helen.” Penglihatanku menemukan Steve dan Dave berdiri di hadapanku.

Sebenarnya aku sudah memperhatikan mereka sejak mereka masuk ke dapur.

Aku berkedip sekali, “Ya,” jawabku.

“Kami minta maaf,” ungkap Steve terlihat benar-benar menyesal. Dia minta soal apa? Karena tadi malam? Aku lebih suka kalau semuanya bertindak seolah tidak terjadi apa-apa. Jangan membahasnya langsung seperti ini. Mentalku memang selemah itu.

Aku kemudian melihat Dave yang menatapku tanpa minat. “Aku sudah minta maaf tadi,” timpalnya. 

Sepertinya mereka memang membahas tentang yang terjadi semalam saat Steve tidak sadarkan diri karena mabuk. Ya, sudah dipastikan Steve mabuk karena semalam aroma alkohol tercium sangat pekat dari tubuhnya.

“Yang benar minta maafnya. Minta maaf lagi,” perintah Steve.

Dave justru bertanya, “Kau sudah memaafkanku, kan?”

Dave benar-benar tidak bisa membuatku berkata-kata. Aku hanya bisa mengangguk sambil menggumam mengiyakan saja.

“Nah. Lihat,” kata Dave pada Steve. Steve menghela napas.

Steve bersuara lagi, “Apa yang terjadi semalam, aku mabuk tidak ada hubungannya dengan pertunangan antara-,” aku langsung memotong ucapan Steve.

“Yang terjadi semalam tidak ku permasalahkan sama sekali. Jadi tidak apa-apa,” ucapku.

Jika aku bilang yang terjadi semalam ‘lupakanlah’ akan terkesan memperjelas bahwa yang terjadi semalam menyakitiku dan membuatku ingin melupakannya. Karena itu aku mencari kata pengganti dan bilang tidak aku permasalahkan.

Meski sebenarnya itu sudah pasti membuatku tidak baik-baik saja dan menjadi masalahku.

Tapi aku tidak menyangka raut muka yang ditampakkan oleh Dave, dia melihatku dengan alis yang berkerut.

“Benarkah?” tanyanya. Entah kenapa aku merasa terintimidasi lagi seperti semalam padahal aku yakin Dave tidak berniat seperti itu karena nadanya tidak setajam seperti tadi malam.

“Kenapa memangnya?” tanyaku setelah menarik napas, merasa tidak nyaman.

“Semalam kau sempat untuk menolak. Tapi baguslah kalau begitu,” ucapnya terlihat santai berlawanan denganku yang langsung menegang saat dia mengatakan itu.

Aku takut melihat raut muka Steve, takut melihat ekspresinya. Aku berusaha menganggapnya tidak ada dan menganggap dia tidak sedang melihatku. Aku berusaha untuk mengabaikan Steve. 

Dave tahukah perkatanmu membuatku canggung sekali sekarang di hadapan Steve?

*****

Dina Dwi

Selamat membaca! 😊Aku harap kalian suka dengan cerita ini dan semoga cerita ini menghibur ya..🤗 jangan lupa untuk vote dan beri komentar di cerita ini sebagai bentuk dukungan kalian. See you guys😘

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status