Share

CERITA SUPIR

Author: Ummu Amay
last update Last Updated: 2024-02-03 19:42:41

"Menunggu bukan hobiku. Jadi, jangan sampai terlambat."

Alan langsung menutup panggilannya secara sepihak. Tidak menunggu respon dari Felisha karena tidak penting menurutnya.

Felisha mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Wanita paruh baya yang masih berdiri di depannya itu kini meminta ia untuk segera mengambil pakaian dan mengenakannya.

"Sepertinya Non Feli harus mulai membiasakan diri mengikuti ritme tuan," ucap Bu Rumi.

"Mengikuti ritme apa, Bu?" Felisha bertanya bingung.

"Iya, mungkin saja Non Feli akan selalu dihubungi oleh tuan pada saat sedang melakukan kegiatan apapun."

Tak bisa Felisha bayangkan bila kata-kata Bu Rumi menjadi kenyataan. Hidup perempuan muda itu sepertinya akan benar-benar berubah. Tidak hanya sebagai seseorang yang dijadikan jaminan atas sebuah kesalahan, tapi ia juga harus mau menjadi budak dari seorang laki-laki yang haus akan belaian.

Felisha hanya bisa berdiam, mematung. Pikirannya seperti tertarik pada pusara bayangan yang bahkan belum terjadi.

"
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Klinik Advent Tamansari
emang harus setiap bab buka kunci nya ? nggak asyik, nyebelin banget!!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jadi Budak Kakak Ipar   GELISAH

    Alan menatap Alvaro tanpa berkedip. “Apa maksudmu?” suaranya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras —tanda yang sangat dikenal Alvaro.“Salah satu orang kita tidak sengaja melihat Nona Felisha masuk ke kediaman Sumitra sekitar beberapa waktu yang lalu,” jelas Alvaro hati-hati. “Belum ada laporan lanjutan apakah beliau masih di sana atau sudah pergi.”Alan memejamkan mata sesaat. Nama itu —Sumitra, bukan keluarga yang pantas lagi ia hormati. Ia adalah pusat dari banyak luka yang Felisha simpan rapi selama ini. Keluarga yang tak pernah benar-benar menerima Felisha, bahkan sejak perempuan itu tinggal di kediaman mereka. “Siapa yang menyuruhmu melapor?” tanya Alan akhirnya.“Tidak ada, Tuan. Ini refleks. Saya pikir—”“Lain kali,” potong Alan pelan, “laporkan hanya jika Felisha dalam bahaya.”Alvaro terdiam, lalu mengangguk. “Baik, Tuan. Hanya saja, bukankah putri mereka, Ny. Dina sedang kita amankan sebab insiden penculikan yang beliau dalangi. Apakah bukan sesuatu yang membahayakan jika

  • Jadi Budak Kakak Ipar   MENCARI YANG TERTINGGAL

    Atmadi Wijaya mengangkat pandangannya dari koran pagi, menatap Erik dengan sorot mata yang tenang namun tajam. “Kampus?” ulangnya pelan, bukan curiga, lebih pada memastikan.“Iya,” jawab Erik mantap. “Tidak lama.”Atmadi mengangguk singkat. “Kerjakan yang perlu kamu selesaikan. Tapi setelah itu, langsung ke kantor. Ada rapat internal jam sebelas.”“Iya, Yah.” Erik menarik kursi, duduk sebentar untuk menghormati kebiasaan sarapan bersama, meski hanya menyesap kopi. Ibunya menunjukkan senyum puas—bagi perempuan itu, melihat putranya mulai menata hidup adalah kebahagiaan kecil yang tak perlu dirayakan berlebihan.Tak lama kemudian, Erik pamit.Di luar, pagi terasa lebih hidup. Erik menyetir dengan pikiran yang terasa lega dan optimis —tidak melayang pada kemungkinan yang belum tentu, tidak pula memikirkan hal negatif yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ia memilih fokus pada apa yang ada di depannya.Sementara itu, Felisha tiba di kampus dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasan

  • Jadi Budak Kakak Ipar   DIMULAI DARI KAMPUS

    Pagi datang dengan langkah pelan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar kos, jatuh tepat di wajah Felisha. Ia terbangun dengan napas yang lebih teratur dari hari-hari sebelumnya, seolah malam tadi benar-benar memberinya ruang untuk bernapas.Untuk beberapa detik, ia hanya berbaring, mendengarkan suara kehidupan di luar —derap langkah penghuni kos lain, termasuk klakson samar dari jalan besar. Dunia tetap berjalan, dan untuk pertama kalinya, Felisha tidak merasa tertinggal di belakangnya.Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang. Tangannya refleks menyentuh perutnya.“Pagi,” gumamnya lembut, nyaris seperti kebiasaan baru yang belum sepenuhnya ia sadari.Di meja kecil, ponselnya menyala. Tidak ada pesan baru dari Alan. Tidak juga dari Erik. Dan anehnya, keheningan itu tidak menyesakkan. Justru terasa seperti ruang kosong yang bisa ia isi dengan pilihannya sendiri.Felisha mengambil map berisi dokumen-dokumen penting—KTP, kartu mahasiswa, hasil pemeriksaan dokter. Ia men

  • Jadi Budak Kakak Ipar   KEPUTUSAN ALAN

    Felisha berhenti mengunyah. Sendoknya tertahan di udara sesaat sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke piring.Nama itu —Erik, membuat ruang di dadanya terasa menyempit, bukan karena perasaan yang menggebu, melainkan karena kesadaran bahwa ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengan luka yang belum sembuh.“Aku tidak ingin menjadikannya pelarian,” ucap Felisha pelan. “Dia tidak pantas menerima sisa-sisa dari hidup yang belum selesai,” lanjutnya sembari melanjutkan makannya. Gina menatapnya lama, lalu duduk di hadapannya. “Tapi kamu sadar, kan? Diam pun bisa memberi harapan.”Felisha mengangguk. “Itu yang membuatku takut.” Ia mengusap perutnya pelan, refleks yang kini muncul setiap kali ia gelisah. “Aku tidak ingin ada siapa pun yang terluka karena kebingunganku.”Gina menghela napas. “Berarti kamu harus jujur. Pada Erik, juga pada dirimu sendiri.”Felisha tersenyum tipis. “Kejujuran kadang lebih menakutkan daripada kepergian, bukan?”“Tapi lebih adil,” balas Gina lembut.Hening m

  • Jadi Budak Kakak Ipar   TEKAD DAN SEMANGAT

    Gina menuntun Felisha keluar dari ruang periksa setelah semuanya selesai. Langkah Felisha terasa ringan sekaligus berat —ringan karena kabar baik itu nyata, berat karena tanggung jawab yang kini tak lagi bisa ia abaikan atau tunda.Mereka duduk sebentar di bangku tunggu klinik. Felisha mengusap pipinya yang masih basah, lalu menghela napas panjang.“Sehat,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia sehat.”Gina tersenyum hangat. “Kamu hebat, Feli. Kamu datang ke sini tanpa siapa pun yang selama ini selalu mengambil alih keputusanmu.”Felisha terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di dadanya.“Aku takut, Gin,” akunya jujur. “Tapi anehnya, kali ini takutnya berbeda. Bukan takut sendirian. Lebih ke takut salah langkah.”“Itu wajar,” jawab Gina lembut. “Karena sekarang setiap langkahmu bukan cuma untuk kamu.”Felisha mengangguk. Ia menatap keluar jendela klinik, melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Ia tahu, ia belum sampai d

  • Jadi Budak Kakak Ipar   PERTEMUAN PERDANA

    Langit pagi mulai cerah ketika Felisha dan Gina bersiap keluar kamar kos. Udara masih menyisakan dingin semalam, bercampur bau tanah basah yang naik dari halaman sempit di depan bangunan. Felisha mengenakan jaket tipis, menutupi tubuhnya dengan gerakan refleks—bukan karena dingin, melainkan karena kebiasaan menjaga diri yang kini semakin kuat.“Kita mulai dari daerah belakang kampus dulu,” ujar Gina sambil mengunci pintu. “Biasanya banyak kos kecil yang murah dan tenang.”Felisha mengangguk. “Aku cuma butuh tempat yang… tidak terlalu ramai.”Dan tidak terlalu dekat dengan kenangan, lanjutnya dalam hati.Mereka berjalan pelan menyusuri gang. Beberapa ibu menyapa ramah, penjual sarapan memanggil pembeli dengan suara serak. Dunia tetap berjalan normal, seolah tidak ada hati yang sedang bertaruh di antara pilihan-pilihan sulit.Felisha berhenti sejenak ketika ponselnya kembali bergetar.Refleks, ia melihat layar.Bukan Alan dan juga bukan Erik.Sebuah pesan dari nomor klinik kandungan yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status