LOGINMobil taksi online berhenti tepat di depan pagar besi tinggi itu. Felisha menatapnya beberapa detik lebih lama dari yang ia rencanakan. Cat hitamnya masih mengilap, kamera kecil di sudut atas bergerak pelan mengikuti setiap kendaraan yang melintas. Tidak ada yang berubah. Dan justru karena itu, dadanya terasa semakin sesak.Ia membayar ongkos, lalu turun.Langkahnya mantap ketika menekan bel. Tidak ada gemetar di tangan. Tidak ada ragu yang tersisa. Yang ada hanya satu kesadaran utuh —jika ia menunda hari ini, luka ini akan terus hidup.Masalah yang bertubi-tubi datang belakangan ini, telah membuat Felisha menjadi sosok yang kuat. Pintu terbuka setelah beberapa saat. Seorang asisten rumah tangga menatapnya kaget.“Non Felisha?”Felisha mengangguk. “Saya ingin bertemu ibu.”Perempuan itu ragu sejenak, lalu mempersilakan masuk. Felisha melangkah melewati ruang tamu luas yang terasa asing sekaligus terlalu dikenalnya. Setiap sudut rumah ini menyimpan kenangan —sebagian hangat, sebagian
Alan menatap Alvaro tanpa berkedip. “Apa maksudmu?” suaranya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras —tanda yang sangat dikenal Alvaro.“Salah satu orang kita tidak sengaja melihat Nona Felisha masuk ke kediaman Sumitra sekitar beberapa waktu yang lalu,” jelas Alvaro hati-hati. “Belum ada laporan lanjutan apakah beliau masih di sana atau sudah pergi.”Alan memejamkan mata sesaat. Nama itu —Sumitra, bukan keluarga yang pantas lagi ia hormati. Ia adalah pusat dari banyak luka yang Felisha simpan rapi selama ini. Keluarga yang tak pernah benar-benar menerima Felisha, bahkan sejak perempuan itu tinggal di kediaman mereka. “Siapa yang menyuruhmu melapor?” tanya Alan akhirnya.“Tidak ada, Tuan. Ini refleks. Saya pikir—”“Lain kali,” potong Alan pelan, “laporkan hanya jika Felisha dalam bahaya.”Alvaro terdiam, lalu mengangguk. “Baik, Tuan. Hanya saja, bukankah putri mereka, Ny. Dina sedang kita amankan sebab insiden penculikan yang beliau dalangi. Apakah bukan sesuatu yang membahayakan jika
Atmadi Wijaya mengangkat pandangannya dari koran pagi, menatap Erik dengan sorot mata yang tenang namun tajam. “Kampus?” ulangnya pelan, bukan curiga, lebih pada memastikan.“Iya,” jawab Erik mantap. “Tidak lama.”Atmadi mengangguk singkat. “Kerjakan yang perlu kamu selesaikan. Tapi setelah itu, langsung ke kantor. Ada rapat internal jam sebelas.”“Iya, Yah.” Erik menarik kursi, duduk sebentar untuk menghormati kebiasaan sarapan bersama, meski hanya menyesap kopi. Ibunya menunjukkan senyum puas—bagi perempuan itu, melihat putranya mulai menata hidup adalah kebahagiaan kecil yang tak perlu dirayakan berlebihan.Tak lama kemudian, Erik pamit.Di luar, pagi terasa lebih hidup. Erik menyetir dengan pikiran yang terasa lega dan optimis —tidak melayang pada kemungkinan yang belum tentu, tidak pula memikirkan hal negatif yang tidak seharusnya ia pikirkan. Ia memilih fokus pada apa yang ada di depannya.Sementara itu, Felisha tiba di kampus dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasan
Pagi datang dengan langkah pelan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar kos, jatuh tepat di wajah Felisha. Ia terbangun dengan napas yang lebih teratur dari hari-hari sebelumnya, seolah malam tadi benar-benar memberinya ruang untuk bernapas.Untuk beberapa detik, ia hanya berbaring, mendengarkan suara kehidupan di luar —derap langkah penghuni kos lain, termasuk klakson samar dari jalan besar. Dunia tetap berjalan, dan untuk pertama kalinya, Felisha tidak merasa tertinggal di belakangnya.Ia bangkit perlahan, duduk di tepi ranjang. Tangannya refleks menyentuh perutnya.“Pagi,” gumamnya lembut, nyaris seperti kebiasaan baru yang belum sepenuhnya ia sadari.Di meja kecil, ponselnya menyala. Tidak ada pesan baru dari Alan. Tidak juga dari Erik. Dan anehnya, keheningan itu tidak menyesakkan. Justru terasa seperti ruang kosong yang bisa ia isi dengan pilihannya sendiri.Felisha mengambil map berisi dokumen-dokumen penting—KTP, kartu mahasiswa, hasil pemeriksaan dokter. Ia men
Felisha berhenti mengunyah. Sendoknya tertahan di udara sesaat sebelum akhirnya ia letakkan kembali ke piring.Nama itu —Erik, membuat ruang di dadanya terasa menyempit, bukan karena perasaan yang menggebu, melainkan karena kesadaran bahwa ada seseorang yang berdiri terlalu dekat dengan luka yang belum sembuh.“Aku tidak ingin menjadikannya pelarian,” ucap Felisha pelan. “Dia tidak pantas menerima sisa-sisa dari hidup yang belum selesai,” lanjutnya sembari melanjutkan makannya. Gina menatapnya lama, lalu duduk di hadapannya. “Tapi kamu sadar, kan? Diam pun bisa memberi harapan.”Felisha mengangguk. “Itu yang membuatku takut.” Ia mengusap perutnya pelan, refleks yang kini muncul setiap kali ia gelisah. “Aku tidak ingin ada siapa pun yang terluka karena kebingunganku.”Gina menghela napas. “Berarti kamu harus jujur. Pada Erik, juga pada dirimu sendiri.”Felisha tersenyum tipis. “Kejujuran kadang lebih menakutkan daripada kepergian, bukan?”“Tapi lebih adil,” balas Gina lembut.Hening m
Gina menuntun Felisha keluar dari ruang periksa setelah semuanya selesai. Langkah Felisha terasa ringan sekaligus berat —ringan karena kabar baik itu nyata, berat karena tanggung jawab yang kini tak lagi bisa ia abaikan atau tunda.Mereka duduk sebentar di bangku tunggu klinik. Felisha mengusap pipinya yang masih basah, lalu menghela napas panjang.“Sehat,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia sehat.”Gina tersenyum hangat. “Kamu hebat, Feli. Kamu datang ke sini tanpa siapa pun yang selama ini selalu mengambil alih keputusanmu.”Felisha terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di dadanya.“Aku takut, Gin,” akunya jujur. “Tapi anehnya, kali ini takutnya berbeda. Bukan takut sendirian. Lebih ke takut salah langkah.”“Itu wajar,” jawab Gina lembut. “Karena sekarang setiap langkahmu bukan cuma untuk kamu.”Felisha mengangguk. Ia menatap keluar jendela klinik, melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Ia tahu, ia belum sampai d







