Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Alan atau pun Felisha. Keduanya sama-sama diam, hanya suara mesin mobil yang biarpun halus masih terdengar di telinga semua orang yang ada di dalam mobil, termasuk Luna yang hari itu mendapat tugas mengantar pasangan suami istri tersebut menemui dokter. Alan tidak pergi ke kantor karena lebih mementingkan kondisi kesehatan Felisha. Sebab itulah Alvaro harus meng-handle beberapa pekerjaan yang sejatinya Alan kerjakan. "Kau marah atas berita kehamilan ini?" Pada akhirnya Alan tak tahan untuk terus diam. Ia seperti ingin tahu apa yang istrinya rasakan setelah tahu jika saat ini ada calon bayi mereka di dalam rahimnya. Perlahan Felisha menoleh. Sejak tadi ia memang hanya menatap ke luar jendela meski tidak ada hal menarik apapun yang ia lihat selain tiang-tiang lampu jalan atau gedung-gedung bertingkat di sepanjang mobil berjalan. "Apa Kak Alan enggak marah?"Alan mengernyitkan kedua ali
Felisha kembali ke kamarnya setelah ia sampai rumah. Hal itu langsung membuat Alan kesal sebab istrinya itu tidak mengatakan apapun akan tujuannya itu. "Kamu mau pergi ke mana?" tanya Alan ketika Felisha melewati kamar utama. Perempuan itu berhenti tepat di depan kamarnya sendiri. Ia berbalik sebelum menarik handle pintu kamar. "Ke kamarku." Felisha menjawab santai. "Ke kamarmu? Kenapa?" tanya Alan seraya berjalan mendekat. "Kenapa? Apa harus ada alasan kenapa aku masuk ke kamarku?" Felisha tampaknya tidak peka mengenai maksud sang suami. Alan semakin menatap Felisha. Jarak keduanya hanya tersisa sekian senti saja. Bahkan, hidung mancung Alan hampir menempel ke hidung istrinya. Hal itu membuat perempuan tersebut kikuk. "Kamu tanya kenapa harus ada alasan?"Felisha diam tidak menyahut. "Apa kamu lupa kalau sejak beberapa hari yang lalu, kamu harus tidur di kamar utama bersamaku!"Nyali Felisha perlahan menciut ketika napas yang keluar dari mulut Alan terasa di hidungnya. "K-K
Felisha tampaknya tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang lelah. Nyatanya saat Alan kembali, perempuan itu sudah tertidur lelap dengan bantal milik sang suami di dalam pelukannya. Alan tersenyum demi melihat pemandangan di depannya sekarang. Berdiri di sisi ranjang dengan pandangan yang terus mengarah ke wajah Felisha yang terlihat damai dan tenang. Perlahan kemudian Alan mendekat, duduk di sisi ranjang di mana Felisha tertidur. Inginnya ia mengambil bantal yang ada di atas perut Felisha, tapi ia berpikir jika hal tersebut pasti akan membuat tidur istrinya terganggu. 'Apa yang terjadi sampai kamu mengambil bantal milikku seperti ini?' gumam Alan sembari bibir yang terus tersenyum. Menurut lelaki itu lucu. Ia sama sekali tidak membayangkan ada sesuatu yang aneh atau janggal sehingga membuat sang istri mengambil hak miliknya. 'Apa kamu rindu? Baru aku tinggal sebentar, dan kamu langsung merasa kesepian?' batin Alan tiba-tiba tertawa. Sungguh pemikiran asal tanpa alasan jelas. Seja
Alan memilih untuk tidak peduli sekarang. Melihat kejanggalan yang tampak pada diri istrinya, tidak serta merta membuat lelaki itu curiga atau ingin tahu."Apa kamu lapar? Aku sudah meminta Bu Rumi menyiapkan makan siang untuk kita." Alan mencoba mengabaikan. Baru selesai kata terakhir keluar dari mulut Alan, tiba-tiba terdengar suara kelaparan yang berasal dari perut Felisha. Seketika saja Alan melihat ke arah di mana tangan istrinya berada di sana. "Tidak perlu kamu menjawab, aku langsung tahu jawabannya." Alan berkata santai. Felisha hanya mampu tersenyum kikuk. Tiba-tiba ia merasa kesal karena tubuhnya yang mendadak tidak bisa diajak kompromi di situasi 'genting' seperti ini. 'Tiba-tiba gerah, tiba-tiba lapar. Apa maunya tubuhku ini?' batin Felisha kesal. "Kamu mau kita makan di sini atau di meja makan?" tanya Alan lagi sebelum beranjak bangun. "Di bawah saja.""Apa kamu tidak lelah?""Lelah?" Felisha bertanya seperti orang yang bingung. Alan pun mengangguk, merespon. "Aku
Hari itu Alan benar-benar tidak pergi ke mana-mana. Seharian penuh ia menemani istrinya di rumah. Hanya Alvaro yang datang untuk menyampaikan laporan mengenai pekerjaannya di kantor. Jam lima sore, lelaki itu datang. Bersama Luna, keduanya langsung menemui Alan yang sudah menunggu di ruang kerja. "Apa Non Felisha tidak menerima panggilan hari ini?" Tiba-tiba Luna bertanya setelah duduk di depan sang tuan. "Apa maksud kamu? Apa kamu mengetahui satu gelagat aneh?" Alan menatap curiga. "Tidak pasti, Tuan. Tapi, sepertinya tadi saya melihat lelaki muda itu di toko kue tempat langganan Non Feli.""Apa korelasinya dengan panggilan istriku?""Terlihat ia menghubungi seseorang, saya pikir seorang perempuan. Dari obrolan yang saya dengar sepertinya ada ajakan mengunjungi satu tempat wisata." Luna mencoba menjelaskan apa yang ia tahu. Alan terlihat mulai tak nyaman. Meski awalnya ragu, tapi sekarang ia seperti mencurigai sesuatu. "Aku akan mengeceknya nanti," ujar Alan akhirnya. "Tapi, se
"Perempuan jalang kurang ajar! Tak tahu diuntung dan terima kasih!"Sebuah kalimat kasar terdengar dari arah kamar Alan. Seorang pengusaha yang sudah menikah dan memiliki anak itu, seperti tengah mengamuk sebab alasan tertentu. Beberapa orang pembantu rumah tersebut bisa mendengar dengan jelas karena pintu kamar yang tidak ditutup. Mereka tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain.Alan baru pulang dari kantor beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian, suara membahana itu langsung menghiasi seluruh sudut ruangan di lantai tiga tersebut. Di tengah Alan yang masih marah, juga para pembantu yang masih bersiaga di depan pintu kamar, tiba-tiba sosok perempuan muda muncul di anak tangga terakhir. Ia yang muncul dari bawah, tampak heran dan bingung ketika melihat empat orang pembantu berdiri di depan kamar kakaknya dengan kepala menunduk. "Ada apa?" tanya perempuan muda itu setelah mendekat dan menghampiri salah satu pembantu. Namun, belum sempat pembantu di depannya membuka
Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata Felisha. Ia sudah bisa membayangkan maksud dari pelayanan yang Alan katakan. Bagaimana mungkin gadis itu melakukan hal tersebut. Ia adalah adik ipar Alan. Sosok kakaknya masih ada meski entah di mana keberadaannya sekarang. Bagaimana mungkin ia mengkhianati Dina dengan melayani kakak iparnya sendiri. Selain ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Alan, perasaan enggan di hatinya membuatnya tak mau menyetujui permintaan Alan barusan. "Kalau kamu tidak mau, biar aku yang melakukannya!" seru Alan seraya menarik paksa pakaian Felisha keluar dari tubuhnya. "Tidak, Kak. Jangan seperti ini. Ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Pasti terjadi kesalahpahaman di sini." Felisha mencoba menghentikan aksi Alan di tengah kondisi tubuhnya yang kini menyisakan dua pakaian dalam yang masih melekat. Namun, Alan tetap bergeming. Ia seperti enggan mendengar perkataan Felisha. Kedua tangannya sudah akan melepas kain terakhir pada tubuh adik iparnya ketika ia
"Kau akan jadi budakku selamanya!""Selamanya!""Selamanya!""Selamanya!"Suara itu terus berdengung di kepala Felisha. "Tidak!"Gadis itu menjerit ketakutan. Terbangun dari pingsan yang terjadi hampir dua jam lamanya. Dilihatnya ruangan kamar yang sudah satu tahun ia tinggali. Kamar ber-design lembut, dengan cat cream yang mendominasi, adalah tempat ternyaman gadis itu selama tinggal di kediaman Alan Tanujaya, kakak iparnya. Suami Dina, kakak perempuan satu-satunya. Yang menurut kabar yang didapat, kabur meninggalkan suami dan anaknya dengan seorang lelaki yang ternyata adalah mantan kekasihnya dulu. Yang ternyata tak pernah putus meski Dina menikah dengan Alan, tiga tahun lalu. Ya, Felisha baru tahu setelah mendengar info dari salah seorang asisten rumah yang sudah lama bekerja di kediaman keluarga kaya raya tersebut. Felisha yang akhirnya bisa keluar dari kamar Alan, setelah lelaki itu berbuat tak senonoh padanya, mendapat kabar tersebut saat akan kabur dari rumah. Rupanya Alan