“Ayah!”
Rasmi berlarian mendekati ayahnya. Merebut perlengkapan bayi tersebut dan memberikannya kepada Septi . Sontak saja hal itu membuat Jihan dan Wisnu terkejut. Mereka baru menoleh ke arah Rasmi, baru kemudian Septi dan Bagas tidak jauh dari sana.
Bagaimana anak perempuan sekecil itu tidak sakit hati. Ayahnya lebih memperhatikan wanita lain yang memang mengandung. Tapi, Mama-nya, Septi juga mengandung. Ayahnya tidak memperdulikannya sama sekali. Boro-boro mau membelikan perlengkapan bayi seperti itu.
“Heh! Apa-apaan ini!”
Marni keluar dari dari rumah bersama dengan Dina. Dia tampak murka karena perlengkapan bayi itu diberikan kepada Septi. Dengan langkah yang terburu-buru, dan wajahnya yang garang. Dia mendekati Septi dan merebut perlengkapan bayi tersebut.
“Jangan diambil! Itu untuk dedek!”
Rasmi berusaha merebut perlengkapan bayi itu. Namun, karena Marni meninggikannya. Rasmi tidak mampu menggapai. Wanita tua itu langsung menatap Septi, seolah menghakimi istri dari calon suami anaknya itu.
“Kamu ini gimana sih! Becus enggak mendidik anak! Bisa-bisanya merebut perlengkapan bayi ini tanpa izin. Ini kan untuk calon bayi Jihan!”
Septi diam saja. Mendengarkan ocehan wanita tua itu. Mau menjawab. Percuma saja dia tidak akan menang. Apalagi dengan orang keras kepala tak berperikemanusiaan seperti dia.
“Harusnya ibu tanya sendiri dengan diri ibu. Bisa enggak mendidik anak? Sampai mau-maunya menjadi lonte bagi lelaki yang sudah beristri!”
Seorang pria berkulit gelap menghampiri mereka, yang tidak lain adalah Brata. Pria itu masih bertahan di sini dengan posisinya yang ditindas. Bukan apa-apa, Brata masih yakin kalau benih yang ada di perut Jihan itu berasal darinya. Dan memang belum terbukti kalau benih itu berasal dari Wisnu. Makanya dia tidak bergeming dan masih bertahan di rumah ini.
“Lancang kamu berkata begitu hah! Lelaki tidak berguna! Mandul lagi! Apa bagusnya dari dirimu hah! Hanya sebagai sampah!”
"Saya tidak mandul, Bu! Apa Ibu tidak mendengar dari dokter kalau aku ini masih memiliki kesempatan untuk memiliki anak. Dan aku sangat yakin sekali kalau anak yang dikandung Jihan itu adalah anakku!"
"Alah kemungkinannya kecil saja, enggak mungkin kalau itu anakmu. Pasti anak dari Wisnu." Dina menimpali.
"Kalian pikir aku tidak tahu hah rencana kalian? Kalian sengaja menjebak Wisnu supaya seolah-olah Wisnu yang menghamili. Supaya kalian bisa memiliki memantu yang lebih baik daripada aku. Dan kalian meminta Jihan untuk melakukan hal serendah itu. Merusak rumah tangga orang lain! Apa panggilan yang pantas selain lonte?"
Marni beralih menuding Brata. Brata sudah bertahan dengan gemertak giginya. Tangannya mengepal. Kalau bukan orang tua. Dan kalau bukan wanita. Mungkin saja, wanita itu sudah babak belur.
“Apa kamu bilang tadi! Berani sekali kau menyebut Jihan begitu!”
Kini, giliran Wisnu yang naik pitam. Dia tidak terima Jihan dihina, tapi tidak membela saat keluarganya sendiri dimaki-maki oleh wanita tua yang bahkan tidak ada hubungannya dengan dia sama sekali dengannya.
“Kenapa? Baku hantam, ayo! Lagian kamu punya otak enggak! Istri hamil anak masih kecil. Tega-teganya main sama lonte ini! Memang dasarnya tahi memang sangat cocok ketemu sama comberan.”
Amarah Brata meletup-letup. Bentuk dari kesabarannya sudah habis. Seorang menantu yang diinjak-injak harga dirinya oleh istri dan keluarganya. Namun, dia tidak mau hengkang dari rumah itu. Karena artinya dia kalah. Dia tidak mau kalah. Terus berjuang dengan bayi yang ada di perut Jihan yang dia yakin adalah berasal dari dirinya.
Sebuah bogem langsung melesat tepat ke pipi Brata. Brata tertoleh sesaat. Menyentuh wajahnya yang memerah. Lantas membalas pukulan Wisnu dengan lebih keras. Pria bertubuh putih itu terpelanting.
Marni dan Jihan menjerit. Sedangkan, Septi sibuk melindungi anaknya. Dia sebenernya bodo amat mau suaminya itu berantem, tapi kasihan dengan anaknya. Melihat kelakukan buruk ayahnya. Menjadi contoh yang tidak baik.
“Sudah, Brata! Jangan kau sakiti calon menantuku! Atau kamu mau kami melaporkannya kepada polisi!”
Brata mendengus kasar. Matanya memicing tajam. Di benaknya, dia masih mempertimbangkan banyak hal sebelum menghabisi nyawa Wisnu. Termasuk, Septi dan kedua anaknya. Brata merasa tidak enak hati dengan mereka.
Marni masuk ke dalam rumah. Bersama dengan Dina. Tidak berapa lama mereka keluar. Melempar semua pakaian Brata. Mereka masuk lagi untuk mengambil sisa-sisanya. Melemparnya keluar semua.
“Memang seharusnya dia diusir dari kemaren-kemaren saja! Enggak ngasih duit numpang saja!”
Dina berkata sinis. Dia sudah jengkel dengan kehadiran Brata di rumah itu.
“Aku tidak mau pergi! Aku akan bertahan di sini sampai anakku lahir!” Brata bersiteguh, yang langsung dibalas cibiran oleh Dina.
“Anak kamu!Ngaca! Mandul gitu. Mimpi punya anak! Aku lebih iklas kalau adikku bersama dengan Wisnu. Udah ganteng, mapan, tajir. Enggak kayak kamu. Banci saja pikir-pikir dulu kalau mau dekatin kamu!”
“Sudahlah, enggak usah perdulikan dia. Dan kamu Septi. Mending kamu pulang saja. Bawa anak-anakmu. Lain kali, jangan bawa anak-anakmu ke sini. Kamu tahu kan kalau Jihan sedang hamil. Jihan lebih membutuhkan suamimu. Lagian, sudah ada waktunya suamimu akan pulang menemui kalian kan?”
Septi hanya menelan mentah-mentah perkataan ibu dari mantan sahabatnya itu. Pahit. Sakit. Mana yang namanya adil kalau suaminya itu tidak pernah pulang. Bahkan dia pilih kasih dengan membelikan perlengkapan bayi untuk Jihan. Sedangkan dia, tidak dibelikan sama sekali.
Septi pun menggiring anaknya untuk masuk ke dalam mobil. Namun, baru akan melangkah masuk ke dalam mobil. Tiba-tiba dia mendengar suara kegaduhan lagi. Refleks dia menoleh.
Ternyata Brata merebut perlengkapan bayi itu. Menginjak-injaknya. Kemudian, tanpa banyak kata, dia bergerak menuju motornya. Pergi sejauh-sejauhnya dari sana.
Septi masuk kerja seperti biasa. Jabatannya adalah sebagai general manajer di sebuah perusahaan textile. Dia tergolong sangat mampu dalam pekerjaannya. Sehingga di umur yang hampir kepala tiga dia dipercayakan sebagai general manajer. Dia menitipkan Rasmi dan Bagas kepada asisten rumah tangganya . Seorang ibu-ibu yang sudah sangat dekat dengannya. Dia ikutan sedih atas kejadian yang menimpa keluarga Septi. Beliau selalu berpesan untuk bersabar. Semua pasti ada balasannya dan hikmahnya. “Siapa tahu, di balik musibah ini. Ada rezeki besar menanti.” Begitu beliau berkata. Entah kenapa perkataan tersebut selalu terngiang di kepala Septi. Membuat Septi merasa sangat yakin. Dan benar saja. Hari ini. Dia mendapatkan berita bahwa CEO perusahaannya mengundurkan diri. Alasannya karena ingin mendirikan perusahaannya sendiri. CEO tersebut memanggil Septi untuk menghadapnya. “Selamat Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” “Mulai hari ini, kamu siap-siap ya. Saya akan memberi pelatihan kepada
“Ada apa ya Ibu Marni, Mbak Dina ke sini.”Septi masih sopan menyapa mereka. Bahkan, dia mempersilakan kedua tamunya untuk masuk ke rumah. Tapi, kedua tamunya itu malah membentaknya.“Dasar kamu wanita tidak tahu diuntung! Kenapa kamu usir Wisnu dan anakku dari rumah ini hah! Ini kan rumah Wisnu. Harusnya dia boleh datang bersama dengan Jihan di sini kapanpun!”Wanita tua itu menuding. Septi hanya menghela nafas. Dia berkata kepada Bik Ratih untuk terlebih dahulu masuk ke dalam mobil bersama dengan kedua anaknya.“Saya sebenernya tidak masalah, Bu. Mau mereka datang ke sini kapanpun. Tapi, sayangnya kedua anakku yang tidak mau. Jadi ya mau bagaimana lagi.”“Sombong kamu ya! Mentang-mentang sudah punya kerjaan sendiri. Suamimu sendiri kamu sepelekan! Awas nanti kalau sampai kamu menangis darah karena ditinggal Wisnu.”Kini giliran Ratih yang memojokkannya. Septi hanya tertawa tipis. Mereka berkata seolah-olah Wisnu adalah manusia yang didewakan. Septi tidak bisa hidup tanpa Wisnu. Pada
Namun, pada kenyataannya tidak semudah itu untuk kembali bersama dengan Septi. Apalagi kedua anak Septi yang terang-terangan menolak ayahnya kalau masih bersama dengan Jihan. Maka pulangnya Wisnu kembali ke keluarga Jihan. Marni yang mendengarnya marah. “Masa kamu enggak bisa membujuk istrimu supaya baikan?” “Enggak bisa, Ma. Aku malah diusir sama dia. Sepertinya dia sudah membujuk kedua anakku juga supaya ikut membenciku.” “Memang keterlaluan istrimu itu. Sombong sekali dia. Ayo, Ma kita ke rumah Septi lagi. Kita labrak dia!” Dina angkat suara. Marni setuju. Mereka pun kembali dengan menggunakan motor matic menuju rumah Septi. Pada saat itu, Septi sedang bersantai bersama kedua anaknya. Ada Bik Ratih juga. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran tamu yang tidak diundang. Tapi, terlebih dahulu, tamu tersebut dihalangi oleh sekuriti. “Ternyata, Septi sudah membayar sekuriti, Ma. Dia sepertinya takut kalau kita datang lagi. Dia takut kalau kita labrak!” Dina berkata sinis. M
Pagi ini, Septi merasakan perutnya yang terasa sangat sakit dan keringat dingin keluar dari tubuhnya membuat dia kesulitan untuk bernafas“Astaga, rasannya sangat menyakitkan ada apa ini, kenapa sangat sakit?”keluh septi memegang perutnya seraya mengeluh.Sedari pagi hingga sore septi berhasil menahan rasa sakit perutnya, tapi tidak untuk malam hari dia merasakan perutnya yang terasa semakin sakit, dia memegang erat perutnya seraya berteriak minta tolong.“Tolong!!! Bik Ratih!!”teriak SeptiBik Ratih yang sedang menyiapkan makan malam pun segera bergegas berlari menemui Septi yang ada didalam kamarnya sedang sangat kesakitan, Bik Ratih langsung berlari menemui sekuriti dirumahnya“Pak, tolong. Nyonya Septi, ingin lahiran.”Panik Bik Ratih“Astaga, kita harus segera membawannya kerumah sakit.”Panik sekuritiSepti dibawa ke rumah sakit oleh sekuriti dan Bik Ratih menggunakan mobil,selama di mobil bik Ratih terus mengenggam erat tangan septi dia berusaha menguatkan Septi“Buk Septi kuat y
Wisnu memberikan amplop tersebut kepada septi lalu dengan cemas Septi segera membacannya dia melihat surat itu berasal dari pengadilan, Septi tercengang dia begitu kaget, hanya dapat menutup mulutnya menahan terkejut. Pasalnya, dia baru saja melahirkan anaknya tapi wisnu sudah meminta Septi untuk menandatangani surat perceraian tersebut, septi melihat Wisnu yang sudah menandatangani surat perceraian itu“Apa ini? kenapa kamu memberikan surat ini padaku?!!”tanya septi seraya berteriak“Aku ingin cerai denganmu, itu adalah keputusanku.”jawab Wisnu semakin membuat Septi tercengang dan tak mempercayai apa yang baru saja dia lihat.“Kamu kejam sekali,Wisnu.”ujar Septi dengan penuh kemarahan, dia tidak menerima perceraian yang akan dilakukan Wisnu kepadannya.Bik Ratih yang berada didalamruang bersalin melihat Septi yang menangis tersedu-sedu setelah melahirkan pun, protes.“Istrimu baru saja melahirkan anakmu, kenapa kamu memberikannya surat perceraian ini!!”sentak Bik Ratih tidak terima m
Seorang perawat masuk kedalam ruangan Septi, dia seperti akan mencabut selang infus dari tangan Septi dan membuat Septi tersenyum senang“Apakah aku sudah boleh pulang?”tanya Septi yang terlihat senang“Ya, ibu sudah boleh pulang karena keadaan ibuk yang sudah membaik.”tutur Dokter kepada Septi.“Syukurlah, aku sudah boleh pulang kerumah. terimakasih, dokter.”ucap Septi, lagipula dia juga merasakan kalau dirinnya sudah lebih baik dari kemarin.Bik Ratih masuk kedalam ruangan, dia melihat Buk Septi yang keadaanya sudah lebih baik dan jarum infus yang sudah dicabut dari tangannya.“Buk Septi, apa yang dokter katakan, buk?”tanya Bik Ratih dengan penuh harap“Aku sudah boleh pulang, Bik. Dokter mengatakan kalau keadaanku sudak membaik.”tutur Septi dengan senang.“Mama sudah boleh pulang?”tanya kedua anaknya itu“Sudah, nak.”Septi tersenyum kepada kedua anaknya membuat mereka melompat senang“horee mama sudah boleh pulang!!!” seru kedua anaknya itu melihat keadaan mamanya.Septi pulang ber
Bab 10Marni menyambut kedatangan mereka semua dirumahnya, dia sangat keheranan sekaligus marah kenapa Septi datang bersama rombongan.“Kenapa kamu membawa semua rombongan seperti ini? seperti tawuran saja, apa maumu, Septi!!”sentak Marni kepada SeptiSepti tidak menanggapi tapi para tetangganya yang menanggapi.“Itu karena ibu yang sudah mengambil barang yang bukan hak ibu.”“Ibu sudah mengambil hak orang lain, ibu mengambil barang milik Septi dan membuat suami septi selingkuh dengan anak ibu yang pelakor.”“Bahaya banget ya, disini banyak sekali pelakor. Awas hati-hati ibu-ibu, takut suami ibu direbut pelakor juga.”“Ibu tuh salahnya sudah mengambil hak orang. Kalau ibu gak mau dirumah ibu ramai orang, seharusnya ibu berpikir dulu sebelum mengambil, buk. Jangan hak orang ibu ambil.”“Tangannya sudah terbiasa maling, jadi susah deh.”Mereka mencecar Marni habis-habisan karena sikap wanita itu yang seenaknya. Memakai barang yang bukan punyanya, marni sungguh tidak tahu malu sudah meng
“Saya bisa saja, nanti melaporkan tindak kejahatan ini kepada polisi mengatakan kalay ini semua adalah pencemaran nama baik.”cecar MarniKali ini Dina adik Jihan yang ambil suara dia menjelaskan kepada Pak RT perihal yang terjadi kepada keluargannya.“Septi dan Wisnu akan melakukan percaraian, jadi tidak masalah kalau barang-barangnya diambil, lagipula Septi bisa membelinya lagi.”cerca Dina membela kakaknya, Wisnu.“Satu hal lagi, Septi terlalu serakah dia tidak mau membagi harta gono-gini padahal yang kerja keras adalah Wisnu.”Jelas Dina kembali membela Wisnu dengan mati-matian.“Ya benar itu, Septi yang terlalu serakah dia ingin mengusai semua harta kekayaan tanpa peduli siapa yang membelinnya.”timpal MarniSepti pun dengan sangat sabar membalas cercaan marni dan Dina yang mencoba mendukung Wisnu, pria yang akan menjadi mantan suami dengan penuh sabar dan mencoba untuk tidak membalasnya dengan emosi.“Semua harta itu adalah atas hak atas milikku seratus persen, hasil aku bekerja dan