“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.
“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.
Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.
“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.
Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.
Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.
“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.
“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.
“Nggak, bisa, Pak. Ada beberapa obat yang harus melewati infus.” Lagi Suster menjelaskan.
Setelah mengerti, Jefri menyerahkan Leon. Ia merasa hatinya tidak tega, entah mengapa bisa seperti itu. Padahal, ia terkenal sebagai bos paling dingin dan kaku. Namun, saat ia bertemu dengan Leon dan Agnia semua berbeda.
“Mau ke mana, Pak Jef?” tanya Agnia.
“Masuk,” ucapnya.
“Di sini aja, jangan ke sana.”
Jefri memundurkan tubuhnya, ia menggaruk tekuk lehernya karena merasa tidak enak dengan Bu Anggun. Ia lupa jika Leon belum jelas juga statusnya, apa anaknya atau bukan. Akan tetapi, ia sudah berlaku seperti ayah siaga.
“Ibunya Agnia?” tanya Jefri saat bertatapan dengan Bu Anggun.
“Iya, saya neneknya Leon, ibunya Agnia,” ucap Bu Anggun.
“Saya Jefri, bos Agnia.” Jefri memperkenalkan diri, ia merasa bersalah pada ibu Anggun jika mengingat kejadian lalu.
Dering ponsel Jefri membuat pria itu menyingkir agak jauh dari Agnia. Ia mengangkat panggilan telepon dari Bianca. Jefri menepuk kening karena lupa ada janji untuk menjemput kekasihnya itu.
Gegas ia pamit pada Agnia dan Bu Anggun. Namun, ia masih merasa berat untuk meninggal Leon. Langkahnya pun sangat berat, tapi ia tak mau Bianca marah padanya.
Setelah Jefri pergi, Agnia duduk dengan di kursi. Ia menarik napas lega saat pria itu pergi. Bu Anggun menghampiri dengan penuh beberapa pertanyaan. Ada apa dengan Agnia pikir wanita itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Bu Anggun.
“Ba—baik, Ma.”
Bu Anggun tidak mau membahasnya sekarang karena suster sudah membawa Leon yang menangis kejer. Ia langsung menghampiri sang cucu dan menggendongnya agar tenang.
***
Agra terbangun sejak pagi tadi. Ia langsung mengecek ponsel yang sengaja ia matikan dari semalam. Benar dugaannya, banyak pesan masuk dari Agnia tentang Leon.
[Angkat teleponnya, Pa.]
[Demam Leon semakin tinggi, aku harus bagaimana?]
[Leon di rawat di rumah sakit]
[Terserah kamu mau datang atau tidak]
Agra mulai cemas, ia gegas ke kamar mandi dan bersiap untuk ke rumah sakit. Walau bukan ayah kandungnya, ia memang dekat dengan Leon.
Sementara, Bu Sukma bersama Gio berada di ruang tamu. Wanita tua itu marah saat sang anak baru pulang petang itu dengan alasan syuting sampai pagi. Ia cemas terjadi sesuatu dengan anaknya itu.
“Gi, jangan sering pulang pagi. Ibu nggak suka,” ucap Bu Sukma.
“Bu, aku syuting. Masa ia seenaknya pulang duluan, lagian aku juga nggak apa-apa,” papar Gio.
“Ibu sudah bilang kalau kamu lebih baik jadi pengusaha seperti Kakak kamu. Lagian, jadi artis uangnya juga nggak banyak,” ucap Bu Sukma.
“Bu, sudah, ya, jangan mengatur Gio. Aku sudah besar, lagi pula aku juga sudah mengikuti kemauan ibu untuk menjebak Mba Agnia. Dia orang baik, Bu.”
“Halah, ibu nggak suka sama dia. Lagian, ibu nggak mau ya harta kekayaan jatuh ke tangan anak laki-laki Agnia. Dia itu sengaja nggak hamil karena takut anak haramnya nanti nggak dapat harta kekayaan Agra.” Penuturan sang ibu membuat Gio hanya menggeleng.
Bu Sukma tidak ingin Leon mendapatkan harta dari Agra karena anak itu buka darah dagingnya. Lagi pula ia sebelum Agra menikahi Agnia sudah mempunyai calon untuknya. Namun, semua gagal karena Agra sudah menikah dengan Agnia. Awal menikah Agra mengatakan jika Leon anaknya, tapi berjalan waktu akhirnya Bu Sukma tahu jika Leon anak Agnia dari pria lain.
Sejak itu Bu Sukma mulai mencari cara agar Agra menceraikan Agnia. Dengan bantuan Hana yang menyumbang ide untuk membuat Agra langsung mentalak Agnia.
Bu Sukma terdiam saat suara pintu kamar Agra terbuka. Ia memilih untuk tidak melanjutkan perkataannya. Sementara, Gio langsung beranjak ke kamar karena Agra pasti masih sangat marah padanya.
“Kamu mau ke mana, Ga?” tanya sang ibu.
“Ke rumah sakit. Leon di rawat,” jawab Agra.
“Untuk apa? Sudah jangan pedulikan lagi wanita tidak baik itu. Kemarin merayu Gio, sekarang, ah, ibu bingung juga mau cerita apa nggak sama kamu,” ujar sang ibu.
Agra menjadi penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh sang ibu. Ia memaksa Bu Sukma untuk bicara. Namun, sang ibu malah memberikan sebuah foto yang memperlihatkan Leon hendak di gendong seseorang hingga sudah digendong. Akan tetapi, ia hanya melihat punggung kekar pria itu dari belakang.
Agra meremas foto itu dan melemparnya. Ia kembali emosi saat melihat apa yang di perlihatkan sang ibu.
“Jangan-jangan itu ayah kandungnya Leon, Ga. Selama ini berbohong sama kamu tentang tidak tahunya pria itu di mana. Atau memang mereka sengaja berbohong?”
Agra sepertinya masuk perangkap Bu Sukma. Ia mulai panas dengan apa yang ditudingkan sang ibu pada Agnia—menantunya.
***
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Jefri sudah sampai di rumah sakit untuk mencocokkan DNA dirinya dan Leon. Ia melihat dari kaca ibu Anggun tertidur di sofa dan Leon bermain bersama suster Sarah. Niatnya untuk masuk ke dalam ia urungkan karena takut membuat Bu Anggun bertanya-tanya. Ia kembali melangkah meninggalkan ruang inap.Pria berjas itu langsung beranjak ke ruang di mana dirinya akan melakukan tes DNA. Di sana seorang perempuan sudah menunggunya untuk melakukan tes itu.“Saya sudah mendapatkan darah anak itu, tidak banyak, tapi setidaknya bisa untuk mencocokkan dengan Anda,” ujar wanita dengan baju putih itu.“Baik, terima kasih.”“Kebetulan tadi suster mengambil darah Leon untuk kembali menjalankan tes.”Jefri hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan untuk tes kali itu. Ia meringis saat darahnya diambil. Walau sedikit juga ia masih trauma jika melihat darah di mana saja. Sebelum pulang, Jefri kembali melihat kamar Leon. Anak itu ter
Farha kembali menenangkan sang ayah yang murka saat Jefri datang. Pria tua dengan wajah berkerut itu tak segan melempar sang anak dengan gelas plastik yang ada di meja. Sementara, sang ibu pun ikut memisahkan mereka.“Pa, Jefri bukan anak kecil lagi,” ucap Jefri.“Bukan anak kecil tapi nggak nikah-nikah. Sudah Papa bilang, menikah dan beri aku cucu. Jangan berharap pada artis gadungan itu,” ujar Surya.“Pa, dia punya nama. Bianca namanya.” Jefri membela Bianca.Surya tahu sang anak hanya tinggal menunggu Bianca mengatakan iya. Namun, sampai detik yang ditentukan ia belum juga menikah. Jefri tidak mengerti sampai sang ayah marah besar seperti itu.“Kamu tahu, jika kamu tidak memiliki keturunan laki-laki, harta dan kekayaan perusahaan akan jatuh ke tangan Yoga. Apa itu yang kamu mau?” Surya menaikkan suaranya.Jefri seperti anak kecil yang sedang diomeli ayahnya setelah pulang sekolah. Pak Surya
Jefri memarkirkan mobil setelah sampai di apartemen Bianca. Pria berjas hitam itu dengan mudah masuk ke dalam karena ia yang memberikan apartemen itu untuk sang kekasih. Jefri mengabarkan Bianca jika ia sudah tiba.Bianca menghampirinya Jefri, kebetulan juga ia baru saja datang. Tangannya satu menjinjing makanan dan tangan satunya lagi membawa belanjaan.“Belanja lagi?” tanya Jefri. Netranya tidak berpaling dari kedua belanjaan yang ada di tangan Bianca.“Iya, dong, Sayang. Kamu tahu, kan aku model. Jadi, harus banyak stok baju baru,” ungkap Bianca. Bianca termaksud orang yang begitu boros, banyak barang yang selalu ia beli dan jatuhnya jarang di pakaiJefri tak bertanya lagi, ia langsung masuk ke dalam. Ia menghempaskan tubuh di sofa, sedangkan Bianca mengambilkan minum untuknya.“Bi, aku mau bicara,” ucap Jefri.“Aku juga mau bicara sama kamu, Sayang. Kabar baik, pokoknya.”Jefri memai
“Mama, Papa mana? Kok kita nggak pulang ke rumah Papa?” tanya Leon.Sepulang dari rumah sakit, anak laki-laki Agnia terus bertanyalah tentang ayahnya. Namun, sang ibu mencoba menjelaskan kalau ayahnya sedang ke luar kota jadi mereka sementara menemani nenek Anggun.Leon sedikit kecewa, bicaranya sudah sangat pintar walau masih agak sedikit cadel. Tangannya masih biru bekas cabutan infus, ia meringis saat tak sengaja menyenggol mainan.“Mama, kalau Om itu kapan datang?” Lagi, sang anak bertanya.“Om siapa?” Dahi Agnia berkerut.Agnia menatap sang ibu, ia berharap wanita itu memiliki jawaban. Bu Anggun menghampiri Leon yang bermain mobil-mobilan.“Bos kamu yang di maksud Leon. Kemarin dia datang lagi saat Leon hampir saja mengamuk. Pria itu baik, tapi apa hanya ibu yang berpikiran ini, ya.”“Apa yang ibu pikirkan?” tanya Agnia.“Hanya berpikir jika mereka berdua, L
Agnia di perintahkan ke ruang meeting untuk bertemu dengan seseorang. Ia beranjak ke sana untuk menemui orang itu. Keduanya saling berhadapan.Pria dengan kumis tebal memperkenalkan diri pada Agnia sebagai pengacara yang diutus Jefri untuk mendampinginya di persidangan perceraiannya. Agni sendiri bingung dengan semua yang terjadi begitu saja di hidupnya.Bahkan ia tak berpikir jika akan menggandeng pengacara untuk persidangannya. Sore nanti jadwal sidang pertama.“Tapi saya nggak perlu di dampingi,” ujar Agnia.“Tidak usah menolak. Perceraian kamu harus segera selesai.” Agnia menoleh saat suara Jefri terdengar begitu jelas.Lagi, Agnia dibuat tercengang dengan apa yang dilakukan Jefri. Dirinya hanya bisa terdiam tanpa kata.“Untuk apa semua ini, Pak Jef. Biarkan saya menyelesaikan semua masalah saya. Pak Jefri tidak usah ikut campur.” Agnia menolak semua yang dilakukan Jefri.
Agra mencoba mencari tahu tentang Jefri. Pengusaha muda yang berdiri di dalam sebuah perusahaan megah yang begitu terkenal. Ia pun lebih penasaran ada apa dengan Agnia, bagaimana bisa ia menggunakan pengacara sehebat itu.Pria dengan tubuh tegap itu menatap jalan ibu kita dari jendela kantor. Ia melirik jam di tangan, seperti ada yang terlupakan. Ia merindukan Leon, anak laki-laki Agnia yang selalu membuatnya semangat untuk pulang ke rumah kala itu.Agra kembali membuka pesan Agnia. Ia membacanya pelan, apalagi saat Agnia memintanya untuk menemui sang anak. Namun, ia bersikeras tak mau bertemu.“Bagaimana dia sekarang?” Agra bergumam sendiri.Sekali lagi dia terkejut melihat iklan di ponselnya. Adiknya menjadi brand ambassador perusahaan Gemilang Emas. Semua serba kebetulan dan membuat Agra terkejut.Hana datang memberikan informasi untuk meeting dengan perusahaan Valina Mutia untuk memperebutkan tender besar. Ia berencana a