Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.
“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.
“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.
“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”
“Iya, Alhamdullilah.”
“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”
Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika itu yang terbaik, ia pun tidak masalah. Andai sang ibu tahu, pria yang ia puji sebagai pria baik adalah orang yang ia maki dahulu karena menghamili anaknya.
Agnia sudah siap, gegas ia pamit untuk ke kantor. Sebelumnya, ia menciumi sang anak, berharap tidak akan lama di rumah sakit ini.
Sebelum ke luar, Agnia mengangkat telepon masuk dari suster yang menjaga Leon.
“Bu, Ibu di mana? Sarah kangen sama Leon?” Suara Sarah terdengar sangat cemas di seberang telepon.
“Saya di rumah sakit, Leon lagi di rawat, Sar. Kalau kamu rindu, datang saja ke rumah sakit pelita. Nanti saya kirimkan nomor kamarnya,” ucap Agnia.
“Iya, Bu. Saya tunggu.” Sarah menutup telepon Agnia.
Agnia langsung mengetik nomor kamar inap Leon. Sepertinya memang ia butuh tenaga Sarah untuk membantu sang ibu bergantian shift karena dirinya akan sibuk hari ini.
***
Pagi sekali Agra sudah berada di kantor pengacara keluarganya. Tekad yang bulat membuatnya tak sabar untuk mengajukan gugatan perceraian. Ia datang dengan penuh emosi setelah sang memperlihatkan foto pria yang menggendong Leon.
‘Selama ini dia telah membohongi aku.’
kalimat itu yang ada di hatinya saat ini. Ia pun berpikir salahnya apa hingga Agnia tega berkhianat padanya.
“Agra, apa kamu yakin menggugat cerai istri kamu?” tanya Pak Abraham.
“Yakin, Om. Kalau saya nggak yakin, mana ada saya di sini hari ini,” jawab Agra.
“Saya tidak ingin kamu menyesal, sebuah perceraian itu tidak main-main. Semuanya harus di pikirkan baik-baik. Apa kamu sudah bicara dari hati ke hati dengan istri kamu?” Lagi Pak Abraham bertanya demi keyakinan Agra.
Pria dengan kumis tebal itu adalah salah satu sahabat ayahnya. Ia pun sangat peduli dengan kondisi anak-anaknya. Terutama Agra yang sedang di timpa masalah rumah tangga.
“Semua sudah jelas, dia berselingkuh dengan adik kandung saya. Belum lagi, dia yang ternyata kembali berhubungan dengan mantan kekasihnya.”
“Hmm ... apa kamu sudah cek kebenarannya dengan bertanya langsung dengan Gio?”
“Mereka mengakui. Gio mengakui jika Agnia merayunya.”
“Hanya sepihak?”
Agra hanya diam memperhatikan Pak Abraham yang sangat ia hormati. Namun, kali ini ia sudah bertekad untuk menceraikannya. Tidak peduli menunggu penjelasan karena semua bukti menjurus pada hal itu.
Pak Abraham akhirnya menyetujui untuk mendaftarkan perceraian Agra dan Agnia. Ia menyayangkan hal tersebut karena Agra menjadi sukses dan lebih baik setelah menikah dengan Agnia.
Setelah semua selesai ia kembali ke kantor karena Hana sudah menelepon untuk menandatangani beberapa berkas. Kembali ia menerima pesan masuk dari Agnia.
[Mas, Leon manggil nama kami terus, tolong, Mas datang]
Agra kembali menyimpan ponsel di kantong baju. Ia bingung harus berbuat apa, satu sisi ia marah dengan Agnia. Namun, ia sayang pada Leon. Ia terus melangkah meninggalkan ruang pribadi Pak Abraham.
***
“Agnia sudah datang?” tanya Jefri.
Aina menaruh berkas di meja Jefri terkesiap mendengar ucapan sang bos. Tidak biasanya dia bertanya tentang karyawan baru.
“Sepertinya dia baru saja datang. Tidak telat, tapi mepet,” jawab Aina lagi.
“Baik, kamu boleh kembali. Panggil dia ke ruang saya!” titah Jefri.
Jefri terus memikirkan Leon. Bahkan ia merindukannya. Lamunannya terhenti saat beberapa orang suruhannya masuk ke ruangan. Ia meminta salah satu dari mereka menutup rapat ruang itu.
“Bagaimana dengan perintah saya?” tanya Jefri.
“Info yang saya dapat adalah Bu Agnia sudah menikah dengan pria yang bekerja di perusahaannya sendiri. Namanya Muhammad Agra dari PT Sumber Waras. Rumah tangga mereka sedang guncang, Pak.”
“Ada lagi?”
“Dia menikah pada usia 19 tahun karena hamil.”
“Agnia menikah dalam keadaan hamil?”
“Iya, kata orang.”
Jefri mengetuk jemarinya di meja. Ia kembali membuka file yang tercatat beberapa klien. Netranya tertuju pada sebuah berkas yang bertuliskan PT Sumber Waras. Ia tertawa kecil, dunia memang kecil, ternyata tidak usah jauh-jauh, pria bernama Agra pun bekerja sama dengan perusahaan miliknya.
“Cari tahu tentang anak yang bernama Leon, kalau bisa hubungi pihak rumah sakit. Saya dan anak itu akan melakukan tes DNA sebelum dia ke luar dari rumah sakit. Tolong kabari saya, secepatnya.”
“Baik, Pak akan saya lakukan. Nanti saya info lagi,” tutur pria dengan jaket cokelat.
Jefri menarik napas lega, ia akan datang siang hari ke rumah sakit saat melihat Agnia sibuk di kantor.
**
Bersambung
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Jefri sudah sampai di rumah sakit untuk mencocokkan DNA dirinya dan Leon. Ia melihat dari kaca ibu Anggun tertidur di sofa dan Leon bermain bersama suster Sarah. Niatnya untuk masuk ke dalam ia urungkan karena takut membuat Bu Anggun bertanya-tanya. Ia kembali melangkah meninggalkan ruang inap.Pria berjas itu langsung beranjak ke ruang di mana dirinya akan melakukan tes DNA. Di sana seorang perempuan sudah menunggunya untuk melakukan tes itu.“Saya sudah mendapatkan darah anak itu, tidak banyak, tapi setidaknya bisa untuk mencocokkan dengan Anda,” ujar wanita dengan baju putih itu.“Baik, terima kasih.”“Kebetulan tadi suster mengambil darah Leon untuk kembali menjalankan tes.”Jefri hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan untuk tes kali itu. Ia meringis saat darahnya diambil. Walau sedikit juga ia masih trauma jika melihat darah di mana saja. Sebelum pulang, Jefri kembali melihat kamar Leon. Anak itu ter
Farha kembali menenangkan sang ayah yang murka saat Jefri datang. Pria tua dengan wajah berkerut itu tak segan melempar sang anak dengan gelas plastik yang ada di meja. Sementara, sang ibu pun ikut memisahkan mereka.“Pa, Jefri bukan anak kecil lagi,” ucap Jefri.“Bukan anak kecil tapi nggak nikah-nikah. Sudah Papa bilang, menikah dan beri aku cucu. Jangan berharap pada artis gadungan itu,” ujar Surya.“Pa, dia punya nama. Bianca namanya.” Jefri membela Bianca.Surya tahu sang anak hanya tinggal menunggu Bianca mengatakan iya. Namun, sampai detik yang ditentukan ia belum juga menikah. Jefri tidak mengerti sampai sang ayah marah besar seperti itu.“Kamu tahu, jika kamu tidak memiliki keturunan laki-laki, harta dan kekayaan perusahaan akan jatuh ke tangan Yoga. Apa itu yang kamu mau?” Surya menaikkan suaranya.Jefri seperti anak kecil yang sedang diomeli ayahnya setelah pulang sekolah. Pak Surya
Jefri memarkirkan mobil setelah sampai di apartemen Bianca. Pria berjas hitam itu dengan mudah masuk ke dalam karena ia yang memberikan apartemen itu untuk sang kekasih. Jefri mengabarkan Bianca jika ia sudah tiba.Bianca menghampirinya Jefri, kebetulan juga ia baru saja datang. Tangannya satu menjinjing makanan dan tangan satunya lagi membawa belanjaan.“Belanja lagi?” tanya Jefri. Netranya tidak berpaling dari kedua belanjaan yang ada di tangan Bianca.“Iya, dong, Sayang. Kamu tahu, kan aku model. Jadi, harus banyak stok baju baru,” ungkap Bianca. Bianca termaksud orang yang begitu boros, banyak barang yang selalu ia beli dan jatuhnya jarang di pakaiJefri tak bertanya lagi, ia langsung masuk ke dalam. Ia menghempaskan tubuh di sofa, sedangkan Bianca mengambilkan minum untuknya.“Bi, aku mau bicara,” ucap Jefri.“Aku juga mau bicara sama kamu, Sayang. Kabar baik, pokoknya.”Jefri memai
“Mama, Papa mana? Kok kita nggak pulang ke rumah Papa?” tanya Leon.Sepulang dari rumah sakit, anak laki-laki Agnia terus bertanyalah tentang ayahnya. Namun, sang ibu mencoba menjelaskan kalau ayahnya sedang ke luar kota jadi mereka sementara menemani nenek Anggun.Leon sedikit kecewa, bicaranya sudah sangat pintar walau masih agak sedikit cadel. Tangannya masih biru bekas cabutan infus, ia meringis saat tak sengaja menyenggol mainan.“Mama, kalau Om itu kapan datang?” Lagi, sang anak bertanya.“Om siapa?” Dahi Agnia berkerut.Agnia menatap sang ibu, ia berharap wanita itu memiliki jawaban. Bu Anggun menghampiri Leon yang bermain mobil-mobilan.“Bos kamu yang di maksud Leon. Kemarin dia datang lagi saat Leon hampir saja mengamuk. Pria itu baik, tapi apa hanya ibu yang berpikiran ini, ya.”“Apa yang ibu pikirkan?” tanya Agnia.“Hanya berpikir jika mereka berdua, L
Agnia di perintahkan ke ruang meeting untuk bertemu dengan seseorang. Ia beranjak ke sana untuk menemui orang itu. Keduanya saling berhadapan.Pria dengan kumis tebal memperkenalkan diri pada Agnia sebagai pengacara yang diutus Jefri untuk mendampinginya di persidangan perceraiannya. Agni sendiri bingung dengan semua yang terjadi begitu saja di hidupnya.Bahkan ia tak berpikir jika akan menggandeng pengacara untuk persidangannya. Sore nanti jadwal sidang pertama.“Tapi saya nggak perlu di dampingi,” ujar Agnia.“Tidak usah menolak. Perceraian kamu harus segera selesai.” Agnia menoleh saat suara Jefri terdengar begitu jelas.Lagi, Agnia dibuat tercengang dengan apa yang dilakukan Jefri. Dirinya hanya bisa terdiam tanpa kata.“Untuk apa semua ini, Pak Jef. Biarkan saya menyelesaikan semua masalah saya. Pak Jefri tidak usah ikut campur.” Agnia menolak semua yang dilakukan Jefri.
Agra mencoba mencari tahu tentang Jefri. Pengusaha muda yang berdiri di dalam sebuah perusahaan megah yang begitu terkenal. Ia pun lebih penasaran ada apa dengan Agnia, bagaimana bisa ia menggunakan pengacara sehebat itu.Pria dengan tubuh tegap itu menatap jalan ibu kita dari jendela kantor. Ia melirik jam di tangan, seperti ada yang terlupakan. Ia merindukan Leon, anak laki-laki Agnia yang selalu membuatnya semangat untuk pulang ke rumah kala itu.Agra kembali membuka pesan Agnia. Ia membacanya pelan, apalagi saat Agnia memintanya untuk menemui sang anak. Namun, ia bersikeras tak mau bertemu.“Bagaimana dia sekarang?” Agra bergumam sendiri.Sekali lagi dia terkejut melihat iklan di ponselnya. Adiknya menjadi brand ambassador perusahaan Gemilang Emas. Semua serba kebetulan dan membuat Agra terkejut.Hana datang memberikan informasi untuk meeting dengan perusahaan Valina Mutia untuk memperebutkan tender besar. Ia berencana a
Jefri memberi semangat karena Agnia memberikan kontribusi besar dengan memenangkan tender siang itu. Sementara, Agra tidak percaya jika dia bisa kalah oleh Agnia yang pikir tidak ada apa-apanya.Hana pun kesal mengapa mereka kalah dalam tender itu. Ia tidak henti mengumpat kesal pada Agnia. Ia pikir Agnia hanya ibu rumah tangga yang tidak bisa apa-apa dan hanya berdiri di belakang laki-laki.Agnia melihat dari kejauhan wajah Hana memerah menahan amarah. Sudah pasti orang seperti dia akan sirik dengan kemenangan Agnia.“Jangan usah dipikirkan lagi, kamu sudah buktikan kalau kamu hebat, Ni. Sayang, pria itu membuang berlian.” Jefri menggenggam jemari Agnia dan melangkah melewati Agra dan Hana.Sekali lagi Jefri berhasil membuat Agra geram sekaligus cemburu. Pria itu menahan diri untuk tidak emosi di depan Hana. Dengan hati yang terkoyak, Agra mencoba melangkah dengan tenang.“Gila, aku rasa dia itu sudah menjadi simpanan