Mereka hanya diantar oleh Papa Bram dan Mama Adelina yang masih terisak. Lalu kedua orang fua Hakam kembali pulang. Faryn yang saat itu sempat melihat ibu mertuanya masih sembab, merasa tidak enak hati.Pasalnya kebohongan Hakam sudah terlalu jauh ia rasa. Ditambah lagi, ia baru menyadarinya sekarang alasan sang mertua bersedih hati. Ia teringat dengan istri muda papa mertuanya.Mungkin saja Mama Adelina merasa ditipu dua kali oleh orang yang ia sayang. Kalau dalam kasus mereka sih memang Hakam berbohong."Kamu nggak masuk?"Saat itu mereka sempat makan siang bersama dan pulang saat menjelang sore. Hakam yang sudah merasa memiliki hak yang sama dengan Faryn, akhirnya memilih membuka pintu lebih dulu."Kamu nggak merasa bersalah sudah membohongi kedua orang tua kamu sampai sejauh ini?"Faryn tidak menoleh. Ia masih menatap ke arah jalanan di mana mobil yang dikendarai mertuanya baru saja berbelok. Hakam diam sebentar. Lalu ia berjalan menghampiri Faryn. Ia berdiri tepat di samping pere
Faryn membiarkan Hakam berbaring di samping seperti beberapa hari yang lalu. Setidaknya hanya itu yang bisa lakukan sebagai seorang istri untuk sekarang."Hakam?"Yang dipanggil hanya menyahut dengan dehaman tanpa berbalik ke adah Faryn. Sepertinya suaminya itu tengah marah karena permintaannya ditolak. Ya wajar saja sih. Memangnya ada suami di luaran sana yang tidak akan tersingung dan marah saat kebutuhannya ditolak oleh sang istri?"Sudah berapa lama?" tanyanyaHakam yang tidak mengerti maksud pertanyaan Faryn, menoleh melalui pundaknya. "Apanya?"Faryn menjelaskan maksud pertanyaannya dengan nada tenang dan datar. "Sudah berapa lama kamu nggak menyentuh wanita?"Karena masih belum yakin memahami pertanyaan itu sepenuhnya, Hakam akhirnya membalik punggungnya dengan posisi terlentang menghadap langit-langit. "Tadi pagi kan aku baru saja menyentuh kamu."Yang dimaksud oleh Hakam sangat berbeda dengan maksud pertanyaan Faryn. Yang ditangkap oleh otaknya, menyentuh dalam artian harfiah
Karena pertanyaannya sendiri, ditambah kalimat terakhir Hakam sebelun pria itu terlelap, Faryn hampir terjaga semalaman. Ia baru bisa memejamkan mata saat akan menjelang pagi. Padahal tubuhnya sudah meronta ingin diistirahatkan.Faryn sudah lama tidak bermimpi. Anehnya, malam ini, saat Hakam resmi menjadi suaminya dengan kewajiban yang membebankan diri Faryn, wanita itu bermimpi.Setelah belasan tahun tidak pernah bermimpi, karena ia tidak pernah benar-benar tertidur pulas, sebuah gambaran samaran datang di bawah alam sadarnya. Makin lama gambaran itu nampak jelas.Ia melihat seseorang berdiri di depan sebuah cermin dengan rambut cepak seperti anak laki-laki. Tubuhnya kecil, mungkin saat itu ia masih duduk di sekolah dasar. Faryn tidak bisa memastikannya itu memang dirinya atau kah orang lain."Lava."Sebuah suara dari jarak yang begitu dekat, membuat jantung Faryn berdegup luar biasa kencang. Ada ketakutan yang menyergapnya meski itu hanya sebuah mimpi alam sadar.Suara panggilan itu
Hakam bertekad tidak akan membiarkan Faryn mendekati Linggar barang sedikit pun. Bukan hanya untuk melindungi keluarga kakaknya, melainkan juga ia yang tidak rela harus berbagi istri pada orang lain.Dan juga melindungi rumah tangganya.Mereka sudah resmi menjadi suami istri sekarabg. Tidak ada alasan lagi untuk Faryn memintanya pergi dan menjauhi urusannya. Urusan Faryn adalah urusannya juga.Hanya dengan memikir kalimat seperti itu saja sudah mampu membuat Hakam terseyum penuh kemenangan. Letak tempat kerja yang berdekatan dan tinggal bersama seperti sekarang benar-benar menguntungkan baginya. Bukan begitu?"Kamu kenapa senyum-senyum terus dari tadi?"Pertanyaan Faryn membuyarkan lamunan Hakam. Senyumnya perlahan menciut. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat lalu mencomot bakwan goreng yanh dibuat oleh Faryn subuh tadi.Seumur-umur baru sekarang Hakam memakan bakwan olahan rumah dengan dicocol saus kacang. Dulu saat sebelum mengenal Faryn, ia sama sekali tidak pernah memakan makanan se
"Terimakasih, ya, traktirannya," ucqp Faryn tulus.Mereka baru saja menandaskan bubur ayam dengan dua porsi ekstra untuk Hakam yang mengaku masih kelaparan.Saat itu terjadi, Hakam sama sekali tidak merasa perlu menjaga imagenya di depan Faryn. Ia yang biasanya berwibawa, dan mengintimidasi kini terlihat seperti pria biasa saja di mata Faryn.Apalagi tingkahnya yang terlihat gugup saat mata mereka bertemu. Faryn malah merasa sedang bertemu dengan anak puber yang sedang malu-malu."Iya, sama-sama," jawab Hakam sambil setengah menunduk. Matanya menatap lurus pada air yang memantulkan cahaya matahari pagi di hadapan mereka.Karena pujian yang dilontarkan oleh Faryn, pipi Hakam bersemu yang menjalar hingga ke telinga. Bahkan setelah beberapa waktu berlalu, di saat mereka selesai makan, dan kini hanya duduk-duduk menikmati pemandangan danau buat di bawah pohon rimbun, jantung masih saja berdetak cepat seperti tadi.Ia masih salah tingkah saat beberapa kali bertatapan langsung dengan manik
"Faryn, aku lapar lagi," keluh Hakam begitu mereka tiba di rumah.Setelah menanyai masalah bulan madu dan tujuannya, Faryn sedikit merasa risih pada suaminya. Ia pikir yang ada dalam otak Hakam hanya sebatas di atas ranjang. Namun, semua terbantahkan ketika mereka sudah di rumah.Isi kepala lelaki itu hanya makanan.Sejak awal menumpang sampai menjadi seorang suami, Hakam lebih banyak membahas makanan dibanding urusan lain. Padahal lelakinya itu sudah menghabis tiga mangkuk bubur ayam dan beberapa gorengan. Dan sekarang pria ini mengeluh lapar?Yang benar saja!"Lalu?" ujar Faryn sembari mengambil segelas air putih. Perjalanan pulang mereka tidak lagi dengan berlari. Namun menaiki motor dengan memesan ojek online.Mereka sudah terlalu lelah untuk berlari lagi dan juga matahari semakin memanas menjelang siang."Aku ingin makan mi goreng dua bungkus ditambah dengan sayuran dan telur mata sapi di atasnya dan taburan bawang goreng asli bukan bawaan dari bumbunya," kata Hakam sambil mereba
"Aku kira kamu masih single. Ternyata sudah punya tunangan."Hakam yang temgah membaca laporan di ruang kerjanya, mengangkat kepala. Sosok Davina sudah berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Hakam tersenyum tipis, lalu berkata, "Ya, begitulah." Ia kira setelah menjawab seadanya, pemilik restoran itu akan berlalu meninggalkannya. Rupanya malah Davina masuk dengan langkah anggunnya dan duduk di kursi di depan meja Hakam."Linggar nggak pernah bilang kalau kamu sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah," ucap Davina sedikit kecewa.Hakam masih tersenyum tipis saat menjawabnya. "Mungkin Linggar kira itu bukan suatu informasi yang penting."Davina menggeleng. Punggungnya bersandar santai di punggung kursi. "Justru itu adalah informasi paling penting untuk aku."Sebelah alis tebal Hakam terangkat. Ia mencoba menerka maksud perkataan Davina. Akhirnya ia memahaminya. Mungkin maksud sang pemilik, jika orang yang dipekerjakannya akan menikah, Davina tidak a
Suara ketukan di pintu depan, mengambil alih perhatian Faryn dari televisi yang sedang menayangka sebuah film. Matanya melirik sekilas pada jam dinding. Mungkin Hakam sudah pulang. Hanya saja ia tidak mendengar suara mobil kantornya.Faryn mengelap tangannya dengan tisu setelah menelan kue nastar dan berjalan menuju pintu. Ketukan kembali terdengar saat kakinya sudah hampir sampai di ambang."Iya, sebentar," sahutnya meski tidak ada yang memanggil.Tangannya memutar kuci lalu membuka pintu. Ia kira suaminya yang datang. Namun, ternyata Linggar yang berdiri di depan pintu rumah dengan wajah lesu dan dasi yang sudah mengendur."Linggar," panggil Faryn kaget. Kepalanya celingukan ke balik punggung suami dari Lintang. Barangkali pria ini datang bersama anak dan istrinya.Nihil.Linggar datang seorang diri di jam yang hampir larut seperti ini. Meski lingkungan rumahnya mulai sepi saat sore, tetap saja rasanya khawatir jika ada yang melihat Linggar bertamu ketika sang suami tidak ada atau b