"Sedari awal tak ada keinginan untuk diselamatkan! Kenapa juga harus diselamatkan? Aku ... aku tak lagi ingin menaruh harapan pada siapapun di dunia ini. Karena semuanya akan hancur, dan aku akan kembali sendirian," tuturku mendongkak ke arah langit malam yang terasa begitu gelap.
Aku benar-benar tenggelam, tanpa ada keinginan untuk mengawasi gerakan dari pria tertua di keluarga, Nelions Herbert. Puas mendongkak ke arah langit, kini aku menoleh ke arah Nelions yang dipanggil Neon ini terdiam dengan mata berkaca-kaca ke arahku.
Tangan kanannya menutup bibir. Aku mengangkat sebelah alis sembari memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa ekspresimu itu? Kaumengira aku Pengemis yang meminta perhatian untuk hidup? Aku tak memerlukan ekspresimu, karena yang kuperlukan saat ini adalah sebuah akhir dari cerita," sindirku bergetar.
Kenapa dia menampilkan ekspresi seperti itu, ketika aku sudah tak lagi berharap apa-apa pada dunia? Kenapa harus sekarang, padahal sebelumnya aku terus berharap dan berharap padanya. Namun, tidak ada satu pun tangan yang terulur untukku.
"Jangan!" teriaknya menarik tanganku untuk tak melangkah ke tengah jalan.
Langkahku langsung terhenti. "Lepaskan!" titahku tegas, menatapnya dengan ekspresi dingin. Sampai kapan Tuhan akan terus mempermainkan takdirku seperti orang bodoh ini? Lelah merelung pada setiap sudut jiwa, setiap kali memikirkannya.
"Aku hanya ingin beristirahat tanpa ada lagi yang mengganggu ... tanpa ada lagi yang mengabaikanku." Hancur sudah pertahanan untuk tidak menangis. Semua perasaan tumpah dalam bentuk bulir air mata.
"Aku lelah! Tempatku beristirahat sudah tak lagi ada! Ha–harapanku pun hancur bersamaan dengan waktu kepergiannya. Sebelum itu, adakah ka–kalian pernah memperlakukanku layaknya manusia?" sambungku pelan, terbata-bata sambil terisak.
Aku menepis tangannya tanpa perasaan, dan langsung berlari ke arah sebuah mobil besar yang melaju kencang. Neon ingin menghentikanku, tapi kali ini tak akan bisa. "Jangan! Kumohon jangaan!" teriaknya berusaha meraih jariku.
Brakk! Aku mendorong tubuhnya menjauh, bersamaan dengan rasa sakit yang dihantam oleh mobil besar dengan kecepatan tinggi. Bisa terasa, tubuhku melayang dengan rasa sakit yang mungkin dirasakan juga oleh Fero, ketika dia menyelamatkanku.
Tubuhku kemudian terhempas ke tanah, dan terseret sambil berguling beberapa kali. Teriakan-teriakan kembali terdengar, sama persis seperti Fero dan aku sebelumnya. Kali ini orang-orang hanya menonton, juga merekam.
Semakin lama, rasa sakit semakin terasa, disertai pandangan yang mulai berkunang-kunang. Tak ada rasa kecewa ketika melakukan ini, walau sakitnya begitu menyiksa. Sudut hatiku malah terasa lega.
"Nia! Nia, jangan tidur. Aku mohon!"
Suara khawatir terdengar, dengan tangan hangat yang mulai menggenggam tangan kananku. Bau amis perlahan tercium, pakaian terasa basah dengan cairan merah yang menggenangi tubuhku.
Berusaha menoleh ke arah suara itu. Neon dengan wajah meminta dan khawatirnya memegang telapak tangan, sambil meminta-minta agar aku tak menutup mata. Menggerakkan jari, ada sedikit tenaga. Langsung saja aku menepis tangannya.
"A–aku mem–ben–cimu, ju–ga me–reka," ungkapku dengan napas terbata-bata. Aku sudah mulai sulit untuk bernapas, tubuhku melemah. Rasa kantuk juga mulai menyerang kelopak mata agar merapat.
"Apa yang terjadi di sini? Neon! Cepat bawa dia ke mobilku!" suara tegas dari seorang pria paruh baya yang tetap tampan. Tak lain adalah Papa. Seorang figur ayah yang sama sekali tidak memperbolehkan kata papa terucap dari bibirku.
Orang pertama yang selalu memberikan punggung dingin, saat aku meminta bantuan. Kemudian aku melirik pada Neon, yang menyusupkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuhku yang tergeletak tak berdaya dalam genangan darah.
Aku tak ingin diselamatkan oleh siapapun, bahkan untuk orang yang sebelumnya sangat aku dambakan untuk menjadi penyelamat utama. Menggunakan kekuatan yang masih ada, aku kembali menepis dan menghalangi tangan Neon agar tak menyusup ke bawah punggungku.
"Bi–biarkan aku per–gi, ja–ngan menyelamatkan a–tau beru–saha peduli pada–ku." Terbata-bata nada itu terucap dari bibirku.
"Diam! Jangan banyak bicara atau bergerak!" teriaknya yang menyingkirkan tanganku, kemudian mengangkat tubuh ke dalam mobil, sambil memangku. Beberapa saudara yang lain juga berkumpul di sana.
Raut wajah mereka terlihat sangat dingin. Namun, aku bisa melihat secercah tatapan hangat yang sebelumnya menjadi harapan, agar aku menjadi lebih semangat ketika menaklukkan hati mereka, tapi kini, aku menyerah.
"Ada apa dengannya?" tanya paman yang juga ada di mobil.
Aku melupakan hari ini, hari di mana jadwalnya mereka untuk liburan bersama penuh kebahagiaan, tanpa adanya keberadaanku dalam kebahagiaan mereka itu. "A–ku tak a–da pe–nye–salan kepada, kalian," ungkapku terbata-bata.
Tubuhku semakin melemas, sementara pandangan mulai didominasi warna gelap. "Sela–mat ting–gal, te–rima ka–sih atas se–muanya." Setelah mengucapkan kata itu, pandanganku menggelap tanpa ada cahaya.
Di tempat lain ....
"Hei, bangunlah wanita Pembawa Sial!" aku mengerutkan kening, ketika ada suara perempuan yang terdengar marah. Berusaha tak mempedulikan itu, tapi sayangnya gagal, karena kemudian, wajahku diguyur oleh air dengan jumlah banyak, hingga sempat kemasukan air ke dalam saluran pernapasan.
Aku langsung membuka mata. Melihat seorang pria tampan dengan tatapan yang begitu familiar. Padahal wajahnya asing. Namun, entah kenapa, tatapan itu begitu tak asing di ingatanku. Kemudian, tanpa peringatan, ingatanku memutar bagian di mana tatapan yang diberikan oleh Ayah, Kakak dan Saudara-saudara lainnya sinis, terlihat sarat akan kebencian.
Tubuhku bergetar. Napasku tersengal-sengal. "Heh, kau bangun juga akhirnya. Dengar ya, hari ini, kamu ikut dengan kami ke sebuah acara. Jangan melakukan hal yang mempermalukan nanti!" sindir seorang perempuan yang berdiri di samping pria tampan ini.
Aku mengerutkan kening dan menatap mereka polos. "Tu–tunggu! Si–siapa kalian?" tanyaku terbata-bata, bangkit dari posisi tidur, dan memegang kening yang terasa pusing. Tetapi tetap menatap keduanya penuh tanda tanya.
Suara decihan kemudian terdengar dari pria tampan di belakang perempuan ini. "Jangan banyak drama, cepat bersiap-siap untuk ikut ke acara pembasmian. Bukannya ini keinginanmu?" ketusnya sinis.
Aku terdiam menatap pria itu dengan kerutan yang bertambah di kening. Kita tak pernah bertemu, tapi dia seperti sangat membenciku. Puas meneliti wajahnya, aku mengedarkan pandangan ke sekitar.
Ruangan kotor dan berdebu, dengan dekorasi dari kayu yang terlihat akan hancur dalam satu kali pukul. "Ini ... bukan rumah sakit? Aku masih hidup?" gumamku pelan, tak percaya dengan apa yang kulihat.
"Hei? Kamu mengira kalau dirimu sudah mati? Jatuh dari lantai dua, dan terguling di tangga aja harus dibawa ke rumah sakit. Memang kami ini ATM berjalan? Ingatlah statusmu yang hanya Istri Kedua," ketus si pria.
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang