Share

Waktunya Pergi

Author: Cahaya_Perak
last update Last Updated: 2022-05-21 18:35:19

"Maaf Nona, tapi tolong terimalah kenyataan. Saya tahu ini semua berat untuk Anda ditinggal orang yang terkasih. Namun, tolong jangan membuat pihak lain ikut merasa berat dan kesusahan!"

Aku terdiam mendengar kalimat pria dengan jas berwarna putih ini. Sekarang semua mengetahui, tak ada yang mau berdiri di sisiku kecuali Fero. Tak ada yang mau meraih tanganku kecuali Fero. 

"Sungguh saya tak berharap apa-apa darimu, ataupun dari-Nya, tapi bisakah aku meminta satu hal. Biarkan dia tetap di sini, biarkan aku bersama dengan Fero sedikit lebih lama," pintaku menengok ke arah Fero yang terbaring kaku. 

Dokter di hadapanku ini terdengar menghela napas pasrah. Aku menengoknya, dia melangkah keluar pergi dari ruangan. "Saya hanya memberikan Anda waktu sedikit lebih lama, jika kemudian Anda meminta untuk waktu lebih lama, saya mohon maaf, itu tidak bisa saya lakukan!" tegasnya berhenti melangkah, ketika pintu terbuka.

Aku mengangguk sebagai tanda terima kasih atas waktu yang lebih lama ini, setelah itu, hanya ada bunyi pintu yang tertutup secara perlahan. Suasana diiringi keheningan. Kembali aku mendekat ke brankar Fero.

Meraih jari-jemarinya yang pucat, aku kecup punggung tangan itu, dan menggerakkan telapak tangannya untuk menempel pada pipi. Menutup mata untuk menghayati elusan telapak tangan kaku ini, dan mencoba mencari kehangatan di setiap gerakannya. 

Fero ... aku tak tahu harus berkata apa. Satu hal yang kuingin untuk saat ini adalah, terus bersama denganmu. Membuka mata menatap wajahnya dengan ratapan pilu nan sayu, kukecup lagi telapak tangannya. 

"Fero ... aku ingin menangis, tapi tak bisa. Aku tahu, setelah ini tak bisa lagi kita bertemu dan menggenggam tangan satu sama lain, mengelilingi pasar malam sambil bermanja. Namun, bolehkah aku meminta satu hal darimu. Datangi aku di mimpi ... jika boleh, lakukan setiap malam," lirihku menggerakkan kepala agar terlihat seperti dielus, sambil memejamkan mata. 

Rasa sakit kembali terasa, tapi bukan pada fisik. Melainkan hati, seperti diremas dan dihancurkan, kemudian ditinggalkan tanpa ada perbaikan untuk bisa dipulihkan kembali. Mencoba memuaskan diri hanya dengan elusan pada pipi. Aku membuka mata.

"Untuk selanjutnya, aku tak akan berharap pada pria lain. Aku tak ingin ditinggalkan untuk kesekian kalinya oleh orang yang kusayang," sumpahku pelan, membuat janji yang langsung terucap dari lubuk hati.

Ceklek! Suara gagang pintu berputar, aku menengok ke asal suara. Melihat dokter itu kembali dengan beberapa suster di belakangnya. Mengukir senyum terpaksa, aku bangkit dari posisi elusannya, dan berjalan melewati dokter.

"Dok, tolong beritahukan pada kedua orang tua kekasih saya. Saya meminta maaf." Setelah mengatakan itu, langsung saja aku mempercepat langkah keluar rumah sakit. Pandanganku berkaca-kaca.

 Memejamkan mata dengan cepat, berharap agar bulir cairan bening ini tidak turun. Namun, bukannya berhenti, tapi, semakin kencang ketika kembali berusaha untuk membuatnya tidak turun. 

Membuka mata, dan kemudian berbelok ke lorong di samping kanan. Aku melihat sebuah pintu keluar. Menghentikan gerakan berlari, aku mulai berjalan dan menarik pintu kaca itu, lalu keluar dengan rasa sakit yang mengiringi setiap langkahku yang menjauh dari rumah sakit.

Berhenti di sebuah toko kaca yang transparan, aku melihat bayangan diriku dengan pakaian compang-camping. Persis sudah seperti gembel pinggir jalan. Memang inilah hidupku, begitu banyak celah yang tampil pada dunia, karena baru saja kehilangan alasan untuk terus bertahan. 

Ingin aku tertawa melihat penampilan diriku yang tampil dalam cermin itu. Mengepalkan tangan dan menunduk, sambil kembali berjalan. "Aku memang tak pantas untuk hidup bukan, semua berkorban hanya demi aku. Padahal ... tak ingin kulanjutkan untaian benang takdir yang menjulur entah ke mana ini."

Apa yang bisa aku lakukan sekarang? Berhenti melangkah, dan melirik ke arah mobil yang sedang melaju di jalanan. Sebentar lagi, mobil itu akan lewat dengan kecepatan tinggi. Menatap kedua telapak tangan sebentar, kemudian mengepalkannya. 

"Fero ... tak lagi ada alasan untuk terus melanjutkan kehidupan ini. Harusnya, kau tak pernah berkorban untukku," gumamku pelan, melangkah ke jalanan di mana mobil akan lewat sebentar lagi.

"Awaaas!"

Teriakan dan teriakan terdengar menggema sampai ke telingaku, bahkan klakson dari mobil yang akan menabrakku. Kedua kakiku bergetar, merentangkan tangan dan mendongkak ke arah langit. "Maaf," lirihku dengan bulir cairan bening yang menumpuk di sudut mata.

"Tidaakk!" sesaat sebelum mobil itu menabrakku, sebuah tangan terulur menggenggam jari-jemari tangan kanan. Begitu aku menoleh, aku tersentak, bersamaan dengan sebuah tarikan dari tangan orang yang membenci keberadaanku.

Brakk! Dalam sekejab, tubuhku langsung berada di atas tubuh pria dengan posisi erotis. Aku terdiam tak bisa berkata-kata, tapi, kedua tanganku mengepal di atas dada pria ini dengan mata berkaca-kaca.

"Apa kau gila! Kenapa bisa-bisanya kau berdiri di tengah jalan seperti orang yang putus asa!" teriaknya dengan ekspresi wajah khawatir. Kepalan kedua tanganku semakin mengerat melihat responsnya itu. 

Dia terlihat seperti orang yang khawatir dan takut kehilangan. Sebelumnya, jangankan untuk khawatir atau takut. Peduli saja tidak. "Kenapa ... kenapa kau menunjukkan ekspresi seperti itu?" tanyaku terbata-bata menahan tangis yang ingin keluar.

"Sial! Aku tak pernah mengkhawatirkan atau takut untuk kehilanganmu sedikitpun!" suaranya terdengar meninggi, sambil menggerakkan tangan untuk menyingkirkan tubuhku yang menindihnya dengan posisi erotis. 

Tangan itu bergerak dengan lembut. Ekspresi wajah yang tadi tampil menghilang menjadi datar. Tubuhku yang terduduk di samping, dengan kepala yang mendongkak menatap ekspresi tajamnya itu benar-benar membuatku berpikir dua kali.

Tak mungkin orang sepertinya akan memasang wajah seperti itu. Bangkit dari posisi terduduk, aku kembali melangkah ke tengah jalan untuk memasang tubuh di tengah jalan, agar bisa ditabrak hingga tak lagi bernyawa. Namun, sebuah tangan kembali menarikku ke dalam pelukannya.

Kali ini, ekspresi marah, takut dan khawatir benar-benar bercampur di balik sorot mata tajamnya itu. "Apa kau gila! Aku sudah menyelamatkanmu dari kematian, tapi kau masih saja kembali ke depan sana untuk mati!" teriaknya menunjuk jari tepat di hadapanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   58. Sekali Dayung, Dua-Tiga Pulau terlampaui

    Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   56. Keluarga Fero (57)

    Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   55. Malam Fero

    "Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   54. Roland

    Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   53. Leon

    Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si

  • Jadi Istri Kedua CEO Dunia Monster   52. Kembali

    "Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status