Aku terdiam mencerna kalimat ketus yang mengesalkan dari pria ini. Istri Kedua? Jatuh dari lantai dua dan terguling di tangga? Ini benar-benar berbeda dari apa yang sebelumnya terjadi padaku!
Bukankah aku menabrakkan diri pada mobil, dan dibopong untuk dibawa ke mobil, oleh saudara yang enggan untuk mengakuiku itu. Begitu sampai di mobil, aku mengucapkan perpisahan terakhir, dan akhirnya semua menggelap. Aku sangat yakin akan hal itu!
Berhenti mengedarkan pandangan, dan menatap pria asing di depanku ini. Aku mulai bertanya ; "Tunggu! Apa maksudnya saya istri kedua? Jatuh dari tangga pula." Alisku terangkat sebelah, ketika kalimat itu terucap.
Pria tampan yang mulutnya luwes di hadapanku ini tersentak kecil, dia mengerutkan kening, kemudian menolehkan kepala menatap perempuan cantik bergaun merah gelap di sampingnya, seperti sedang bertanya melalui isyarat. Perempuan dengan gaun merah di sampingnya itu pun mengangkat kedua bahu, dan alis di saat bersamaan. Seperti jawaban tidak tahu dan tidak peduli.
"Kau betul-betul gak ingat kami?" tanya si perempuan bergaun merah itu, dengan alis terangkat sebelah. Aku mengangguk sebagai jawabannya.
Perempuan itu langsung melirik ke arah pria tampan dengan mulut luwes ini. Bibirnya memahat senyum smirk, dan itu membuat perasaanku benar-benar tidak enak, seperti ada yang mengganjal di hati.
Mungkin, puas saling bertatapan. Keduanya kembali menatapku. Si perempuan kembali melirik, dan kemudian berkata ; "Honey, aku ingin bicara berdua dengannya secara privat. Kamu bisa keluar sebentar gak?" tutur si perempuan dengan nada bertanya, yang dilembut-lembutkan.
Pria tampan yang mulutnya luwes ini mengangguk, dia melirikku tajam, seakan memberi kecaman ; Kalau aku tak boleh macam-macam dengan perempuan ini, atau aku akan berakhir di tangannya. Setelah itu, dia melangkah keluar, tanpa banyak bacot.
Ceklek! Tepat ketika suara pintu itu tertutup dengan rapat, ekspresi lembut dari perempuan bergaun merah ini langsung berubah menjadi ilfeel, dan jijik bagai melihat serangga. Dia berjalan mendekat, kemudian mencengkram kedua sisi pipi, hingga bibirku maju ke depan layaknya bebek.
"Hei Jalang, kau benar-benar pintar berakting ternyata. Aku hampir tertipu dengan akting yang terasa nyata itu," tuturnya dengan nada rendah, sambil menjeda kalimatnya. "Sekali lagi aku peringatkan, untuk yang terakhir kalinya. Jangan pernah mencoba berpikir, kalau kamu bisa merebut perhatian Rafeon dariku," sambungnya menatap tajam.
Aku bungkam tanpa berkata-kata. Tubuhku tiba-tiba bergetar ketakutan, padahal aku sama sekali tidak takut padanya. "Mau tau kenapa?" tanyanya. Entah apa yang dia bicarakan, aku manggut-manggut.
Senyum smirk kemudian terukir pada bibirnya. Dia langsung melepaskan cengkraman pada pipiku, kemudian menarik tanganku untuk jatuh di atas tubuhnya. Suara gebrakan tubuh yang terhempas ke lantai pun terdengar keras. "Karena kau, tak akan pernah bisa menang dariku," sambungnya menyeringai.
Dia kemudian mengayunkan tangan untuk menampar pipi sendiri, dengan kuat, hingga suaranya menggema di kamar. Senyum licik tertangkap oleh mataku sesaat, lalu dia menutup mata dengan lengan. "Ku–kumohon, ja–jangan siksa aku, a–apa salahku padamu? A–aku hanya ingin menjelaskan ingatanmu kembali, ta–tapi, kamu memukulku." Suaranya meninggi.
Aku masih terdiam mencerna apa yang terjadi pada saat ini. "Apa yang kau lakukan pada Riana!" sebuah teriakan langsung pecah, ketika pintu terbuka. Menampilkan seorang pria tampan dengan mulut luwes melangkah mendekat, sambil mengepalkan kedua tangan. Pupil matanya terlihat mengecil, menatapku dengan tajam.
Plaakk! Tangannya terangkat ke atas, dan kemudian jatuh mendarat pada pipiku dengan keras. Hingga suara tamparan menggema keras. Tak sampai di sana, pipiku terasa perih dan panas, ditambah, tubuhku terasa melayang di udara.
Brakk! Ternyata, tubuhku terhempas ketika dia menampar dengan tenaga yang sangat kuat. Pandanganku mulai berawan. Tubuhku mati rasa, tergeletak di lantai, dan hanya bisa menatap pria itu yang memangku si perempuan licik bergaun merah, dengan sangat lembut.
"Apa kamu tak apa? Pipimu bengkak." Nadanya terdengar begitu lembut, hingga aku merasa sangat iri dalam hati. Andai Fero ada di sini, mungkin dia juga akan ikut heboh ketika posisiku tergeletak tak berdaya di lantai seperti ini.
Semakin lama, pandanganku semakin buram. Hingga akhirnya aku pingsan. Namun sebelum itu, aku bisa melihat senyum sinis yang terlihat jelas, jika mereka berdua membenciku. Tatapan mereka seperti mengartikan, kalau mereka bisa membunuhku dalam satu gerakan.
Menitikkan air mata terakhir sebelum kesadaranku hilang. Aku merasa ingin berteriak, bahwa aku sangat merindukan Fero. Dan sangat ingin merasakan pelukannya untuk saat ini. Dengan hati remuk redam tanpa daya. Semua pandangan yang ditangkap olehku menghilang, dan dipenuhi oleh kegelapan.
***
"Nia!" intonasi merdu yang familiar terdengar memanggilku dengan lembut. Aku tahu siapa pemilik suara itu, dan membuka mata dengan paksa. Kemudian mencari si pemilik suara.Mendapatkan sosoknya, pandanganku kembali dipenuhi oleh awan. Sosok pria ... tidak, remaja dengan pikiran dewasa yang begitu aku rindukan dalam denting waktuku.
Padahal, rasanya baru saja dia tinggalkan. Tapi bagiku, waktu itu sudah berlalu sangat cepat dan lambat. Seakan menikmati masa, di mana aku tersiksa ketika menunggu sahabat ... eh, tidak! Kekasihku, walau hubungan di antara kami ini ambigu, dan terhalang oleh alam yang berbeda.
Masih tak percaya akan sosoknya yang berdiri di hadapanku, aku mencoba memanggilnya ; "Fero?" nada bertanya yang tumpat karena terus mendamba.
Pria ... tidak, kami masih remaja. Remaja yang berada di hadapanku ini mengangguk, sambil memahat senyum lembut, seakan siap untuk memahami semua masalahku, dan menjadi sandaran untukku.
Tangisku langsung tumpah, dan berdiri dengan menggunakan kedua tangan untuk menyangga, lalu bergerak melekap tubuhnya dengan erat. "Menangislah sepuasmu, tapi nanti, jangan menyisakan air mata lagi."
Hancur sudah semua pertahananku, ketika kalimat lembut yang khas darinya kembali memperdengarkan kata-kata itu. "Ka–kau jahat! Me–meninggalkanku se–sendiri!" keluhku terisak-isak.
"Maaf," balasnya lembut mengelus punggungku dengan penuh kasih sayang. "Tapi, aku juga marah padamu. Bagaimana bisa kau menyia-nyiakan pengorbananku?" sambung Fero membuat tangisku menjadi pelan.
Aku melepaskan pelukan di antara kami. Kutatap matanya dalam, lalu menunduk seraya menangis pelan. "Ma–maaf a–aku su–sudah tak kuasa lagi, sa–saat kamu pergi," balasku mengusap bulir cairan bening yang tumpah menyusuri pipi.
Suasana menjadi hening, setelah aku puas menangis. Aku terus menunduk, sementara Fero tetap betah menatapku dengan senyumnya yang bisa membuat kaum hawa lainnya meleleh, dalam sekali melihat.
Terkadang, aku mencuri pandang padanya sembari sesenggukan khas orang sehabis menangis. "Jangan seperti itu, kau bisa menatapku sepuasnya tanpa pajak atau biaya!" tutur Fero yang kemudian terkekeh.
Wajahku langsung terasa panas, ketika tahu kalau dia menyadari aku yang suka mencuri pandang. "Lania," panggil Fero.
Entah ini sekadar kebetulan atau memangnya ada di sana. Seekor Tupai kemudian terlihat meloncat-loncat dari pohon yang cukup jauh itu. "Woah! Tatapan Nona Cantik tajam! Itu betul-betul Tupaai! Ini pertama kalinya Leon liat Tupai langsung!" seru Leon dengan nada kegirangan. Hufft! Aku hanya bisa menghela napas lega secara diam-diam ketika mereka percaya kalimatku barusan. Aku melirik panel yang menampilkan 'Dual Mission' tadi. Tidak ada jalan lain selain menerima-nya.Aku tak ingin ada Meqsesa lain di dunia ini. Cukup biarkan dunia modern ini berjalan dengan semestinya tanpa ada gangguan. Jariku pun bergerak menyentuh tombol 'iya' yang melayang di udara.[Notifikasi! Anda menerima 'Dual Mission'!]"Apa kau benar-benar yakin ingin pergi sendiri-an? Ini sudah mau malam. Rasanya, tidak baik bagi perempuan sepertimu yang masih gadis untuk keluyuran," tanya Roland memastikan sekali lagi.Aku tersenyum dan mengangguk dengan tegas sambil berkata, "Iya. Lagi pula, aku memiliki sesuatu yang pe
Secara otomatis, ingatan-ingatanku menerawang pada masa di mana kami masih bermain dan berseko-lah di SMA. Ah iya, SMA. Tiba-tiba aku teringat dengan SMA yang sebelumnya aku tempati untuk belajar dan menuntut ilmu. Aku masih belum lulus dari SMA. Bisa dibilang hampir lulus. Malam ketika aku dan Fero ditabrak oleh mobil. Itu adalah malam perpisahan. Tak terkira kalau kami akan benar-benar berpisah sampai beda dunia. "Kenangan yang menyakitkan, sekaligus menye-nangkan untuk diingat. Fero," gumamku mendongkak ke atas sambil terkekeh pelan.Langit mulai berwarna jingga kegelapan, tanda malam akan menghiasi cakrawala. Aku segera berdiri. "Aku tak bisa berlama-lama di sini, ini waktunya aku pergi," ungkapku tersenyum dan berbalik menatap Roland dan Leon yang hanya menunggu di pintu masuk makam.Mendekat ke arah mereka, aku membungkukkan badan sedikit. "Sebelumnya, terima kasih karena telah mengantar saya sampai di sini. Sekarang saya tak lagi ikut dengan kalian, sebab ada yang harus say
"Papa memang mengenal Nona ini. Nama nonanya adalah Lania. Tapi, Nona ini adalah pasien Papa yang diceritakan setiap malam itu. Pasien yang kabur dari rumah sakit," jelasnya membuatku melototkan mata malu ke arahnya. Bagaimana bisa dia menceritakan kebohongan besar seperti itu!"Itu bohong! Hei Dokter, sejak kapan aku kabur dari rumah sa–kit." Semakin mendekati akhir, kalimatku semakin nadanya terdengar ragu-ragu karena aku mengetahui alasannya. Waktu itu, setelah menangis dan meminta waktu untuk berdua saja bersama Fero yang telah tidak bernyawa. Aku berlari keluar dari rumah sakit. "Kaumengingatnya bukan? Waktu itu kauberlari sangat cepat, hingga para satpam tak mampu mengejarmu," jelas Roland diakhiri dengan kekehan pelan.Pipiku langsung terasa panas, seakan sedang dikukus di tempat tertutup dengan suhu tinggi. "Sete-lah dia berlari keluar. Nona cantik ini hanya kembali dengan keadaan koma, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Mi ...." Direktur Roland tak melanjutkan kalimatnya, dia m
Lagi dan lagi, aku kembali menahan rasa gemas luar biasa agar tidak membuat pipi itu menjadi korban dari keegoisan jari-jemariku. "Mau Nona gendong atau jalan sendiri?" tawarku tersenyum lembut."Leon mau digendong!" serunya dengan mata berbinar yang lucu, dan tangan yang melebar seakan sudah siap untuk digendong. Di dalam hati aku mengeluh, sampai kapan akan menahan rasa gemas ini setiap melihat tingkah Leon yang imut ini? Kemudian, aku segera mengambil dia ke dalam gendonganku dan berjalan menuju lift menuju lantai empat, tempat direktur rumah sakit berada. Sampai di lantai empat. Tak seperti yang kuperkirakan sebelumnya, tempat ini cukup sepi. Mengikuti arahan seperti yang dikatakan oleh resepsionis tadi. Aku berhenti melangkah di depan pintu yang memiliki papan nama 'Direktur'. "Leon, jangan nakal ya di dalam. Nanti kena marah sama orang yang duduk di dalam. Nanti kamu gak dibolehin masuk rumah sakit lagi," pesanku mengusap kepala dan mencium pipinya.Aaakk! Akhirnya bisa j
Menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan, aku menguatkan diri untuk melangkah mengi-tari bangunan, menuju bagian depan tempat pintu masuk terpasang. Di depan pintu rumah sakit, beberapa orang terus menerus menatapku tanpa henti. Itu membuatku merasa sedikit risih. "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" Aku bertanya pelan pada diri sendiri sambil mendo-rong pintu untuk masuk. [Notifikasi! Bisa dibilang seperti itu. Kecantikan Anda saat ini berada di level Siren, yang berada di bawah tingkatan Dewi Cariella sendiri. Jika di Bumi ada alat untuk mengukur kecantikan, maka Anda adalah pemenangnya!]Aku tersentak ketika membacanya, lalu melihat ke sekeliling. Semuanya masih menatapku dengan tatapan itu. Mau tak mau, aku sedikit bergegas mendorong pintu rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Mempercepat langkah mendekat ke arah resep-sionis, aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang di dalam sini juga sama. Mereka menghentikan kegiatan dan terus menatapku. Aku kembali menatap si
"Ta–tapi ini tugas kami Queen," tolak salah satu prajurit secara halus. Aku langsung menatapnya, begitu juga dengan Queen of Siren yang berada di sampingku. Melirik ke arah wajahnya, dia tersenyum lembut. "Baiklah. Buka Palatium Maris-nya, aku hanya akan membantu kalian," usulnya menawarkan cara lain. "Seperti yang Anda pinta, wahai Queen kami!" tutur para prajurit Siren dengan nada riang. Diam-diam aku tersenyum tipis melihat mereka. Terlukis jelas ekspresi bahagia mereka, saat Queen mau memahami dan memberikan usul yang adil. Bersamaan dengan itu, aku juga miris melihat-nya. Bagaimana tidak? Queen sebelumnya menjelas-kan padaku secara langsung, bahwa hidupnya tak lagi lama. Makanya dia mencari seorang pewaris atau sebutannya Heres agar tak khawatir lagi, jika nanti dia pergi secara mendadak. Alunan mantra dengan bahasa yang tidak ku-pahami mengalun. Lingkaran sihir muncul di per-mukaan gerbang besar berwarna putih bersih ini. Gerbang yang diberi nama Palatium Maris atau Gerbang