Kemarin, haji Sabrun yang ingin ditemui Mayang tak berada di rumah. Wanita tersebut hanya menitip pesan pada anaknya untuk datang lagi hari ini. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, Mayang sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah pemilik kontrakan tersebut. Rambut ikal panjang wanita itu sengaja ia gelung lebih tinggi, leher jenjangnya sengaja ia tutupi dengan sehelai selendang biru.Selain itu, hari ini Mayang juga sedikit bersolek, celak hitam ia kenakan pada kelopak dan bagian bawah mata untuk mempertegas garisnya. Lipstik merah tak ketinggalan juga ia poles pada bibir ranumnya. Belakangan, Mayang jarang menggunakan alat rias tersebut, ia terlalu sibuk mengurus pekerjaan rumah serta merawat Liyah dan bayinya. Jadi, ketika kembali berdandan, saat ini ia merasa wajahnya semakin bersinar saja. Terlebih semalam, Mayang usai mendapatkan bayi baru lahir di ujung desa. Tepat saat wanita itu keluar dan hendak mengunci pintu, terdengar suara seorang lelaki mengucap salam. Mayang ta
Tahun 2007"Kamu benar-benar yakin Wi?" tanya Nyai yang masih ragu dengan keputusan anak gadisnya. Telapak tangannya yang terasa dingin mengelus lembut punggung putrinya yang duduk membelakangi. Dewi yang sedang mengemasi pakaiannya berhenti sejenak, ia berbalik, kemudian bibirnya menyunggingkan senyum dan mengangguk dengan pasti. Ia tak akan berubah pikiran."Dewi sudah memantapkan pilihan Mak," sahutnya sambil menggenggam jemari sang Mamak. Benar. Dua bulan lalu, setelah dapat informasi dari bidan senior di klinik, Dewi mengikuti tes penerimaan di sebuah rumah sakit yang baru selesai dibangun di Sungai Piyasa. Beruntungnya Dewi lulus, tapi, hal itu tak membuat Nyai senang melainkan sebaliknya, ia merasa gamang. Ia sangat khawatir membiarkan Dewi pergi ke seberang sendirian. Jika Dewi bekerja di rumah sakit, anaknya itu juga harus menetap di Sungai Piyasa sana. Bukan. Bukan saja khawatir sebab akan berpisah dengan putrinya itu, hanya saja Nyai merasa sangat takut, bagaimana jika p
Usia Mayang sudah genap 66 tahun saat ini. Namun, berkat ilmu dari minyak kuyang yang masih rutin ia gunakan, wajahnya tetap kencang berseri. Tubuhnya segar bugar. Tak tampak sama sekali jika ia wanita yang sudah berumur. Meski masih sering dimanfaatkan Midan untuk membantu pekerjaan Liyah di rumah. Bahkan kadang-kadang menemani Ningsih saat suami istri itu pergi, Mayang bersyukur sampai saat ini rahasianya sebagai wanita kuyang masih tersimpan rapat. Belakangan, ia juga semakin mempercantik diri mengikuti mode yang sedang tren di kalangan anak muda, rambut hitamnya ia ubah menjadi blonde. Ia juga belajar memoles wajah dengan make up sederhana yang membuatnya semakin menarik. Meski sebenarnya sudah banyak orang yang membicarakan hal yang tak wajar tentang Mayang. Namun, wanita tersebut tetap bersikap masa bodoh selama tak ada yang mengungkit tentang minyak kuyang. Ilmu hitam. Atau wanita iblis. Pernah suatu kali, saat di pasar, kartu tanda penduduk milik Mayang terjatuh saat ia men
Dewi masih syok mengingat kejadian yang belum lama ini dialaminya. Dulu, waktu masih kecil, ia juga mengalami hal sama. Melihat kuyang yang terbang tak jauh dari tempatnya buang air besar. Kejadian dulu saja cukup mengerikan, apa lagi yang baru saja terjadi, makhluk legenda yang sering diceritakan orang-orang sejak zaman dulu itu, tepat berada di depan matanya sendiri. Jika mengingatnya, Dewi mendadak merasa mual. Padahal selama jadi bidan, ia tak pernah merasa jijik sekali pun melihat darah. Tapi, melihat isi perut kuyang yang menjurai tadi, ia bergidik. Dewi menghela napas, berusaha menepis ingatan mengerikan yang terus membayanginya. Malam sudah semakin larut saat ini. Mata Dewi juga mulai sepat. Saat duduk di ruang jaga tadi pun, kepalanya sempat terangguk-angguk menahan kantuk. untuk mengakali agar tak tertidur saat dinas begini, ia berjalan-jalan. Menyusuri lorong yang sepi sambil menguap sesekali. Kali ini, gadis itu menengok ke langit yang sesaat menjadi terang. Kilat seka
Matahari baru saja keluar dari peraduan. Sebagian langit masih terlihat lebih abu dari bagian lainnya. Mayang yang bangun lebih awal, hari ini sudah bersiap pergi. Tak ada tujuan lain selain ke rumah Liyah.Ia ingin mengajak Ningsih ke kampung seberang. Setidaknya ia lebih dulu membuat remaja itu bersenang-senang. Pusat perbelanjaan jadi tujuan utamanya untuk merayu Ningsih. Uang dari Midan, yang sebagian ia kumpulkan selama ini, tak ada salahnya digunakan sekarang untuk memanjakan gadis remaja itu. Mayang yakin dengan iming-iming begitu, anak gadis Liyah pasti mau menuruti permintaannya.Setelah memoles tipis wajahnya dengan make up, Mayang memutar badan sebentar di depan cermin. Menyemprotkan sedikit wewangian pada leher. Kemudian, menyemangati diri sendiri bahwa ia pasti akan berhasil. Pintu rumah Liyah sudah terbuka. Niatan Mayang seakan mendapat sambutan baik dari tuan rumah. Dengan tersenyum, Mayang melenggang masuk tanpa mengetuk. "Liyah, ini aku. Mayang. Aku masuk, ya." Tak
Meski sudah dua jam pulang dari rumah sakit, Dewi masih belum bisa memejamkan matanya. Padahal sudah berbaring sejak tadi. Tapi, ia hanya membolak-balik badan ke kiri dan kanan berulang. Bukan gelisah. Hanya saja, obrolannya hingga dini hari tadi dengan dokter Irawan terus terngiang."Ayah tinggal di pulau Jawa, Wi. Kalau ingin diruqyah sama beliau, memangnya kamu mau ke sana?" tuturnya saat itu. Setelahnya, Irawan mengangkat cangkir dan menyeruput pelan isinya. "Mau lah, dok. Nanti saya bicarakan dulu sama orang tua saya. Tapi, sepertinya tak bisa secepatnya. Saya baru kerja di sini masa sudah minta cuti?" Dewi gamang. Andai saja bisa, sekarang pun ia pasti akan pergi.Gadis itu sudah cukup muak dengan kondisinya yang sama sekali tak pernah menguntungkan. Yang ada, dia selalu merasa ketakutan jika matanya sudah menangkap makhluk astral. Hal itu sangat menyiksa bagi Dewi. Ia sangat ingin hidup normal. "Hmm. Begini. Sebenarnya aku ada sedikit masalah." Dokter menautkan jari jemarinya
Sekarang Mayang mendorong tubuh Dewi keluar ruangan. Wajahnya merah dengan rahang mengeras, ia marah hingga dadanya terasa sesak dan tenggorokan tercekat. Tapi, sebisa mungkin rasa ingin meledak itu ia redam. Namun, begitu sampai di selasar rumah sakit Mayang meluapkan segalanya."Kau pikir mudah untukku mendapat kesempatan seperti ini? Memangnya apa pedulimu dengan tobatku! Apa aku merepotkanmu di akhirat nanti? Aku hanya ingin orang tua gadis itu mendapat hukuman yang layak. Belasan tahun aku tersiksa dengan ilmu laknat ini, gara-gara tipuan suamiku! Kau tahu apa, hah?Aku hanya ingin lihat, bagaimana hancurnya Liyah dan Midan jika keturunan mereka jadi seperti aku. Apa aku salah? Apa semua ini kesalahanku? Dari awal aku hanyalah korban! Kau juga pasti tak tahu!" Mayang tersenyum masam. "Lalu tanpa angin tanpa hujan kau datang dengan mengatakan 'jangan terhasut untuk menggunakan ilmu sesat gara-gara dendam'. Cih!"Meski amarah sudah di pucuk ubun-ubun, Mayang menjelaskan dengan berus
Dingin malam kian menusuk hingga ke dalam tulang. Dewi merapatkan jaket biru muda yang ia kenakan. Kini dua orang yang sama kemarin, kembali bertukar tatap di tempat yang sama namun, berbeda situasi. Tak ada kopi. Tak ada perasaan berdebar. Mereka berdua sama-sama diliputi rasa bingung. Perasaan yang sangat sulit diartikan dalam konteks sebenarnya. Sejujurnya dokter Irawan masih berada di titik antara percaya dan tidak setelah mendengar kisah tentang legenda minyak kuyang dari Dewi tadi. Namun, ia juga tak bisa menyangkal bukti yang sudah ia lihat pada wanita yang muntah darah di depan matanya beberapa waktu lalu.Dewi menatap penuh harap pada dokter Irawan. Ia ingin lelaki itu mengerti situasi yang dihadapinya sekarang. "Jadi, apa Ayah dokter bisa mengeluarkan minyak kuyang yang sudah terlanjur saya telan? Pasti bisa kan, dok?"Lelaki yang duduk di seberang meja itu menggeleng kemudian tertunduk. Bola matanya mulai menghangat. Juga berembun. Bukan menyesal tapi ia merasa dongkol. K