Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Dari kejauhan, Herman yang baru saja sampai di pondok Husin, melihat cahaya obor bergerak mendekat. Sejenak lelaki itu membatalkan niat mengetuk pintu, ia bertanya sebentar pada putranya. "Apa kau juga melihat cahaya itu, Din?"Udin menoleh ke arah yang ditunjuk Bapaknya. "Siapa yang datang saat larut malam begini?"Bapaknya hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga tak tahu. Mengabaikan kebingungan mereka, Herman melanjutkan niat awalnya datang ke pondok Husin. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu berderit dibuka dari dalam. "Husin! Ayo siap-siap sekarang, nyalakan obormu. Kita mencari tubuh kuyang!" Herman tak ingin berbasa-basiHusin yang baru saja bangun masih terlihat linglung, ia tak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan tetangganya tersebut. "Kuyang?""Bapak sama Dewi tadi melihat Kuyang, Paman. Ayo kita cari badannya sama-sama. Barang kali ia menyimpannya tak jauh dari sekitar sini." Kali ini Udin yang menjelaskan. "Apa kira-kira itu kuyang yang berada di
Mayang sudah lebih segar hari ini. Badan lemas dan pusing yang dideritanya sudah sirna. Dalam dua malam berturut-turut ia sudah mendapat Mangsa. Minyak dalam botol sepertinya juga sedikit bertambah. Pantas saja meski digunakan dalam rentang waktu puluhan tahun oleh pemilik sebelumnya, isinya tak habis-habis. Mayang baru tahu, begitu rupanya cara kerja minyak tersebut. Jika Mayang berhasil mendapatkan darah Bayi dan ibu yang melahirkan, maka minyak kuyang tak akan berkurang, tapi malah sebaliknya. Kali ini wanita kuyang itu menatap wajahnya di cermin. Tak ada lagi kerutan yang tersisa. Ia sekilas tersenyum, merasa puas dengan perubahannya sekarang. Walau Mayang tahu, kecantikannya itu nanti tak akan bertahan lebih lama. Ya, setidaknya saat ini wanita tersebut menikmati masa wajah terbaiknya. Sesaat kemudian, Mayang mengalihkan pandangan, mengangkat tas yang sudah ia siapkan dan menyampirkan selendang warna jingga di bahu. Ia harus secepatnya menemukan Edi dan mencari solusi agar ia
Seorang lelaki tengah mondar-mandir dengan gelisah di beranda rumah. Berulang kali ia melipat jari-jarinya hingga menimbulkan bunyi berkeretek. Dia khawatir sebab tak biasanya sang istri begitu lama pergi ke pasar.Selain berdecak berulang-ulang, lelaki tersebut juga menghela napas penuh sesal. Istrinya tadi sempat berucap minta ditemani, namun ia dengan alasan yang tak jelas langsung menolak. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada sang istri? Ia tak bisa membayangkannya. Begitu hampir satu setengah jam berlalu dihitung tepat saat istrinya pergi, saat lelaki tersebut memutuskan untuk menyusul, istrinya datang bersama seorang tamu yang mengenakan selendang jingga. Wajahnya menyuratkan kelegaan. Namun, saat tamu yang menyertai istrinya membuka penutup kepala, lelaki itu serta-merta membeliak.Mayang langsung mengenali lelaki yang kini menatapnya sambil melotot itu. Meski begitu, wanita tersebut masih berusaha menahan diri. Mayamg terlihat tenang, ia harus tahu segalanya dengan perlahan, t
"Baru seumur jagung, kak. Ini tahun ketiga pernikahan kami," sahutnya sambil mengelap telapak tangan Mayang yang baret. Benar rupanya, Mayang sudah menduga, ia cuma istri yang dimanfaatkan. Midan sudah dua tahun lebih dulu menikahi Liyah. Tentunya mereka menjalin ikatan dengan perasaan yang sama. Sama-sama mencintai, tak seperti dirinya. Mendadak terbersit rasa iri di benak Mayang. Ia tersenyum miris. Liyah menarik napas dalam dan melepasnya dengan berat, seakan ada beban di dadanya."Kenapa?" tentu saja Mayang penasaran dibuatnya."Sebenarnya kami hampir saja berpisah, Kak. Ada kabar angin mengatakan Bang Dan menikahi janda di kampung seberang. Bahkan, ia sering berminggu-minggu tak pulang. Saat itu aku ingin minta talak saja. Namun, Wawan, teman kerjanya mengatakan kalau Bang Dan diminta pemilik gudang untuk mengurusi kebun rotannya yang ada di sungai Lantabu. Aku sempat berpikir untuk menggagalkan kehamilan yang baru berusia dua bulan waktu itu. Untungnya kebenaran akhirnya terun
Sejak pulang dari sungai Lantabu, beberapa minggu ini perilaku Dewi mulai aneh. Ia sering terlihat melamun. Penyendiri dan enggan bergaul. Tak ada lagi kebiasaannya yang sering pulang pergi bermain ke tempat teman sebaya. Bahkna yang lebih parah dari itu, Dewi enggan pergi ke sekolah. Jika tidur, Dewi sering kali mengigau. Ia selalu berteriak memanggil Bapaknya berulang-ulang hingga suaranya serak. Jika dibangunkan, gadia kecil tersebut akan menangis. Wajahnya mendadak pucat manai dan tampak kelelahan.Pagi ini, Nyai memaksa anak gadisnya itu untuk pergi sekolah. Sebab sudah cukup lama ia absen setelah libur caturwulan. Dewi bersikeras menolak. Dan Nyai pun tak kalah keras memaksa anaknya. Wanita itu khawatir putrinya tinggal kelas. "Takut sama apa Wi, sampai tak ingin sekolah. Mau jadi bodoh kamu? Sampai caturwulan satu ini pun, kau belum bisa membaca. Nanti uang saku Mak tambah seratus perak asal kau mau masuk hari ini." Dewi tetap duduk tertunduk dan diam. Ia hanya memainkan ja
Sepekan sudah Mayang menetap di Sungai Piyasa. Bisa dikatakan, ia masih mengandalkan Midan. Lelaki itu, tak seperti yang Mayang Kira, untungnya lelaki itu masih mau menepati janji. Memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sebab, mencari pekerjaan tak semudah yang wanita itu bayangkan.Hari-hari Mayang selama seminggu ini hanya ia habiskan untuk merenung dan memikirkan cara untuk menyakiti Midan pelan-pelan. Mayang sudah berjanji, ia tak akan melibatkan Liyah, kecuali perempuan itu melahirkan anak laki-laki. Ah, selain itu. Beberapa hari lalu, Mayang juga meninggalkan tubuhnya tanpa kepala di rumah kontrakan ini. Benar, ia sudah melakukannya sekali. Dan hal itu benar-benar tak bisa Mayang hindari. Beruntungnya, tak ada desas-desus setelah bayi yang didapatkannya kala itu meninggal. Kali ini, saat malam kian larut, Mayang yang berbaring sambil menatap langit-langit kamar, masih tenggelam dalam pikiran-pikiran tak menentu mulai merasakan hal yang paling ia benci. Hal yang sama sekali tak ing
"Izinkan aku mengurus Liyah dan bayinya. Meski ia lebih dulu kau nikahi, aku sudah menganggapnya seperti adik." Pinta Mayang saat Midan mengantarnya pulang menjelang dini hari tadi.Tentu saja ini muslihat Mayang. Ia harus memastikan bahwa anak perempuan dari Midan itu, harus tumbuh dengan baik. Mayang juga harus bisa dengan perlahan mengambil hatinya. Ia tak mau kehilangan kesempatan terakhir ini untuk memindahkan minyak sesat yang membuatnya merasa lebih sakit dari mati. Sebenarnya jika bisa memilih, menatap pun pada istri pertama suaminya tersebut, Mayang tak akan sudi.Tapi, Mayang harus menahan diri. Seperti yang ia lakukan tadi. Mayang terbangun tepat setelah Liyah dan bayinya dibersihkan oleh bidan. Midan yang kebetulan memindahkan tubuh Mayang ke kamar lain, sempat terdengar mengucapkan terima kasih. Namun hal itu tak sedikit pun membuat Mayang goyah dan berubah pikiran. "Ya sudah, aku percaya padamu Yang. Andai saja kau ingin menyakiti pun. Pasti sudah sejak Liyah sendiria