Share

Jadi Miskin Di Hadapan Mertua
Jadi Miskin Di Hadapan Mertua
Author: Secilia Abigail Hariono

GUBUK MERTUA

“Dinda...Dindaaa...! Keluar kamu!” teriak bu Nafis mertuanya.

Gedoran pintu yang keras dari luar, membuat Dinda segera berdiri. Dia mengusap air mata. Dinda tak ingin mertuanya tahu jika dia menangis.

“Nggih (ya),” kata Dinda,

“Kau mengadu lagi pada Hasan? Iyakan? Hahahaha! Dinda... Dinda sampai kapanpun Hasan itu surganya ada di telapak kakiku! Dia akan selalu menuruti semua perkataanku sebagai seorang Ibu yang telah melahirkannya, kau hanya wanita asing yang baru di nikahi kemarin sore, jadi jangan harap kau bisa mempengaruhi anakku, mengerti!” bentak bu Nafis.

Bu Nafis berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu. Dinda hanya mampu beristigfar dalam hati dan berkali-kali sambil mengelus dada, kemana perginya Hasan. Andai saja Hasan mengetahui semua perlakuan ibunya, mungkin dia akan membela Dinda. Mungkin, karena semakin ke sini Dinda juga ragu dengan ketegasan suaminya.

“Sudah, sana kau cuci semua perkakas kotor di dapur bekas memasak tadi pagi! Kau pikir hidup itu gratis, semua butuh duit, cepat cuci! Menumpang seperti benalu tak tahu diri!” teriak bu Nafis.

Dia bergegas pergi meninggalkan Dinda yang berdiri mematung. Bu Nafis tak pernah menjaga lisan.

“Oh ya, kalau Ifah mencari aku sepulang mengajar les nanti, bilang saja sedang ikut senam PKK di kantor kecamatan! Jangan bilang Hasan, kalau ikut senam, awas kau! Heran si Hasan dapat istri kok males, semua orang di rumah ini bisa cari duit, hanya dia yang menganggur di rumah!” kata bu Nafis.

Bu Nafis berbalik badan pergi mengendarai sepeda motor. Rasanya telinga Dinda sudah kebal dengan semua perkataan menyakitkan dari Ibu mertua. Bu Nafis selalu menganggap menantu sama dengan benalu di rumah. Bukan mau Dinda tak bekerja seperti ini. Hasan melarang Dinda bekerja, dan mertuanya tahu hal itu. Tetapi bu Nafis berpura- pura lupa jika anaknya yang harus di salahkan.

“Astagfirulloh,” gumam Dinda.

Dia segera pergi ke dapur, mencuci semua perabot dan perkakas yang di gunakan bu Nafis untuk berjualan tadi pagi. Ibunya memang bekerja membuat aneka sayur, nasi, dan jajanan yang di jual ke salah satu Kantin Rumah Sakit di kotanya. Sedangkan yang bertugas untuk menjaga jualan di kantin adalah kakak perempuan Hasan, Alif.

“Dek, Ibu dimana? Kok sepi? Pergi senam lagi ya?” tanya Hasan.

Dinda yang sibuk mencuci perkakas kotor kaget dengan kemunculan Hasan yang tiba- tiba di hadapannya.

“Astagfirulloh, Mas! Kenapa tiba- tiba kau muncul dari situ? Untung Dinda ndak jantungan,” gumam Dinda sebal.

Berkali-kali dia mengelus dada dengan lengan tangan agar tak membasahi baju.

“Hehehe, habis memanen pisang di belakang rumah Dek, Ibu kemana? Apa ikut senam lagi?” tanya Hasan.

“Itu... emmmm... memang kenapa Mas tiba- tiba menanyakan Ibu?” tanya Dinda tergagap mengalihkan pertanyaan Hasan.

Apa yang harus Dinda katakan, dia tak berani berbohong pada suaminya. Tetapi jika jujur tentu Bu Nafis akan memarahinnya habis- habisan dengan perkataan yang menyakitkan hati.

"Lihat pisang ini mendadak Mas ingin di buatkan bolu pisang sama Ibu, Mas sudah cari ke depan tapi Ibu tak sada, sampai Mas balik ke belakang lagi Ibu juga tak ada, kemana ya Ibu Dek?" tanya Hasan.

Dinda gelisah, tak bisa menjawab. Bibirnya terkatup rapat.

"Dek? Mengapa kau menjadi gelisah begitu?" tanya Hasan heran.

"Emmm... Tak apa Mas, bagaimana kalo Dinda buatkan pisang goreng saja dulu dari pada mencari Ibu," ujar Dinda.

"Bolehlah, ini kau buat nanti saja Dek! Setelah pekerjaanmu selesai, tapi Mas tadi lihat motor di depan tak ada, jika Ibu keluar pasti dia akan pamit padamu, benar kan Dek? Apa tadi Ibu langsung pergi begitu saja?" tanya Hasan.

Dinda bingung harus memberikan jawaban apa pada suaminya. Jika dia jujur maka ibu mertuanya akan murka, jika berbohong dia juga masih takut dosa.

"Assalmualaikum, jamaah! Oh jamaah! Pada kemana? Fatimah pulang!" teriak seorang wanita dengan suara cemprengnya.

"Waalaikumsalam," jawab Hasan dan Dinda bersamaan.

"Itu si Ifah pulang, Mas," kata Dinda.

"Di belakang! Kemarilah," teriak Hasan.

Untung saja Ifah adik iparnya pulang, jika tidak apa yang akan di katakan pada Hasan.

"Ibu mana, Mas?" tanya Ifah.

"Ah, mengapa semua orang hari ini mencari Ibu mertuanya," gerutu Dinda dalam hati.

"Coba kau telpon," usul Hasan.

Ifah mengangguk, dia mengambil HP di dalam tas dan menghubungi sang Ibu.

"Assalamualaikum, Ibu di mana? Hati- hati ya, Bu," kata Ifah sambil menutup panggilan.

"Di mana Ibu, Dek?" tanya Hasan penasaran.

"Ekhm! Ehhkkkkmmm!" suara Dinda berdehem dengan keras.

Dinda berusaha memberi kode Ifah agar tak mengatakan dengan jujur keberadaan Ibunya.

"Oh, Ibu sedang di..."

BERSAMBUNG

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adinda
Seruuuuuuuuuuuuuu bangettt sukaaaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status