Share

Bab 2

“Ya seenggaknya kamu temani dulu Mbak Silvi di depan Dek, dia juga pasti perasaan ‘kan datang-datang kamu cuekin begitu. Malah ditinggal masuk kamar. Kamu juga kalau bertamu ke rumah orang diperlakukan seperti itu pasti enggak akan mau ‘kan?”

“Udah biasa aku mah tiap datang ke rumah Ibu aja seringnya malah ditinggal gitu aja.”

“Loh kamu kok ngomongnya begitu, jadi kamu mau balas dendam?”

“Enggak juga kalau mau balas dendam, dari awal aja aku nolak buat beresin kamarnya.”

“Setidaknya kamu temenin makan dulu.”

“Apa enggak sekalian disuapin juga?”

Di tengah perdebatan kami, karena rasa kantuknya Rehan juga mulai menangis. Anak itu biasanya memang tidur sekitar jam 1 sampai jam 2 siang. Namun, karena keegoisan ayahnya ia bahkan harus mendengar kami berdebat perihal Mbak Silvi yang harus selalu ditemani.

Aku sudah menawarkannya makanan, bahkan seharusnya suamiku juga turut mendengar jika Mbak Silvi memang mengiyakan ajakanku. Hanya saja ia ingin beristirahat lebih dahulu sebelum makan. Namun, tetap saja Bang Romi tak mau mengerti, ia malah memaksaku untuk tetap berada di luar. Saat anaknya sendiri sudah mulai merengek karena mengantuk.

Mendengar tangisan Rehan, akhirnya suamiku juga menghentikan egonya yang luar biasa itu. 

Entah bagaimana kalau di antara kami tidak ada anak, apakah ia akan selalu memaksakan ego seperti ini? Saking lelahnya memikirkan hidup dan rumahku yang selalu saja berantakan siang itu aku malah ikut tertidur di samping Rehan.

Aku benar-benar tak sengaja, fisikku benar-benar lelah. Belum lagi setiap hari harus putar otak untuk bagaimana caranya uang 50 ribu rupiah bisa cukup untuk makan serumah. Ingin sekali rasanya memasak sedikit saja. Namun, yang terjadi saat jam makan seringnya aku yang tak pernah kebagian. Apa lagi sekarang, kadang-kadang aku sampai menyembunyikan secuil lauk untuk Rehan di dalam kamar, karena seringnya justru kami yang tidak kebagian lauk.

Seolah tak mau mengerti Laila terus saja berbuat semaunya sendiri. Di mana-mana jika suaminya kembali dari tanah rantau maka selayaknya istri pada umumnya, mereka akan menyiapkan makanan untuk suaminya, tetapi yang dilakukan Alana hanya memoles riasan di wajahnya.

Bukan aku merasa iri, hanya saja melihat tak ada lauk di meja makan saat perut sedang lapar terkadang bisa membuat emosi orang meledak-ledak. Selama ini aku masih bisa sabar, tetapi entah beberapa minggu atau bulan lagi. Tidak ada yang akan menjamin kalau aku masih bisa sabar dan menerima semuanya begitu saja.

Saat itu aku terbangun pukul 4 sore, lekas saja aku menunaikan salat asar. Sebelum waktunya benar-benar berakhir. Begitu keluar mengambil air wudu tak ada satu pun orang di rumah.

“Loh, ke mana mereka?” tanyaku dalam hati.

Aku tak banyak berpikir saat itu, karena keadaan sepi juga cukup bagus. Rumah akan dengan mudah dibersihkan. Di saat aku sedang menyapu di halaman depan, beberapa tetangga mulai menyapa.

“Nyapu May, tumben kesorean?” sapa Bu Siska, penghuni rumah depan.

Ada beberapa orang juga di sana.

“Iya Bu, malah ketiduran tadi lagi nidurin Rehan," jawabku sambil tersenyum.

“Pasti capek ya May, ngurusin banyak orang. Sini dulu May, ini lagi rujakkan. Biar seger, cobain,” tawar Bu Asri.

“Iya, Bu. Makasih, gampanglah ini mumpung Rehan tidur mau beres-beres dulu.”

“Kirain Ibu kamu sama Rehan juga diajak keluar.”

“Keluar ke mana Bu, orang dari tadi saya di dalam.”

“Emangnya kamu enggak tahu kalau tadi suamimu sama yang lainnya keluar pakai mobil?”

“Oh, aku enggak tahu.”

“Bilangnya malah mau makan-makan di resto depan yang baru itu loh, May.”

“Oh gitu, mungkin karena ada Mbak Silvi jadi Bang Romi sekalian ngajak jalan-jalan.”

“Masa ngajak jalan-jalan istri dan anaknya malah enggak diajak,” sahut Bu Asri.

Wanita itu bahkan terlihat sangat kesal.

Namun, beberapa detik kemudian aku melihat Bu Siska malah menepuknya dengan keras. Sepertinya ia takut kalau aku akan tersinggung dengan ucapan temannya itu. Aku sendiri bahkan tidak tahu ke mana mereka dan kapan perginya. Bang Romi bahkan tak mengatakan apa-apa padaku.

“Mungkin Bang Romi enggak enak mau bangunin kami, kalau begitu saya permisi ke dalam dulu ya Buibui.”

“Eh, tunggu May. Jangan didengerin itu Bu Asri. Sebentar ini saya bungkuskan rujak buat kamu. Masih banyak kok ini. Lumayan buat seger-seger. Siapa tahu jadi, ‘kan?”

“Jadi apalah Ibu ini?”

“Jadi adiknya Rehan, hehe,” ucap Bu Siska sembari membawa sepiring rujak buah dari rumahnya.

“Rehan juga masih kecil, nanti dululah.”

“Enggak apa-apa masih muda, biar ngurusnya sekalian. Nanti gede satu gede semua.”

Aku hanya tertawa saja, memiliki tetangga seperti mereka cukup membuatku terhibur. Di kala aku harus merasakan sedih, karena ditinggal begitu saja oleh suamiku, padahal seminggu yang lalu Rehan pernah meminta untuk pergi ke resto yang baru buka itu, tetapi dengan tegas suamiku menolak. Alasannya ia tak punya uang, kenyataannya hari ini ia malah mengajak semua anggota keluarganya ke sana.

Aku bisa melihat status whats app Laila di mana mereka tengah berselfie ria. Bahkan ia juga tak lupa memotret begitu banyak makanan yang mereka santap saat itu. Statusnya sudah di posting sejak 2 jam yang lalu.

~

Hari itu jatah belanjaku sudah habis, karena Laila yang terus saja menyembunyikan lauk pauk yang kumasak ke kamarnya, aku jadi harus memakai jatah belanjaku di hari berikutnya, yang pada akhirnya di hari terakhir uang belanjaku sudah habis tak tersisa. Entah bagaimana dengan seminggu ke depan. Aku benar-benar butuh uang.

Bukannya aku tak mau meminta pada suami, sikapnya yang perhitungan membuatku jadi kesal sendiri, kecuali memang bayarannya telat. Aku cukup mengerti, tetapi ini setiap hari yang ia bicarakan terus saja tentang proyeknya yang berjuta-juta. Namun, saat aku meminta uang, selalu saja bilang tidak ada. Alasannya klasik, uangnya digunakan untuk modal lagi dan yang lainnya.

Terkadang aku juga heran, kenapa suamiku lebih mudah iba dan royal pada orang-orang di luar sana dari pada istrinya. Entah kenapa padaku, ia begitu perhitungan. Jarang sekali ia memberikan jatah belanja lebih, padahal sudah kukatakan uangnya tak pernah cukup. Apalagi sejak ia membawa banyak orang ke rumah. 

Pada akhirnya aku hanya bisa memutar otak bagaimana caranya membuat makanan dalam jumlah yang cukup untuk banyak orang, tetapi dengan harga yang terjangkau. Sekarang bahkan prioritasku bukan lagi gizi. Hanya tentang kuantitas agar cukup untuk banyak orang.

Tak jarang aku sendiri bahkan harus menahan lapar hanya karena tingkah mereka yang semakin tidak tahu diri. Untuk menghindari hal itu terjadi itulah mengapa aku selalu menyimpan makanan di kamar, meskipun aku tahu risikonya akan menjadi bahan omongan keluarga suamiku.

Dicap serakah dan masih banyak lagi, sungguh aku tak peduli, yang terpenting bagiku hanyalah agar anakku tidak lagi merasakan kelaparan di rumahnya sendiri. Semua orang boleh menghinaku, asal jangan sampai anakku menderita.

Setelah magrib barulah mereka pulang. Elsa dan Yora juga tampak begitu bersemangat menceritakan pengalaman mereka makan dan bermain di resto itu pada Rehan. 

“Tahu enggak tadi aku makan ikan, ayam pokoknya enak-enak banget,” ucap Elsa, anak Laila.

“Kita juga maen prosotan dan trampolin. Ada mandi bola juga, pokoknya seru banget. Yehh, kamu enggak diajak,” ucap Yora, anak dari Mbak Silvi yang malah menertawakan anakku.

Entah kenapa aku geram sekali melihat tingkahnya, kenapa juga orangtuanya hanya diam saja anak-anaknya memamerkan hal itu pada anakku yang sudah tampak menahan tangisnya.

“Kenapa aku enggak diajak, Bunda?” tanya Rehan dengan mata yang sudah memerah.

“Nanti pergi sama Bunda ya, Rehan mau ke sana juga ‘kan?” ucapku berusaha menenangkannya, tetapi seolah menulikan diri kedua iparku juga tak kunjung menegur anaknya untuk diam.

“Kasihan kamu enggak diajak. Makanya jangan tidu terus!” ucap Elsa.

Kebetulan saat itu Bang Romi juga baru tiba dari arah dapur, harusnya ia mendengar apa yang dikatakan keponakan-keponakannya itu.

“Ayah jahat, kenapa Rehan enggak diajak. Ayah enggak sayang sama aku. Mereka diajak main, aku enggak huhu.”

Rehan yang sudah menangis, lantas pergi ke kamar sambil berlari.

Aku hanya bisa menyusulnya dan kembali menenangkan anak itu.

“Hiks, ayah enggak sayang aku. Kemarin aku mau ke sana, enggak boleh.”

“Sabar, Sayang. Bunda janji, nanti kalau Bunda ada rezeki kita ke sana oke.”

Saat itu aku memeluknya begitu erat, bukan hanya demi menghilangkan kesedihan putraku tetapi juga rasa sakit dihatiku. Sungguh melihat anak sendiri diperlakukan dengan tidak adil membuatku sesak bukan lain. Tidak masalah jika hanya aku yang ditinggalkan, asal anakku jangan. Dia masih anak-anak, tentu saja hal seperti ini akan membuatnya merasa diasingkan.

Rupanya Bang Romi menyusul ke kamar. Saat itu ia juga tampak mengusap punggung Rehan.

“Ayah kenapa ke sini? Aku benci sama Ayah. Ayah enggak sayang sama aku dan Bunda lagi! Ayah pergi aja! Ayah cuma sayang Elsa sama Yora,” teriak Rehan sambil terisak.

“Dek, tadi Abang buru-buru Elsa sama Yora katanya mau ke sana. Mereka ‘kan juga enggak pernah ke mana-mana, jadi sekalian aja Abang ajak mereka luar.”

“Emangnya aku sama Rehan juga sering ke mana-mana? Enggak ‘kan?”

“Tadinya Abang juga mau bangunin kamu, tapi anak-anak udah keburu gak sabar. Terus bagaimana ini Rehan, enggak mau diem.”

“Kenapa Ayah masih di sini? Sana pergi aja! Aku enggak mau Ayah di sini. Ayah jahat,” teriak Rehan kembali.

“Ya sudah nanti kita ke sana. Ayah janji sama Rehan.”

“Enggak mau, Ayah bohong terus. Ayah jahat! Ayah pergi aja!”

“Dek, ini bagaimana?” tanya suamiku yang mulai kebingungan menghadapi tingkah anaknya.

“Abang mending keluar dulu deh!” ucapku.

“Kamu juga marah sama Abang karena enggak diajak.”

“Enggak, aku cuma heran anakmu ini sebenarnya Elsa atau Rehan. Enggak sekali dua kali Abang begini. Aku masih bisa ngerti kalau kamu enggak ajak pergi, tapi anak-anak. Tolong pergi aja, kehadiran Abang di sini cuma bikin Rehan tambah histeris."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tika saputri
Ok bgus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status