Share

Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar
Jadi Pelayan saat Tinggal Bersama Ipar
Author: ERIA YURIKA

Bab 1

"Mbak minta makan ya, suamiku mau pulang. Aku enggak masak hari ini,” ucap Laila adik iparku yang sejak 2 bulan terakhir tinggal di rumah.

Aku hanya mengangguk sekilas, pasalnya ini bukan pertama kalinya ia meminta nasi beserta lauk pauk untuk suaminya. Hampir setiap hari ia begitu. Aku hanya terlalu lelah untuk menegurnya lagi dan lagi. Setiap kali ditegur, Laila memang tidak pernah melawan, tapi di belakang ia akan mengadukan semua itu pada kaka iparnya.

Masalah yang harusnya kecil malah jadi melebar ke mana-mana.

“Dek, besok Mbak Silvi mau ke sini ya,” ucap suamiku.

“Mau tinggal di mana?”

“Ya, di rumah kita. ‘Kan masih ada kamar yang kosong. Mbak Silvi lagi di jalan, kamu mending bantu Abang buat beresin kamarnya ya. Biar kalau Mbak Silvi datang bisa langsung istirahat.”

Silvi itu merupakan kakak iparku. Suaminya merantau ke Surabaya. Selama ini dia mengontak di kota yang berbeda denganku, entah kenapa hari itu bisa-bisanya suamiku memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi dulu denganku. Jika sudah di jalan itu namanya bukan izin, tetapi sudah jadi perintah yang harus ditaati.

“Kamu kok mukanya kayak enggak ikhlas begitu sih. Abang ini lagi bantu saudara. Dulu tanpa bantuan dari mereka Abang juga enggak bisa sesukses sekarang.”

“Iya, aku mandiin Rehan sebentar. Nanti aku beresin kamarnya.”

“Mayra, Abang tanya sama kamu. Kenapa malah pergi?”

“Ikhlas atau enggak itu ditanyain sebelum ambil keputusan. Kalau sudah dijalan ya percuma juga Abang tanya, sudahlah ini ‘kan rumah Abang. Adek sama anak-anak posisinya Cuma numpang.”

Bukan tanpa sebab aku berkata demikian, pasalnya semua saudara dari suamiku selalu saja mengatakan jika rumah ini bukanlah milikku. Tanpa peduli aku ini pasangan sahnya, mereka beranggapan kalau posisiku di sini hanya menumpang. Namun, memang ada benarnya juga rumah ini memang dibeli atas nama suamiku. Jadi, sudah jelas siapa pemiliknya.

Sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli dengan status penumpang atau pemilik, akhir-akhir ini entah kenapa aku merasakan kelelahan yang teramat sangat. Belum pernah sebelumnya aku merasakan kelelahan baik secara fisik mau psikis separah ini.

Badanku sakit dan rasanya semuanya ngilu. Bahkan di beberapa tempat timbul lebam berwarna biru, padahal seingatku tidak pernah terbentur benda apa pun. Aku pun sudah merasa cukup tidur, tetapi tetap saja semua itu tak berhasil mengusir rasa lelahku yang sulit sekali untuk dilukiskan.

Bahkan untuk mandi di rumah sendiri saja aku harus mengantre hampir setengah jam. Pada akhirnya karena tak kunjung dibuka meski sudah diketuk berkali-kali aku memilih untuk memandikan Rehan di halaman.

“Loh kok mandinya di sini, Dek? Kenapa enggak di kamar mandi.”

“Dipakai Laila,” ucapku singkat lantas berlalu pergi.

Bahkan sekarang melihat wajah suamiku saja membuatku merasa muak. Pernah tidak, ingin marah tetapi hanya bisa tertahan sampai tenggorokan? Itulah yang aku rasakan setiap hari. Hanya bisa menahan semuanya, tanpa pernah tersalurkan.

Lihat saja respons suamiku yang tampak biasa saja melihat anaknya harus mengalah mandi di luar, andai saja posisinya di balik, sudah pasti aku yang terus digedor-gedor dari arah luar. Nyatanya yang paling penting tetaplah anggota keluarganya bukan anak apa lagi istrinya.

Atas dasar memuliakan tamu, ia bahkan tak peduli jika penghuni aslinya dipaksa mengalah terus menerus. Bukan sekali 2 kali keluarganya menumpang tinggal di sini. Kadang yang satu pergi, lantas tak lama malah digantikan yang lain. Ada kakak adik atau bahkan sepupu. Bukannya aku tak pernah menolak, hanya saja selalu saja ia menggunakan alasan kemanusian.

Ia tak pernah berpikir tentang privasi, bahkan terkadang di kamarku saja sudah tidak ada lagi privasi, setiap orang bisa masuk kapan saja jika tidak dikunci. Seolah itu ruangan umum yang bisa dimasuki kapan dan oleh siapa saja. Parahnya suamiku juga tampak biasa saja saat orang lain, bahkan ipar yang tentunya seorang laki-laki memasuki kamarku.

Ia bisa bermain game di kamar tanpa memedulikan aku yang risi dan tak bisa berada satu ruangan dengan orang yang bukan mahram meskipun ada suamiku juga di sana. Alasannya, tentu saja karena hanya kamar kami yang dilengkapi dengan fasilitas AC, sedangkan yang lain hanya kipas angin saja.

Bukan kami tak ingin memberikan fasilitas yang sama setiap ruangan hanya saja semua itu terjadi karena kami belum punya cukup uang untuk membelinya. Sejak ada mereka, pengeluaran harian dan bulanan terus saja bertambah, tetapi jangankan jatah belanja ditambah, suamiku justru terkesan tak peduli. Dia pikir uang 50 ribu akan mampu menanggung kebutuhan makan 2 keluarga sekaligus. Bahkan sekarang akan bertambah satu keluarga lagi. Kadang-kadang demi menghindari perdebatan, aku memilih keluar dan mengajak anakku untuk bermain di lapangan. Memang panas, tetapi setidaknya aku bisa bernafas lega seperti ini.

“Mayra, ngapain di situ. Panas lagi terik-teriknya malah di lapangan sih, bukannya ngadem di rumah,” teriak Devi.

Rumah temanku ini memang berada tepat di depan lapangan yang biasa dipakai bermain anak-anak.

“Enggak apa-apa, anakku lagi pengen main,” jawabku.

Sebenarnya aku hanya sedang ingin sendirian. Saat ini hatiku begitu sesak, penuh dengan rasa sakit yang tak mampu terjabarkan. Aku hanya tidak ingin orang lain akan mengetahui kesedihanku, apalagi Devi.

Sayangnya dia ini tipe yang keras kepala, sekalinya menginginkan sesuatu maka akan terus dikejarnya. Seperti saat ini, ia malah menghampiri kami yang tengah asyik bermain di bawah terik sinar mentari.

“Ngadem dulu sini ke rumahku. Enggak ada Mas Bambang kok. Udah berangkat kerja dia,” ucap Devi.

Rupanya dia sudah paham betul, jika aku sering menggunakan alasan suaminya demi bisa menghindar untuk mampir ke rumah.

“Ayo! Kasihan anakmu, nanti item pula dia kamu panasin begitu.”

Sekarang Devi malah menarik paksa kami ke rumahnya. Ia suguhkan pula kami minuman dingin dan camilan di rumahnya.

“Kamu kenapa lagi May, bukannya di rumah malah keliaran panas-panas gini.”

“Rumahku ramai, enggak enak juga ada Ilham di kamarku lagi main game sama Bang Romi.”

“Ck, suamimu ini emang keterlaluan ngapain coba bawa ipar ke kamarnya. Sesekali kamu harus tegas dong May, ungkapin aja kalau emang kamu enggak nyaman.”

“Udah pernah Dev, tapi yang ada ujungnya mereka malah jadi nyalahin aku. Pada akhirnya aku pula yang suruh minta maaf. Ya sudah aku pulang dulu, udah waktunya Rehan tidur siang. Kamu juga lagi kerja ‘kan, itu ada laptop di meja.”

“Kerja apaan, aku Cuma kerja sampingan aja di kala luang.”

“Kerja apa emang, Dev?”

“Nulis novel, iseng-iseng aja. Kamu mau ikutan nulis juga May, kalau novelnya laku lumayan juga penghasilannya. Kamu bilang pengen kerja ‘kan, tapi bingung kalau harus ninggalin Rehan, nah mending coba aja nulis kayak aku.”

“Kederannya sih menarik ya Dev, nanti lain kali aku coba ya. Aku mau nidurin Rehan dulu. Kayaknya dia juga udah ngantuk.”

“Ya sudah, kabarin aja ya seumpama kamu mau belajar buat nulis juga. Nanti aku ajarin caranya.”

Saat itu tiba-tiba saja Devi memelukku, tak biasanya dia seperti ini.

“Jangan suka mendem masalah sendiri, May. Ada aku., kita sahabatan ‘kan? Aku masih mau ketemu kamu tiap hari, jangan meninggal dulu.”

Saat itu aku malah terkekeh. Rupanya wanita ini masih saja mengingat celotehanku tadi pagi.

“Aku hanya bercanda. Tenang aja, tuh lihat aku masih hidup sampai sekarang.”

“Omongan kamu itu loh May, bikin aku jadi parno sendiri.”

Sekali lagi aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Seharusnya aku memang tidak pernah mengatakan hal itu, sehingga tidak membuat Devi sampai ketakutan sendiri.

~

Di rumah rupanya sudah ada kakak iparku dari Surabaya. Melihatku baru tiba, tentu saja Bang Romi terlihat tidak senang.

“Kamu ke mana aja, udah tahu mau ada tamu kenapa malah pergi ke rumah tetangga?”

“Emang Abang ada bilang kalau tamunya mau datang secepat ini. Abang Cuma bilang Mbak Silvi lagi di jalan, enggak bilang datang ke sininya jam berapa.”

“Kamu kok ngomongnya gitu, kamu enggak suka Mbak Silvi tinggal di sini?”

“Memangnya kalau enggak suka, Abang mau apa? Suruh Mbak Silvi pulang lagi, enggak mungkin ‘kan? Aku mau nidurin Rehan dulu, makanannya sudah aku siapkan di meja. Barang-barang Mbak Silvi juga udah dimasukkin semua ke kamarnya, emangnya aku harus ngapain lagi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status