“Abang enggak ada maksud buat beda-bedain kasih sayang kok. Ini kebetulan aja Dek, Elsa juga ‘kan jarang diajak jalan. Kamu tahu bapaknya juga jarang di rumah?”
“Emangnya selama ini Rehan juga sering diajak jalan walaupun ayahnya ada di rumah?” tanyaku.Kenyataannya ia sendiri bahkan sangat jarang mengajak kami jalan-jalan. Walau sekedar makan di resto dekat rumah. Sebenarnya tak perlu singgah di tempat mewah. Keluar jalan saja sudah pasti membuat Rehan senang, tetapi suamiku bahkan tidak pernah melakukannya.“Jadi, kamu cemburu sama anak kecil?”“Aku?”“Ya, terus kalau memang enggak kenapa malah ngomong begitu?”“Dari pada jalan-jalan aku lebih butuh uang untuk beli makanan sehat dan bergizi. Buat apa jalan, kalau gizi anak aja enggak terpenuhi. Makan cuma asal kenyang aja.”“Kamu ngomong apa sih Dek, kok bahasannya malah jadi ke mana-mana?”“Ya, Abang harusnya bisa bedain yang cemburu itu anakmu. Rehan ngerasa kamu lebih sayang Elsa dari pada anaknya sendiri.”“Ya sudah, kita pergi lagi aja. Kamu sama Rehan juga belum pernah ke sana ‘kan, kalian siap-siap. Kita pergi sekarang.”“Enggak perlu. Kami udah makan kok sama tempe goreng. Bisa ya Abang, makan enak sendiri, enggak kepikiran anaknya yang di sini cuma makan seadanya. Hebat banget.”Saat itu karena tak kunjung keluar, aku khawatir jika aku akan semakin emosional dan malah mengatakan hal yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulutku. Jadi, saat itu aku memilih untuk membukakan pintu kamar agar Bang Romi bisa segera keluar.“Mau nunggu apa lagi?” tanyaku sepelan mungkin, padahal rasanya hatiku sakit bukan main.Selama ini tidak masalah jika ia memang pilih kasih padaku, tetapi kenapa hari ini ia juga melakukannya pada darah dagingnya sendiri.“Kamu ngusir Abang.”“Aku cuma minta Abang keluar kamar sebentar, bukan ngusir dari rumah. Aku sadar diri kok, rumah ini punya kamu, kalaupun ada orang yang harus pergi maka aku orangnya.”“Maaf,” ucapku pelan, sembari berusaha menutup pintu kamar.Rasanya aku sudah tak sanggup untuk menahan air mata agar tidak membasahi wajah. Apa lagi ketika melihat Rehan yang menangis sambil memeluk bantal guling.‘Nak, mulai hari ini Bunda janji akan berusaha buat bahagiakan kamu. Bagaimanapun caranya, kalau ayahmu enggak mau memprioritaskan kita biar Bunda yang cari uang buat menuhin apa yang kamu mau.’“Sayang sini peluk Bunda, nanti kita ke sana berdua aja oke. Bunda janji sama kamu, doakan saja Bunda bisa punya rezeki biar bisa ajak kamu ke mana aja.”“Kenapa Ayah jahat sama aku, hiks.’’“Ayah sayang kok sama Rehan, cuma mungkin pas itu ayah enggak tega bangunin kita yang lagi tidur. Mungkin juga ayah sebenarnya udah bangunin kita, tapi kitanya yang enggak bangun.”Selain mengatakan hal itu, aku tidak punya hal untuk diucapkan lagi pada anakku. Bagaimanapun aku tak bisa membiarkan hubungan anak dan ayah itu makin memburuk. Setidaknya dengan begitu Rehan tidak akan terlalu sakit, mengetahui kenyataan kalau ayahnya memang tidak pernah menjadikannya prioritasnya.Akhirnya setelah menangis, Rehan yang kelelahan karena menangis pun tertidur kembali. Tak berselang lama Bang Romi juga kembali ke kamar. Sepertinya ia masih belum puas melakukan hal-hal yang menyakiti kami. Entah alasan apa lagi yang akan dia katakan pada kami, demi mendapat pemakluman atas tindakannya itu.“Dia masih marah sama Abang?”“Mungkin.”“Makasih ya, kamu udah mengatakan hal-hal yang baik sama anak kita.”“Aku ngomong apa emang?”“Ya tadi kamu bilang kalau Abang udah bangunin kalian.”“Memangnya aku harus bilang apa? Ayahnya pergi gitu aja, sengaja ninggalin anak istrinya di rumah?”“Abang bener-bener lupa Dek, tadi Elsa sama Yora juga buru-buru minta naik mobil, jadi Abang ikut gugup.”“Sudahlah, enggak usah menjelaskan apa pun, kalau mau istirahat ya silakan.”Saat itu memang masih kesal jadi berbicara dengannya hanya membuat amarahku semakin meledak-ledak, ia sangat pandai menyenangkan orang lain, tapi entah dengan anak dan istrinya ia lebih banyak membuat kami kesal dari pada bahagia. Apalagi sejak kehadiran mereka, semua selalu saja minta diperhatikan. Sampai-sampai suamiku lupa siapa yang sebenarnya yang paling berhak mendapatkan perhatiannya.Tidur dengan memunggungi suamiku memang tidak benar, hanya saja aku tidak sanggup jika harus menatapnya secara langsung. Berada sedekat ini dengannya saja sudah membuatku cukup tersiksa. Kala itu aku bisa merasakan Bang Romi perlahan mendekat ke ranjang. Sepertinya sekarang ia berada persis di sebelahku.“Kamu udah makan?” tanya Bang Romi.“Belum.”“Kenapa belum makan?”“Emang ada makanan?”“Emangnya enggak ada.”“Abang lihat saja sendiri. Semua makanan mungkin sudah habis sama keluargamu.”“Bukannya kamu biasa simpan lauknya sebagian?”“Ya, kalau nasinya habis mau bagaimana lagi. Sudahlah aku udah biasa kok nahan lapar, yang penting ‘kan bukan saudara-saudaramu."“Abang belikan makan aja, ya.”“Enggak usah, aku enggak lapar.”“Mana bisa begitu, sejak kapan kamu enggak makan?”“Aku bilang enggak usah ya enggak usah,”“Kamu masih marah soal tadi.”“Kalau aku marah, yang jadi pertanyaan memangnya Abang mau melakukan apa?”“Ya Abang mau minta maaf, bilang aja apa yang harus Abang lakukan biar kamu mau maafin Abang.”“Aku sih terima aja kalau Abang enggak adil sama aku, tapi untuk sekarang jujur aja aku sakit hati Abang bisa-bisanya nolak pas anak kita ngajak keluar dengan alasan enggak punya uang. Sedangkan sekarang dengan mudahnya Abang menghabiskan uang hampir satu jutaan hanya untuk makan. Lucu aja, kok bisa begitu ya.”Bang Romi sepertinya cukup terkejut karena aku bisa tahu berapa jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk makan-makan dengan keluarganya. Lihat saja wajahnya yang menjadi panik seketika.“Kamu tahu dari mana Abang abis segitu?”“Laila yang posting di status whats app.”Sontak saja Bang Romi mengambil ponselnya begitu saja. Sepertinya ia ingin memastikan sendiri apakah ucapanku memang benar. Cukup lama ia menatap ponselnya, sampai kemudian aku melihat matanya menatap kesal ke arah ponsel.“Ya udah sih Bang, kenapa malah kesal begitu? Harusnya Abang bangga bisa bahagiaan keluarga. Masyaallah rezeki keluarga insyaallah ada aja,” ucapku.Seperti caption yang ia tuliskan di sosial medianya. Di mana ada foto mereka tengah berselfie ria. Seharusnya kami memang tidak berteman di f******k. Melihat postingannya hanya membuat hatiku sakit saja. Banyak hal yang sengaja ia pamerkan pada khalayak, tetapi kenyataanya istri dan anaknya lebih banyak menderita.“Abang minta maaf.”“Abang tahu enggak satu juta itu setara dengan jatahku 20 hari. Abang habiskan hanya dalam hitungan jam saja.”“Dek, Abang enggak tahu bakal begini. Abang kira Laila enggak akan posting di status whats appnya.”“Enggak ada yang salah sebenarnya. Wajar dia begitu, bukankah kamu memang kebanggaan keluarga?"Saat itu Bang Romi bahkan masih diam saja. Entah sedang merenung atau pura-pura. Aku tidak pernah bisa membaca jalan pikirannya. Saat ini aku bahkan tidak yakin dia benar-benar merasa bersalah.“1 juta mungkin gak ada artinya buat Abang, tapi buat aku itu harus cukup buat berhari-hari, itu pun masih harus dibagi dengan adik, kakak dan keponakan-keponakanmu. Setidaknya jika kalian ingin bersenang-senang silakan saja, tapi tolong jangan memamerkannya pada anakmu. Aku mungkin cuma orang lain buat Abang, tapi anakmu bukan. Aku enggak masalah enggak kamu ajak makan, aku enggak akan merengek juga, tapi Rehan dia masih sangat kecil. Jangan selalu minta anakmu memaklumi semuanya!”“Ya sudah kamu maunya bagaimana?”“Kenapa jadi Abang yang emosi, ya Abang usaha sendirilah bikin Rehan kembali percaya kalau ayahnya emang sayang sama dia. Aku tidur duluan ya, hari ini capek banget. Udah beres-beres dari pagi enggak selesai-selesai. Besok kayaknya aku juga harus bangun pagi buat melayani semua orang yang tinggal di sini,” ucapku.Kala itu aku memang sengaja mengatakannya, karena ingin menyindir suamiku. Kenyataannya dia yang sering kali menampung keluarganya di rumah, tetapi seolah tutup mata tentang hal ini. Dalam segi makanan pun tentu saja akan bertambah banyak, tetapi jatah belanjaku bukannya ditambah malah tetap, padahal sekarang baru saja menambah anggota keluarga baru.“Loh kenapa kamu harus melayani mereka? Biarin aja mereka mengurusi diri sendiri. Abang cuma minta kamu terima mereka di sini. Urusan makan ke depannya biar mereka yang berpikir sendiri.”“Emangnya Abang sanggup minta mereka buat gak numpang makan sama aku? Enggak ‘kan?”“Ya sudah mulai besok ka
“Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa
Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap bi
“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum
“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”