Share

Bab 3

“Abang enggak ada maksud buat beda-bedain kasih sayang kok. Ini kebetulan aja Dek, Elsa juga ‘kan jarang diajak jalan. Kamu tahu bapaknya juga jarang di rumah?”

“Emangnya selama ini Rehan juga sering diajak jalan walaupun ayahnya ada di rumah?” tanyaku.

Kenyataannya ia sendiri bahkan sangat jarang mengajak kami jalan-jalan. Walau sekedar makan di resto dekat rumah. Sebenarnya tak perlu singgah di tempat mewah. Keluar jalan saja sudah pasti membuat Rehan senang, tetapi suamiku bahkan tidak pernah melakukannya.

“Jadi, kamu cemburu sama anak kecil?”

“Aku?”

“Ya, terus kalau memang enggak kenapa malah ngomong begitu?”

“Dari pada jalan-jalan aku lebih butuh uang untuk beli makanan sehat dan bergizi. Buat apa jalan, kalau gizi anak aja enggak terpenuhi. Makan cuma asal kenyang aja.”

“Kamu ngomong apa sih Dek, kok bahasannya malah jadi ke mana-mana?”

“Ya, Abang harusnya bisa bedain yang cemburu itu anakmu. Rehan ngerasa kamu lebih sayang Elsa dari pada anaknya sendiri.”

“Ya sudah, kita pergi lagi aja. Kamu sama Rehan juga belum pernah ke sana ‘kan, kalian siap-siap. Kita pergi sekarang.”

“Enggak perlu. Kami udah makan kok sama tempe goreng. Bisa ya Abang, makan enak sendiri, enggak kepikiran anaknya yang di sini cuma makan seadanya. Hebat banget.”

Saat itu karena tak kunjung keluar, aku khawatir jika aku akan semakin emosional dan malah mengatakan hal yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulutku. Jadi, saat itu aku memilih untuk membukakan pintu kamar agar Bang Romi bisa segera keluar.

“Mau nunggu apa lagi?” tanyaku sepelan mungkin, padahal rasanya hatiku sakit bukan main.

Selama ini tidak masalah jika ia memang pilih kasih padaku, tetapi kenapa hari ini ia juga melakukannya pada darah dagingnya sendiri.

“Kamu ngusir Abang.”

“Aku cuma minta Abang keluar kamar sebentar, bukan ngusir dari rumah. Aku sadar diri kok, rumah ini punya kamu, kalaupun ada orang yang harus pergi maka aku orangnya.”

“Maaf,” ucapku pelan, sembari berusaha menutup pintu kamar.

Rasanya aku sudah tak sanggup untuk menahan air mata agar tidak membasahi wajah. Apa lagi ketika melihat Rehan yang menangis sambil memeluk bantal guling.

‘Nak, mulai hari ini Bunda janji akan berusaha buat bahagiakan kamu. Bagaimanapun caranya, kalau ayahmu enggak mau memprioritaskan kita biar Bunda yang cari uang buat menuhin apa yang kamu mau.’

“Sayang sini peluk Bunda, nanti kita ke sana berdua aja oke. Bunda janji sama kamu, doakan saja Bunda bisa punya rezeki biar bisa ajak kamu ke mana aja.”

“Kenapa Ayah jahat sama aku, hiks.’’

“Ayah sayang kok sama Rehan, cuma mungkin pas itu ayah enggak tega bangunin kita yang lagi tidur. Mungkin juga ayah sebenarnya udah bangunin kita, tapi kitanya yang enggak bangun.”

Selain mengatakan hal itu, aku tidak punya hal untuk diucapkan lagi pada anakku. Bagaimanapun aku tak bisa membiarkan hubungan anak dan ayah itu makin memburuk. Setidaknya dengan begitu Rehan tidak akan terlalu sakit, mengetahui kenyataan kalau ayahnya memang tidak pernah menjadikannya prioritasnya.

Akhirnya setelah menangis, Rehan yang kelelahan karena menangis pun tertidur kembali. Tak berselang lama Bang Romi juga kembali ke kamar. Sepertinya ia masih belum puas melakukan hal-hal yang menyakiti kami. Entah alasan apa lagi yang akan dia katakan pada kami, demi mendapat pemakluman atas tindakannya itu.

“Dia masih marah sama Abang?”

“Mungkin.”

“Makasih ya, kamu udah mengatakan hal-hal yang baik sama anak kita.”

“Aku ngomong apa emang?”

“Ya tadi kamu bilang kalau Abang udah bangunin kalian.”

“Memangnya aku harus bilang apa? Ayahnya pergi gitu aja, sengaja ninggalin anak istrinya di rumah?”

“Abang bener-bener lupa Dek, tadi Elsa sama Yora juga buru-buru minta naik mobil, jadi Abang ikut gugup.”

“Sudahlah, enggak usah menjelaskan apa pun, kalau mau istirahat ya silakan.”

Saat itu memang masih kesal jadi berbicara dengannya hanya membuat amarahku semakin meledak-ledak, ia sangat pandai menyenangkan orang lain, tapi entah dengan anak dan istrinya ia lebih banyak membuat kami kesal dari pada bahagia. Apalagi sejak kehadiran mereka, semua selalu saja minta diperhatikan. Sampai-sampai suamiku lupa siapa yang sebenarnya yang paling berhak mendapatkan perhatiannya.

Tidur dengan memunggungi suamiku memang tidak benar, hanya saja aku tidak sanggup jika harus menatapnya secara langsung. Berada sedekat ini dengannya saja sudah membuatku cukup tersiksa. Kala itu aku bisa merasakan Bang Romi perlahan mendekat ke ranjang. Sepertinya sekarang ia berada persis di sebelahku.

“Kamu udah makan?” tanya Bang Romi.

“Belum.”

“Kenapa belum makan?”

“Emang ada makanan?”

“Emangnya enggak ada.”

“Abang lihat saja sendiri. Semua makanan mungkin sudah habis sama keluargamu.”

“Bukannya kamu biasa simpan lauknya sebagian?”

“Ya, kalau nasinya habis mau bagaimana lagi. Sudahlah aku udah biasa kok nahan lapar, yang penting ‘kan bukan saudara-saudaramu."

“Abang belikan makan aja, ya.”

“Enggak usah, aku enggak lapar.”

“Mana bisa begitu, sejak kapan kamu enggak makan?”

“Aku bilang enggak usah ya enggak usah,”

“Kamu masih marah soal tadi.”

“Kalau aku marah, yang jadi pertanyaan memangnya Abang mau melakukan apa?”

“Ya Abang mau minta maaf, bilang aja apa yang harus Abang lakukan biar kamu mau maafin Abang.”

“Aku sih terima aja kalau Abang enggak adil sama aku, tapi untuk sekarang jujur aja aku sakit hati Abang bisa-bisanya nolak pas anak kita ngajak keluar dengan alasan enggak punya uang. Sedangkan sekarang dengan mudahnya Abang menghabiskan uang hampir satu jutaan hanya untuk makan. Lucu aja, kok bisa begitu ya.”

Bang Romi sepertinya cukup terkejut karena aku bisa tahu berapa jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk makan-makan dengan keluarganya. Lihat saja wajahnya yang menjadi panik seketika.

“Kamu tahu dari mana Abang abis segitu?”

“Laila yang posting di status whats app.”

Sontak saja Bang Romi mengambil ponselnya begitu saja. Sepertinya ia ingin memastikan sendiri apakah ucapanku memang benar. Cukup lama ia menatap ponselnya, sampai kemudian aku melihat matanya menatap kesal ke arah ponsel.

“Ya udah sih Bang, kenapa malah kesal begitu? Harusnya Abang bangga bisa bahagiaan keluarga. Masyaallah rezeki keluarga insyaallah ada aja,” ucapku.

Seperti caption yang ia tuliskan di sosial medianya. Di mana ada foto mereka tengah berselfie ria. Seharusnya kami memang tidak berteman di f******k. Melihat postingannya hanya membuat hatiku sakit saja. Banyak hal yang sengaja ia pamerkan pada khalayak, tetapi kenyataanya istri dan anaknya lebih banyak menderita.

“Abang minta maaf.”

“Abang tahu enggak satu juta itu setara dengan jatahku 20 hari. Abang habiskan hanya dalam hitungan jam saja.”

“Dek, Abang enggak tahu bakal begini. Abang kira Laila enggak akan posting di status whats appnya.”

“Enggak ada yang salah sebenarnya. Wajar dia begitu, bukankah kamu memang kebanggaan keluarga?"

Saat itu Bang Romi bahkan masih diam saja. Entah sedang merenung atau pura-pura. Aku tidak pernah bisa membaca jalan pikirannya. Saat ini aku bahkan tidak yakin dia benar-benar merasa bersalah.

“1 juta mungkin gak ada artinya buat Abang, tapi buat aku itu harus cukup buat berhari-hari, itu pun masih harus dibagi dengan adik, kakak dan keponakan-keponakanmu. Setidaknya jika kalian ingin bersenang-senang silakan saja, tapi tolong jangan memamerkannya pada anakmu. Aku mungkin cuma orang lain buat Abang, tapi anakmu bukan. Aku enggak masalah enggak kamu ajak makan, aku enggak akan merengek juga, tapi Rehan dia masih sangat kecil. Jangan selalu minta anakmu memaklumi semuanya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status