“Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.
“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa mencuci sendiri, tetapi betapa anehnya tingkah Laila yang sehari-harinya hanya menitipkan bajunya setiap kali melihatku sedang menyuci pakaian.“Ayo Bu, beli aja ke depan sarapannya.”Elsa yang tak sabar lantas menggoyang-goyangkan lengan ibunya, berharap Laila akan segera mengajaknya ke warung guna membeli sarapan. Elsa yang terbiasa makan selepas bangun tidur tentu saja akan merengek jika ia tak mendapatkan makanan saat ini.Akhirnya suka atau tidak, Laila tidak punya pilihan lain kecuali ia membeli makanan untuk sarapan keluarganya. Lagi pula Bang Romi sendiri yang memintaku melakukan ini. Jadi, ya sudah biar sekalian mengajarkan mereka hidup mandiri.Aku hanya lelah, kenyataannya mengurus banyak orang dalam satu rumah tidaklah mudah.Drama dengan Laila selesai, rupanya sekarang justru mulai lagi, kali ini Mbak Silvi mulai menanyakan sarapan untuknya. Aku juga mendengar ia berbicara dengan cukup keras. Hanya saja batinku terlanjur lelah, bolehkah aku bersikap masa bodo sejenak?Hari ini aku hanya ingin beristirahat sejenak. Hanya fokus mengurus Rehan, tanpa memikirkan drama keluarga suamiku yang kadang aneh bin ajaib.“Bunda enggak ke Emak?” tanya Rehan.Mungkin ia merasa heran, karena sampai siang hari aku masih bersantai di kasur, padahal biasanya sejak subuh aku sudah mengajaknya untuk belanja ke warung tetangga. Kebetulan anakku memang biasa memanggilnya Emak. Tentu saja semua itu aku lakukan untuk mengejar jam sarapan orang-orang yang tinggal di rumah.“Enggak Sayang, hari ini Bunda libur dulu masaknya. Nanti beli aja di luar.”“Bunda capek, ya?” tanya Rehan.“Enggak kok, Sayang. Bunda lagi pengen istirahat aja. Bosan tahu masak setiap hari.”Kenyataannya bundamu memang capek, Nak. Hanya saja cukuplah bunda yang merasakan semua ini. Kenyataannya mengetahui ayahmu lebih memprioritaskan mereka, pasti sudah membuatmu cukup terluka.Pukul 9 pagi akhirnya aku baru keluar dari kamar. Seperti dugaanku rumah sudah dalam keadaan yang kacau balau. Mainan berantakan di mana-mana. Namun, karena tujuanku bukan untuk beres-beres jadi aku mengabaikan hal itu. Masa bodo dengan rumah yang seperti kapal pecah. Sesekali aku hanya ingin tahu, seberapa tahan mereka dengan keadaan seperti ini. Sanggupkah mereka berjalan di atas banyak mainan yang mungkin akan melukai telapak kaki?Entahlah melihatnya saja sudah membuat kepalaku pusing. Lebih baik pergi dan mencari makanan, karena biasanya suamiku akan pulang saat zuhur untuk makan dan salat. Kebetulan proyek yang sedang ia kerjakan berada cukup dekat dengan rumah kami. ~“Loh tumben enggak masak sendiri, May?” tanya Bu Siska.Kebetulan tetanggaku memang sedang berada di warung makan juga. “Iya, lagi pengen beli jadi Bu.”“Nah gitu atuh sesekali, nih ya May kalau ibu jadi kamu mah udah enggak mau masak sama sekali,” bisik Bu May.Tiba-tiba saja ia menggandeng lenganku dan berbicara begitu pelan. Mungkin takut kalau pembicaraannya akan terdengar oleh orang lain. Hanya saja kenapa ia harus mengatakan hal itu. Bahkan tanpa dipanas-panasi, aku memang sudah mulai lelah dengan kehidupanku sekarang.Tidak ada lagi rumah yang nyaman untuk pulang dan beristirahat. Pulang ke rumah hanya membuatku semakin kelelahan.“Kenapa Bu Siska ngomong begitu?” tanyaku.“Lagian rumahmu itu loh, maaf-maaf ini mah, udah kayak penampungan.”Aku hanya terkekeh saja, mau mengelak kenyataannya memang mirip penampungan. Rumah yang biasanya ditinggali 1 kartu keluarga, tetapi rumahku malah 3 keluarga.“Kamu kok masih bisa ketawa May, kalau Ibu jadi kamu udah penuh ini jidat sama koyo.”“Haha, Bu Siska ini. Masa penuh koyo sih.”“Ibu serius loh May, suamimu apa masih nerima orang baru?”“Kenapa emang?”“Apa enggak sekalian sekampung diboyong semua ke rumahmu?”“Enggak sekampung juga dong, Bu Siska.”“Abisnya, sekarang ada lagi yang baru ‘kan?”“Iya, namanya Mbak Silvi.”“Siapa pun itu, Ibu enggak peduli. Ibu cuma kasihan sama kamu lihat ini badanmu sebelum ada mereka itu segar dan berisi pula. Sekarang malah kurus banget. Kamu pasti capek banget ‘kan, May?” Sambil memegangi pundakku, Bu Siska bahkan sampai memijatnya. Jika di rumah begitu melelahkan terkadang perhatian kecil dari Bu Siska membuatku merasa tidak sendiri. Kenyataannya di dunia ini masih ada orang yang baik.“Aku enggak tahu kalau soal itu, urusan Bang Romi, mau bawa keluarganya sebanyak apa.”“Emangnya kamu enggak risih?”“Ya, rumah itu ‘kan punya Bang Romi. Aku juga enggak bisa banyak ngatur, Bu.”“Ya itu rumah sama-samalah, bukan punya Romi doang. Ada hak kamu dan Rehan di sana. Jangan diam aja May, kalau kamu tertekan. Suami juga harusnya bisa memberikan rasa nyaman sama istrinya. Sekarang bagaimana kamu bisa nyaman, orang di sana aja ada suaminya Laila. Ibu aja jujur aja risih lihatnya. Tiap hari cuma pakai kolor, enggak pakai atasan. Udah kayak rumah sendiri aja.”Aku hanya tersenyum saja, sebenarnya aku masih takut bercerita banyak hal pada orang lain. Kenyataannya tidak selamanya melepaskan masalah, justru menjadikan masalahnya lebih baik. Tidak ada jaminan apa yang kita ceritakan saat ini tidak akan tersebar pada orang lain.Jika sampai terjadi sesuatu, masalahnya justru semakin melebar.“Ya nanti aku tegur orangnya, Bu.”“Eh, jangan kamu yang negur. Nanti kamu diapa-apain. Mending suamimu aja yang negur. Dia yang ajak ke sini, harusnya suaminya Laila lebih segan sama Romi.”“Boleh juga.”“Harus belajar tegas, May. Jangan sampai kamu capek di rumah sendiri. Kamu ini tuan rumahnya, bukan pembantu. Maaf ya May, ibu bukannya mau ikut campur. Ibu tuh ngelihat kamu udah kayak anak sendiri. Jadi gemes lihatnya. Mana tadi Ibu lihat rumahmu berantakan banget, itu kalau bukan kamu pasti enggak ada yang beresin ‘kan?”Kebetulan gerbang rumahku memang terbuka, jadi tetangga sekitar bisa melihat ke dalam. Aku jadi malu, tetapi ya sudahlah aku juga tidak bisa mengubah sesuatu yang sudah berlalu.“Ya gitulah, Bu.”“Tuh ‘kan. Udahlah, sabar-sabar aja kamu jadi orang May. Biarin aja kalau mereka berantakin rumah. Enggak usah kamu beresin. Biar suami kamu tahu bagaimana kelakuan saudara-saudaranya. Namanya ikut orang, jangan semaunya sendirilah.”Sepertinya ada benarnya juga. Mungkin jika aku mogok masak dan beberes akan mampu menyadarkan Bang Romi. Lagi pula aku sudah menyapu tadi pagi, tetapi baru beberapa jam sudah berantakan dan kotor lagi. “Aku coba ya, Bu.”“Nah, gitu May. Seumur-umur Ibu baru ketemu sama orang kayak mereka. Sudah makan ditanggung kamu, bantu beres-beres juga gak mau. Ibu jadi penasaran apa reaksi mereka nanti kalau sampai suamimu marah.”“Pasti Abang doain kamu Sayang, pokoknya kamu harus kuat. Abang yakin kamu dan adek bayi bakal selamat. Kamu harus lihat ‘kan anak kedua kita. Kita punya banyak banget rencana setelah ini. Kamu udah janji sama Abang, enggak boleh ingkarin gitu aja.”Tanpa sadar air mata lolos begitu saja dari sudut mata Romi. Namun, ia lekas menyekanya. Seharusnya ialah yang menguatkan Mayra, tetapi saat ini Romi justru terlihat sebagai pihak yang lebih butuh dikuatkan. Sepanjang jalan menuju ruang operasi Romi seakan tak mau melepaskan genggaman tangannya, sampai ketika Mayra masuk ia sempat mengatakan satu kalimat yang benar-benar membekas di hati Romi.“Abang, kita enggak boleh terlalu cinta sama manusia. Nanti Allah cemburu,” ucap Mayra.Sebelum akhirnya pintu ruangan operasi tertutup. Romi hanya diperkenankan mengantarnya sampai ke depan pintu, ia tidak menyangka kalau proses melahirkan anak keduanya justru berkali-kali lipat lebih sulit saat M
Sembari menghapus jejak tangisan di wajahnya Silvi memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju toilet. Ia hanya ingin mencari tempat yang nyaman untuk bisa melepaskan penyesalannya. Rupanya maaf saja tak cukup untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur menggunung. Memang benar semua butuh waktu, tetapi ia sendiri tidak menyangka jika Romi justru lebih sulit dihadapi dari pada Mayra.Sebelumnya ia selalu berpikir adiknya yang selalu ada di saat sulit akan mudah dihadapi, rupanya ia justru tampak begitu keras bahkan pada ibu kandungnya sendiri. Sudah semalam mereka berada dalam satu atap yang sama, tetapi sikap Romi justru semakin dingin. Ia bahkan terang-terangan melarang istrinya untuk sekedar membantu Silvi dalam hal menulis.Cukup lama Silvi berada di sana, mungkin sekitar satu jam. Tak ia pedulikan jika hari semakin larut, tetapi ia hanya takut jika tangisannya akan terdengar oleh Romi yang berada tepat di samping kamar tamu, jadi untuk saat ini toilet me
Saat sedang asyik mengobrol Romi dan yang lainnya malah datang. Mau tidak mau mereka harus menghentikan pembicaraan. Tak enak juga rasanya memaksa Mayra untuk terus membantunya. Jika Romi tahu, mungkin hal ini hanya akan memicu masalah baru.”“Terus sekarang kita mau bagaimana Bu, kalau Mayra yang jadi harapan satu-satunya malah enggak bisa bantu apa-apa.”“Ibu juga enggak tahu, kita udah terlanjur ke sini. Ya pokoknya kita harus bisa memperbaiki hubungan sama Romi,” ucap Bu Tuti.Usai mengatakannya, mereka pun ikut menyusul Romi dan yang lainnya ke dalam. Di sana Romi juga mengajak Pak Erik untuk melihat kebun sayuran Mayra di belakang rumah ia menceritakan bagaimana Mayra membuatnya tetap subur. Sampai Pak Erik pun berencana untuk membuat kebun sayuran yang sama di depan rumahnya.“Kayaknya bagus juga Bu, idenya Mayra ini. Kita bisa buat di de
Menyadari kedatangan Silvi dan orang tuanya, jelas saja ekspresi Gani langsung berubah. Ia terlihat sedikit gelisah, mungkin terkejut karena tak menyangka jika mereka akan datang. Gani tetap menyalami mantan mertuanya dengan takzim, tentunya kecuali Silvi ia hanya menundukkan kepala.“Bapak sama Ibu sehat?” tanya Gani.“Alhamdulillah, ini kamu mau pulang apa bagaimana? Kok udah bawa tas aja?” tanya Pak Erik sekaligus memecah suasana canggung di antara mereka.“Iya Pak, ini mau pulang ke Subang. Udah lama di Bandung, kangen juga sama Yoora.”“Bukannya Subang sama Bandung deket banget, emang enggak sering pulang.”“Sebenarnya sering sih paling 2 minggu sekali, tergantung kerjaan aja. Kalau bisa tiap minggu pulang ya maunya sih begitu. Cuma ‘kan yang ada kerjaannya enggak selesai-selesai. Ya sudah kalau begitu Pak, saya pamit dulu.”Sata itu Bu Tuti juga bingung harus berka
Entah kenapa rasanya dunia Silvi mendadak berhenti berputar. Kenapa ada Bunda selain dirinya?Silvi pun tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tetapi kenapa harus secepat ini? Ia melihat keduanya begitu akrab, bahkan sepertinya Yoora terlihat begitu nyaman berada di pelukan wanita yang ia panggil Bunda itu. Di sampingnya juga adik iparnya yang tampak cukup dekat dengannya.Jika diingat kembali hubungan Silvi dan adik iparnya bahkan tidak sedekat itu. Ia sendiri yang sengaja menjaga jarak dari adik suaminya. Sekarang melihat mereka begitu akrab, Silvi bahkan tidak bisa menyalahkannya juga. Apa lagi statusnya sekarang juga bukan lagi istri Gani. Niat hati ingin memberikan kejutan pada anaknya, sekarang ia sendiri yang terkejut.“Bunda Silvi,” ucap Yoora yang saat itu mengalihkan pandangannya.Ia baru sadar jika sejak tadi ada Silvi di dekatnya. Anak kecil itu pun langsung menghambur memeluk ibu kandungnya.“Bunda kenapa enggak bilang mau ke sini?” Bahkan jika hatinya begitu sakit
Saat itu juga Bu Tuti langsung menghubungi Romi lewat panggilan telepon. Namun, entah kenapa tak kunjung diangkat juga. Sudah 10 kali mencoba, tetap saja tak ada hasilnya.“Pak, kenapa Romi enggak mau ngangkat telepon dari Ibu?”“Enggak tahu, kemarin-kemarin masih mau ngangkat telepon dari Bapak kok. Mungkin lagi sibuk aja.”“Apa jangan-jangan dia masih marah sama Ibu, sampai enggak mau ngangkat. Gak mungkin Romi jauh dari hpnya Pak, di aitu sibuk terus kalau jam segini.”Sebagai ibunya sedikit banyak ia tahu kebiasaan Romi, termasuk jam sibuk putranya. Rasanya sedikit janggal kalau Romi tak memegang ponselnya di jam sibuk.“Bentar, biar Bapak yang coba telepon!”Kali ini karena penasaran, Pak Erik juga mencoba untuk menghubunginya. Namun, hasilnya sama. Mereka sontak saja jadi berpikir yang tidak-tidak.“Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Romi, Pak?” ucap Bu Tuti dengan wajah yang mulai panik.“Kamu jangan ngomong sembarangan. Bisa aja dia memang lag