Share

Bab 6

Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.

“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”

“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”

Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.

Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.

“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.

“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.

Aku hanya mencoba bersikap biasa, meskipun mereka tidak ramah padaku.

“Kamu sehari-harinya emang biasa enggak ngurus rumah begini ya May, enggak masak juga? Terus nanti adikku mau kasih makan apa,” tanya Mbak Silvi dengan nada yang angkuh.

Di sampingnya Laila juga menatapku dengan sorot penuh kebencian.

“Beli jadi di warung.”

“Enak banget hidup kamu, enggak udah masak. Enggak beres-beres. Adikku yang kasihan kerja banting tulang, istrinya malah nyari yang instan aja.”

“Yang panting kalau pas suamiku makan ada lauknya. Rumah juga udah aku beresin tadi pagi. Ya aku juga enggak tahu kenapa bisa berantakan lagi. Dari pagi Rehan juga di kamar.”

“Oh jadi kamu mau nyalahin kamu yang berantakin rumah?”

“Memang benar ini mainannya Elsa sama Yora ‘kan? Kenapa harus aku yang beresin. Saling pengertian ajalah Mbak, aku juga punya anak yang harus aku urus. Kalau sekiranya berantakan tolong diberesin lagi.”

Sungguh rasanya lega sekali bisa mengungkapkan keinginan yang selama ini terpendam. Masa bodo dengan mereka yang akan berpikir macam-macam atau parahnya akan mengadukan masalah ini pada Bang Romi dan ibu mertuaku. Aku hanya tak tahan dengan kelakuan mereka yang setiap hari semakin semena-mena.

“Kamu nyuruh kami yang beresin gitu?” tanya Mbak Silvi yang seolah tak merasa bersalah sama sekali.

Entah mereka ini masih punya rasa empati atau tidak, kenapa begitu keras kepala dan selalu mau dilayani.

“Ya mau bagaimana lagi orang yang berantakin mainan Elsa sama Yora, masa harus aku juga yang beresin? Gantianlah Mbak, Laila, jangan selalu aku yang ngurusin semuanya.”

Laila dan Mbak Silvi malah saling menatap sepertinya mereka masih tidak menyangka jika aku akan mengatakan hal itu. Pasalnya selama ini aku selalu diam, mau seberapa menyebalkannya pun yang mereka lakukan.

“Aduuhhh!”

Di tengah perdebatan kami tiba-tiba saja Elsa malah berteriak kesakitan. Sontak saja perhatian kami jadi teralihkan sejenak. Laila bergegas lari dan mengecek keadaan putrinya yang menangis. Rupanya anak kecil itu baru saja menginjak mainan lego.

Bahkan karena Elsa berlari dengan cepat, kakinya sampai berdarah tertusuk bagian lego yang tajam.

“Duh, legonya nih jahat. Sudah cup, Sayang! Legonya sih di sini, udah nih mamah buang. Biar enggak nakalin kamu!”

Sudah tahu anaknya yang salah, membiarkan mainan yang sudah dipakai tetap berserak di lantai, jelas saja ketika ia berjalan akan melukai kaki.

“Tuh ‘kan Mbak, gara-gara kamu enggak beresin jadi begini.”

“Kamu ibunya kok, malah nyalahin aku! Anak main udah selesai kok dibiarin aja. Aku juga mau nyapu juga susah kalau mainannya enggak diberesin begini,” ucapku yang sudah tak tahan degan Laila yang tidak mau disalahkan itu.

Tepat saat aku meluapkan emosi, rupanya Bang Romi sudah tiba di depan rumah. Ia sepertinya cukup terkejut dengan ucapanku. Tak hanya itu bahkan kondisi rumah yang berantakan juga membuat wajah Bang Romi makin berkerut.

“Ini kenapa jadi ribut-ribut begini?” tanya Bang Romi.

Melihat kakaknya tiba, mata Laila malah berbinar, sepertinya ia akan memulai pertunjukan drama kembali.

“Ini Mas, Elsa kakinya kena lego. Tuh lihat sampai berdarah. Udah gitu Mbak Mayra malah marah-marah suruh Elsa beresin mainannya.”

“Aku enggak nyuruh Elsa, tapi ibunya. Orang dari pagi aku lihat mainan dibiarin begini terus, enggak ada yang mau beresin,” ucapku kala Bang Romi mengalihkan pandangannya padaku.

Aku sengaja mendahului sebelum ia mengajukan pertanyaan. Pasalnya aku tidak ingin disalahkan dalam hal ini. Seharusnya Bang Romi juga mendengar ucapanku saat ia baru saja tiba. Di mana aku menyalahkan Laila yang tak mau lekas mengemas mainan anaknya.

“Emang kenapa enggak langsung kamu beresin, Laila?”

“Bukan begitu Mas, aku dari pagi tuh sibuk. Nyari makanan ke sana sini. Abisnya Mbak Mayra ‘kan enggak masak, kalau enggak percaya tanya Mbak Silvi.”

“Iya Rom, kami jadi enggak sempat membereskan mainannya. Abisnya udah dibereskan juga ‘kan sama anak-anak ditumpahin lagi. Jadi kami biarkan dulu.”

“Aku kok bisa kok beresin mainan yang diberantakin Elsa, bahkan bisa juga masak di rumah. Cuma aku emang lagi enggak masak aja hari ini, tapi tenang aja aku udah beli makanan di luar buat makan Abang.”

Aku menunjukkan kantong plastik yang berisi lauk pauk, yang malah menjadi perhatian semua orang. Mungkin karena mereka pikir aku akan membeli makanan dalam jumlah yang besar.

“Lain kali kamu beresin sendiri dong Laila, kalau udah begini siapa yang dirugikan. Anakmu jadi terluka.”

“Ya, kalau aja Mbak May masak, aku juga enggak akan sesibuk ini.”

“Masa? Selama ini aku terus kok Bang yang beresin. Sekarang baru sehari aja aku enggak beresin, lihat aja rumah kita jadi begini.”

“Sudah May, kamu beresin aja dulu! Dari pada jadi ribut perkara mainan anak,” ucap Mbak Silvi.

Sepertinya sekarang aku akan lebih banyak yang membenci. Sudahlah lagi pula aku sudah baik pun tetap saja mereka malah memperlakukanku dengan semaunya. Di tengah Laila dan Mbak Silvi yang tengah membereskan mainan Bang Romi malah menghampiriku ke dapur.

“Kamu tumben enggak masak?”

“Sengaja.”

“Loh kok gitu?”

“Ya biar Abang tahu ke mana habisnya uangku selama ini. Lihat ‘kan sekarang aku enggak masak, mereka malah nyalahin aku, padahal selama ini aku yang masak buat mereka semua. Cuma pengen libur sehari aja enggak masak dan enggak beliin mereka makanan ngomongnya udah ke mana-mana,” ucapku.

“May, kamu beliin Cuma buat Abang aja itu benar?”

“Iya, Abang sendiri ‘kan yang bilang. Masak seandainya aja, sekarang kok malah bilang gini?”

“Bukan gitu Dek, Abang merasa sikap kamu sedikit berbeda.”

“Kenapa Abang enggak terima adik sama kakak Abang disuruh beresin maen anak-anaknya. Ya udah, abis makan aku beresin semuanya sekalian nanti cucikan baju-baju mereka juga seperti biasanya. Itu ‘kan yang Abang mau? Heran deh, Cuma gara-gara gak masak dan gak beresin maenan sehari aja begini bagaimana kalau selamanya. Kok malah kesannya aku jadi kayak pembantu di sini? Besok-besok suruhlah lebih banyak orang lagi ke sini, Bang!”

“Adek kok ngomongnya begitu?”

“Ya Abang maunya bagaimana? Kenyataannya Abang begitu ‘kan? Sebenarnya Abang minta aku tinggal di sini buat jadi istri apa pelayan buat saudara-saudara Abang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status