Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.
“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap biasa, meskipun mereka tidak ramah padaku.“Kamu sehari-harinya emang biasa enggak ngurus rumah begini ya May, enggak masak juga? Terus nanti adikku mau kasih makan apa,” tanya Mbak Silvi dengan nada yang angkuh.Di sampingnya Laila juga menatapku dengan sorot penuh kebencian.“Beli jadi di warung.”“Enak banget hidup kamu, enggak udah masak. Enggak beres-beres. Adikku yang kasihan kerja banting tulang, istrinya malah nyari yang instan aja.”“Yang panting kalau pas suamiku makan ada lauknya. Rumah juga udah aku beresin tadi pagi. Ya aku juga enggak tahu kenapa bisa berantakan lagi. Dari pagi Rehan juga di kamar.”“Oh jadi kamu mau nyalahin kamu yang berantakin rumah?”“Memang benar ini mainannya Elsa sama Yora ‘kan? Kenapa harus aku yang beresin. Saling pengertian ajalah Mbak, aku juga punya anak yang harus aku urus. Kalau sekiranya berantakan tolong diberesin lagi.”Sungguh rasanya lega sekali bisa mengungkapkan keinginan yang selama ini terpendam. Masa bodo dengan mereka yang akan berpikir macam-macam atau parahnya akan mengadukan masalah ini pada Bang Romi dan ibu mertuaku. Aku hanya tak tahan dengan kelakuan mereka yang setiap hari semakin semena-mena.“Kamu nyuruh kami yang beresin gitu?” tanya Mbak Silvi yang seolah tak merasa bersalah sama sekali.Entah mereka ini masih punya rasa empati atau tidak, kenapa begitu keras kepala dan selalu mau dilayani.“Ya mau bagaimana lagi orang yang berantakin mainan Elsa sama Yora, masa harus aku juga yang beresin? Gantianlah Mbak, Laila, jangan selalu aku yang ngurusin semuanya.”Laila dan Mbak Silvi malah saling menatap sepertinya mereka masih tidak menyangka jika aku akan mengatakan hal itu. Pasalnya selama ini aku selalu diam, mau seberapa menyebalkannya pun yang mereka lakukan.“Aduuhhh!”Di tengah perdebatan kami tiba-tiba saja Elsa malah berteriak kesakitan. Sontak saja perhatian kami jadi teralihkan sejenak. Laila bergegas lari dan mengecek keadaan putrinya yang menangis. Rupanya anak kecil itu baru saja menginjak mainan lego.Bahkan karena Elsa berlari dengan cepat, kakinya sampai berdarah tertusuk bagian lego yang tajam.“Duh, legonya nih jahat. Sudah cup, Sayang! Legonya sih di sini, udah nih mamah buang. Biar enggak nakalin kamu!”Sudah tahu anaknya yang salah, membiarkan mainan yang sudah dipakai tetap berserak di lantai, jelas saja ketika ia berjalan akan melukai kaki.“Tuh ‘kan Mbak, gara-gara kamu enggak beresin jadi begini.”“Kamu ibunya kok, malah nyalahin aku! Anak main udah selesai kok dibiarin aja. Aku juga mau nyapu juga susah kalau mainannya enggak diberesin begini,” ucapku yang sudah tak tahan degan Laila yang tidak mau disalahkan itu.Tepat saat aku meluapkan emosi, rupanya Bang Romi sudah tiba di depan rumah. Ia sepertinya cukup terkejut dengan ucapanku. Tak hanya itu bahkan kondisi rumah yang berantakan juga membuat wajah Bang Romi makin berkerut.“Ini kenapa jadi ribut-ribut begini?” tanya Bang Romi.Melihat kakaknya tiba, mata Laila malah berbinar, sepertinya ia akan memulai pertunjukan drama kembali.“Ini Mas, Elsa kakinya kena lego. Tuh lihat sampai berdarah. Udah gitu Mbak Mayra malah marah-marah suruh Elsa beresin mainannya.”“Aku enggak nyuruh Elsa, tapi ibunya. Orang dari pagi aku lihat mainan dibiarin begini terus, enggak ada yang mau beresin,” ucapku kala Bang Romi mengalihkan pandangannya padaku.Aku sengaja mendahului sebelum ia mengajukan pertanyaan. Pasalnya aku tidak ingin disalahkan dalam hal ini. Seharusnya Bang Romi juga mendengar ucapanku saat ia baru saja tiba. Di mana aku menyalahkan Laila yang tak mau lekas mengemas mainan anaknya.“Emang kenapa enggak langsung kamu beresin, Laila?”“Bukan begitu Mas, aku dari pagi tuh sibuk. Nyari makanan ke sana sini. Abisnya Mbak Mayra ‘kan enggak masak, kalau enggak percaya tanya Mbak Silvi.”“Iya Rom, kami jadi enggak sempat membereskan mainannya. Abisnya udah dibereskan juga ‘kan sama anak-anak ditumpahin lagi. Jadi kami biarkan dulu.”“Aku kok bisa kok beresin mainan yang diberantakin Elsa, bahkan bisa juga masak di rumah. Cuma aku emang lagi enggak masak aja hari ini, tapi tenang aja aku udah beli makanan di luar buat makan Abang.”Aku menunjukkan kantong plastik yang berisi lauk pauk, yang malah menjadi perhatian semua orang. Mungkin karena mereka pikir aku akan membeli makanan dalam jumlah yang besar.“Lain kali kamu beresin sendiri dong Laila, kalau udah begini siapa yang dirugikan. Anakmu jadi terluka.”“Ya, kalau aja Mbak May masak, aku juga enggak akan sesibuk ini.”“Masa? Selama ini aku terus kok Bang yang beresin. Sekarang baru sehari aja aku enggak beresin, lihat aja rumah kita jadi begini.”“Sudah May, kamu beresin aja dulu! Dari pada jadi ribut perkara mainan anak,” ucap Mbak Silvi.Sepertinya sekarang aku akan lebih banyak yang membenci. Sudahlah lagi pula aku sudah baik pun tetap saja mereka malah memperlakukanku dengan semaunya. Di tengah Laila dan Mbak Silvi yang tengah membereskan mainan Bang Romi malah menghampiriku ke dapur.“Kamu tumben enggak masak?”“Sengaja.”“Loh kok gitu?”“Ya biar Abang tahu ke mana habisnya uangku selama ini. Lihat ‘kan sekarang aku enggak masak, mereka malah nyalahin aku, padahal selama ini aku yang masak buat mereka semua. Cuma pengen libur sehari aja enggak masak dan enggak beliin mereka makanan ngomongnya udah ke mana-mana,” ucapku.“May, kamu beliin Cuma buat Abang aja itu benar?”“Iya, Abang sendiri ‘kan yang bilang. Masak seandainya aja, sekarang kok malah bilang gini?”“Bukan gitu Dek, Abang merasa sikap kamu sedikit berbeda.”“Kenapa Abang enggak terima adik sama kakak Abang disuruh beresin maen anak-anaknya. Ya udah, abis makan aku beresin semuanya sekalian nanti cucikan baju-baju mereka juga seperti biasanya. Itu ‘kan yang Abang mau? Heran deh, Cuma gara-gara gak masak dan gak beresin maenan sehari aja begini bagaimana kalau selamanya. Kok malah kesannya aku jadi kayak pembantu di sini? Besok-besok suruhlah lebih banyak orang lagi ke sini, Bang!”“Adek kok ngomongnya begitu?”“Ya Abang maunya bagaimana? Kenyataannya Abang begitu ‘kan? Sebenarnya Abang minta aku tinggal di sini buat jadi istri apa pelayan buat saudara-saudara Abang?”“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum
“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”
Bahkan tanpa menengok ke belakang aku sudah tahu jika suara itu sudah pasti milik Bang Romi. Entah bagaimana bisa dia tahu keberadaan kami. Aku bahkan tak merasa memberitahunya sama sekali. Sekarang kalau sudah begini jangankan menenangkan diri, sekedar ingin beristirahat dari pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada akhirnya bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi.Rehan terus saja mengajak bicara ayahnya, sementara aku hanya mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Rasanya aku juga tidak punya hal yang ingin dibicarakan dengannya. Meskipun aku tahu sejak tadi Bang Romi terus saja mencuri-curi pandang padaku. Sayangnya, Rehan juga tak memberinya kesempatan untuk bisa berbincang denganku. Anak itu terus saja mengajaknya bicara. Syukurlah aku jadi tidak harus bicara dengannya.Cukup lama ayah dan anak itu terus membicarakan hal-hal yang entah. Dari yang penting bahkan sampai hal konyol. Sampai akhirnya aku merasa Bang Romi sudah tak tahan lagi.“Rehan en
“Abang enggak mau ceraikan kamu,” ucap Bang Romi sambil memegangi lenganku.Seolah tubuhnya pun ikut merayu agar aku percaya kalau saat ini lisannya tidak sedang berdusta. Ah sayangnya, sikapmu memang selalu manis, tetapi kenyataannya tidak begitu.“Kalau begitu aku yang gugat,” ucapku dengan yakin.Memang tak ada nada yang meletup-letup saat mengucapkan hal itu. Bagaimana bisa aku punya semnagat untuk bicara dengan nada yang begitu emosional, kalau hasratku untuk bertahan hidup saja seakan memudar setiap hari. Aku bahkan harus memupuknya dengan kalimat-kalimat tasbih yang tak henti-hentinya aku lantunkan. Aku tahu, sekarang ada Rehan. Jika aku saja menyerah ini pada kehidupan, lalu bagaimana dengan hidup Rehan tanpa bundanya?“May.”“Bang aku capek, beneran capek banget ngurusin keluarga Abang yang enggak ada selesai-selesainya. Boleh ya, aku istirahat dulu. Lagi pula aku merasa lebih baik kalau hidup send
PoV Romi.Aku tidak pernah tahu kalau Mayra akan senekat itu. Ia yang memilih tinggal di kontrakan kecil bahkan tidur hanya dengan beralaskan karpet using yang tipis. Benar-benar membuatku tak habis pikir, kenapa ia memilih menderita di sana dari pada tinggal di rumah yang jauh lebih nyaman. Ia bilang lebih tenang tinggal di tempat seperti itu dari pada di rumah.Aku tahu rumah itu memang dihuni oleh anggota keluargaku yang lain, tetapi aku juga tidak bermaksud menjadikan Mayra pelayan di rumah kami. Aku tidak menyangka kalau kelakuan adik dan kakakku akan semalas itu. Baru seharian rumah ditinggal Mayra keadaannya begitu kacau. Malam di mana Mayra pergi keadaan benar-benar tak terkendali. Semua orang menyalahkanku yang tak bisa mendidik istri. Sehingga ia begitu lancang.Aku sendiri terkejut akan sikap Mayra yang biasanya lembut, kini mendadak senekat itu. Ia pergi begitu saja dengan keadaan emosi yang masih menggebu-gebu. Semua orang menahanku malam itu. Andai