Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”
Bahkan tanpa menengok ke belakang aku sudah tahu jika suara itu sudah pasti milik Bang Romi. Entah bagaimana bisa dia tahu keberadaan kami. Aku bahkan tak merasa memberitahunya sama sekali. Sekarang kalau sudah begini jangankan menenangkan diri, sekedar ingin beristirahat dari pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada akhirnya bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi.Rehan terus saja mengajak bicara ayahnya, sementara aku hanya mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Rasanya aku juga tidak punya hal yang ingin dibicarakan dengannya. Meskipun aku tahu sejak tadi Bang Romi terus saja mencuri-curi pandang padaku. Sayangnya, Rehan juga tak memberinya kesempatan untuk bisa berbincang denganku. Anak itu terus saja mengajaknya bicara. Syukurlah aku jadi tidak harus bicara dengannya.Cukup lama ayah dan anak itu terus membicarakan hal-hal yang entah. Dari yang penting bahkan sampai hal konyol. Sampai akhirnya aku merasa Bang Romi sudah tak tahan lagi.“Rehan en
“Abang enggak mau ceraikan kamu,” ucap Bang Romi sambil memegangi lenganku.Seolah tubuhnya pun ikut merayu agar aku percaya kalau saat ini lisannya tidak sedang berdusta. Ah sayangnya, sikapmu memang selalu manis, tetapi kenyataannya tidak begitu.“Kalau begitu aku yang gugat,” ucapku dengan yakin.Memang tak ada nada yang meletup-letup saat mengucapkan hal itu. Bagaimana bisa aku punya semnagat untuk bicara dengan nada yang begitu emosional, kalau hasratku untuk bertahan hidup saja seakan memudar setiap hari. Aku bahkan harus memupuknya dengan kalimat-kalimat tasbih yang tak henti-hentinya aku lantunkan. Aku tahu, sekarang ada Rehan. Jika aku saja menyerah ini pada kehidupan, lalu bagaimana dengan hidup Rehan tanpa bundanya?“May.”“Bang aku capek, beneran capek banget ngurusin keluarga Abang yang enggak ada selesai-selesainya. Boleh ya, aku istirahat dulu. Lagi pula aku merasa lebih baik kalau hidup send
PoV Romi.Aku tidak pernah tahu kalau Mayra akan senekat itu. Ia yang memilih tinggal di kontrakan kecil bahkan tidur hanya dengan beralaskan karpet using yang tipis. Benar-benar membuatku tak habis pikir, kenapa ia memilih menderita di sana dari pada tinggal di rumah yang jauh lebih nyaman. Ia bilang lebih tenang tinggal di tempat seperti itu dari pada di rumah.Aku tahu rumah itu memang dihuni oleh anggota keluargaku yang lain, tetapi aku juga tidak bermaksud menjadikan Mayra pelayan di rumah kami. Aku tidak menyangka kalau kelakuan adik dan kakakku akan semalas itu. Baru seharian rumah ditinggal Mayra keadaannya begitu kacau. Malam di mana Mayra pergi keadaan benar-benar tak terkendali. Semua orang menyalahkanku yang tak bisa mendidik istri. Sehingga ia begitu lancang.Aku sendiri terkejut akan sikap Mayra yang biasanya lembut, kini mendadak senekat itu. Ia pergi begitu saja dengan keadaan emosi yang masih menggebu-gebu. Semua orang menahanku malam itu. Andai
“Mbak ngadu ke ibu sama bapak?” tanyaku.“Aku enggak ngadu. Cuma kasih tau aja, biar mereka bisa nasehatin anaknya yang udah salah arah.”“Salah arah? Sadar enggak sih, rumah tangga aku hancur gara-gara kalian? Aku bantu kalian di sini, tapi kayak gini balasannya buat aku sama Mayra?”Entah kenapa Mbak Silvi sama menyebalkannya dengan Laila, untuk apa juga ia mengadukan semua ini pada ibu. Aku pikir ia sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah sendiri. Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga, kenapa jadi mereka yang malah begitu alot meninggalkan rumah ini.“Romi, kamu kok begitu ngomong sama Silvi? Dia ini kakak kamu loh! Kenapa enggak ada sopan santunnya sama sekali!” ucap ibuku.Rupanya dia mendengar apa yang baru saja kuutarakan. Di sampingnya juga ada bapak yang menatapku dengan pandangan yang marah
“Kamu ngomong apa sih Romi, jelas-jelas kamu ini anak ibu. Bisa-bisanya kamu ngomong begitu!”Saat itu aku bisa melihat kemarahan yang teramat sangat di wajah ibuku. Hanya saja apalah arti ucapannya jika perilaku mereka mencerminkan hal yang sebaliknya.“Romi jangan keterlaluan ya kamu! Ucapan kamu itu udah nyakitin ibu!”Sekarang Mbak Silvi bahkan ikut angkat suara.“Romi dari tadi bapak diam, tapi sekarang semakin dibiarkan omonganmu ini jadi ke mana-mana. Ibu dan bapak yang merawat kamu dari kecil, jelas kamu ini anak kami. Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu? Apa karena wanita itu? Bilang apa dia sama kamu, sampai nuduh kami bukan orang tua kandungmu?”“Aku enggak nuduh, Romi cuma mempertanyakan kenapa sikap Bapak sama Ibu beda banget. Kalian bisa peduli sama Mbak Silvi dan Laila, tapi kenapa enggak sama Romi. Lihat rumah tangga Romi berantakan aja, kalian malah seneng. Ibu sama sekali enggak mau nyega