Share

6

BAGIAN 6

              Semalaman itu aku benar-benar gelisah. Rasa sedih merasuk dan mencabik-cabik perasaan. Sebab tak konsentrasi, malam itu kubiarkan Naya tidur dengan Mamak. Padahal, biasanya aku tak bakalan mau pisah tidur dengan bocah kecil itu, kecuali kalau sedang lembur di studio.

Makan tak selera, tidur pun tak nyenyak. Sepanjang malam, hanya W******p dari Mas Cipta saja yang kutunggu. Permintaan maafnya yang kuharapkan betul. Namun, sia-sia. Lelaki itu memang tampaknya hanya memanfaatkanku saja selama ini. Pupus sudah harapan dan cita-cita untuk melepas masa janda akhir tahun. Semua hanya sekadar mimpi indah belaka.

              Aku sudah bersiap sejak pagi-pagi buta untuk mencari nafkah. Saking ingin membuang rasa galau, hari ini kubersihkan rumah dari ujung ke ujung. Menyiapkan sarapan buat Mamak dan Naya. Membawa bekal segala. Biasanya, urusan rumah Mamak yang handle. Dia paling tak suka kalau aku yang mengerjakannya. Mamak bilang, biar saja keringatku habis di studio sana. Biar kasar begitu, sebenarnya beliau tak mau membuatku lelah dua kali. Kalau sudah cari uang, cari uang saja. Jangan ditambah dengan pekerjaan rumah. Kalau mengingat itu, aku rasanya mau menangis. Sayang betul Mamak kepadaku.

              “Lho, Res, awal kali kamu bangun? Kok, sudah siap semuanya?” Mamak yang baru bangun, datang hendak mengambil wudu di toilet. Dia agak kaget saat melewati meja makan yang sudah siap dengan sajian ikan goreng dan sayur bening yang masih mengepul uap panasnya.

              “Nggak apa-apa, Mak. Sekalian aku mau bekal. Lagian, sekarang sudah hampir setengah enam. Mamak saja yang bangunnya kesiangan,” ledekku sembari memasukan lauk pauk ke dalam wadah plastik bekal.

              “Ih, bergaya kamu, ya!” kata Mamak sambil berlalu dan menjitak pelan kepalaku.

              Aku hanya tersenyum. Padahal, di balik senyuman itu ada kegetiran yang tengah kurasa.

              Saat aku hendak ke kamar untuk bertukar pakaian, Mamak sudah selesai berwudu dan kami pun kembali berpapasan.

              “Kenapa kamu, Res? Sedih betul mukamu?” Mamak menatapku sekilas. Wajahnya tampak menyelidik.

              “Ah, nggak. Biasa aja. Aku mau berangkat ya, Mak. Mau ngerjain job yang kemarin belum selesai.”

              Aku tak mau memandangi Mamak berlama-lama. Takut dia akan membaca isi kepalaku lagi.

              “Bohong, kamu! Pasti ini gara-gara masalah kemarin,” kata Mamak sambil mencegat lenganku.

              “Ih, nggak, kok!” Aku terus berkelit. Malas bantah-bantahan dengan Mamak lagi.

              “Awas, ya, kalau kamu menghubungi Cipta lagi! Mamak tebas nanti anak itu!”

              Aku terkesiap. Kagetlah! Masa anak orang mau ditebas sama dia.

              “Nggak, Mak. Aku nggak bakal menghubungi dia lagi. Biarin ajalah dia.”

              Aku menepis pelan tangan Mamak. Berjalan dengan langkah buru-buru untuk masuk segera ke kamar.

Sampai di ruangan berukuran 3 x 3,5 meter tersebut, perasaanku sebenarnya kacau sekali. Kulihat lagi ponsel yang tergeletak di kasur. Mengecek apakah ada W******p masuk atau tidak. Nyatanya nihil. Tak ada pesan apa pun di sana. Hancur sekali hatiku.

              Bergegas aku pun mengenakan gamis warna cokelat susu dengan lis warna pink di bagian ban ujung tangannya. Ini adalah hasil karyaku sendiri. Satu stel dengan khimarnya yang berwarna pink.

              Kukaitkan ransel di kedua pundak, membawa ponsel, tak lupa bekal yang sudah kusiapkan di dapur. Sebelum berangkat naik motor, aku menyempatkan diri untuk ke kamar Mamak terlebih dahulu. Menjenguk si kecil yang masih tidur lelap di kasur besar Mamak.

              Mamak sendiri tampak masih terbalut dalam mukena putihnya. Menengadahkan tangan dan berdoa dengan suara lirih.

              Saat aku mengecup kening Naya, kudengar sekilas doa Mamak yang diiringi dengan sedu sedannya.

              “Ya Allah, kasihinilah anak tunggalku. Berikan dia jodoh yang baik, yang saleh. Jauhkan dia dari laki-laki jahat seperti Angga dan Cipta. Sesungguhnya anakku itu gadis yang baik. Hanya, terkadang dia bodoh saja dan berpikiran dangkal.”

              Terhenyak aku mendengarnya. Mamakku. Dalam doa pun masih dia sebutkan namaku. Dia doakan aku sambil terisak-isak. Ya Allah, rasanya aku sungguh merasa sangat bersalah sebab masih memikirkan Mas Cipta.

              “Mak, aku berangkat, ya?” ucapku sambil menyodorkan tangan ke arahnya. Wajah Mamak yang basah oleh air mata langsung merengut.

              “Ish, kamu ini! Orang lagi khusyuk doa juga!” Mamak langsung menepuk pelan tanganku. Menyodorkan tangannya untuk kucium. Tak lupa beliau juga mengecup lembut keningku.

              “Jangan kelewat bodoh kali lah kamu ya, Nak. Sudah cukup kamu dimanfaatnkan sama laki-laki.”

              “Iya, Mak. Siap.”

              “Jangan siap-siap aja tapi nggak kamu lakuin!” Mamak menjitak pelan kepalaku lagi. Duh, dasar Mamak rembo. Sikit-sikit jitak, sikit-sikit ngamok. Namun, bagaimana pun aku tetap sayang, kok.

***

              Setibanya di studio tepat pukul enam pagi, aku dikejutkan dengan kehadiran Arfan. Lelaki bertubuh sedang dengan pembawaan tenang dan wajah yang lumayan itu kini tengah menyapu halaman studio yang memang ditumbuhi dengan aneka ragam pepohonan. Ada pohon nangka, jambu air, dan pohon bunga kenanga yang semuanya sering menjatuhkan daun-daun gugur.

              “Awal banget, Fan!” tegurku kepada lelaki yang kini sedang memakai kaus berkerah warna oranye dengan motif garis-garis tersebut.

              Lelaki yang sedang memegang sapu lidi bertangkai kayu panjang tersebut hanya mengulas senyum manis. Menampakkan dua buah lesung pipit dalam pada kedua pipinya.

              “Iya, Mbak.” Hanya jawaban itu yang keluar dari bibirnya. Aku yang baru memarkirkan motor di depan halaman studio pun hanya bisa diam-diam mensyukuri kehadiran Arfan di sini. Dia karyawan yang rajin. Sejak enam bulan lalu bekerja di sini, memang dia yang lebih sering datang awal ketimbang rekannya, Nisa.

              “Fan, nggak usah bersih-bersih amat nyapunya. Kamu bantuin aku motong pola dulu,” kataku kepada lelaki yang masih asyik menyapu tersebut.

              Dia menoleh. Memasang wajah yang teduh. “Tunggu Nisa datang dulu saja, Mbak.”

              Aku awalnya agak tersinggung. Kenapa dia membantah perintahku? Namun, tiba-tiba aku menyadari satu hal. Oh, mungkin dia tidak enak kalau hanya berduaan denganku di dalam.

              “Oke, deh. Aku motong sendiri aja.”

              Aku pun masuk ke studio yang ruangannya dicat serba warna pink tersebut. Aku memang pecinta warna kalem tersebut. Makanya yang berbau pink, tetap jadi koleksiku.

              Kuletakkan tas dan bekal makanan ke meja makan yang terletak di ruang makan belakang—menyatu dengan dapur sederhana tempat aku dan Nisa kerap memasak mie instan atau membuat minuman. Studioku ini lumayan lengkap perkakasnya, memang sudah disediakan oleh si empunya rumah. Makanya, aku betah meskipun ongkos sewanya lumayan. Masih ketutup sih, dengan orderan kami yang makin membludak.

              Saat aku hendak kembali ke depan, aku tiba-tiba dikejutkan dengan suara ribut-ribut di halaman. Seperti suara teriakan. Lebih mirip ke arah perkelahian.

              Aku pun mempercepat langkah. Setengah berlari meninggalkan ruang makan untuk mencapai bagian depan studio kami. Saat kakiku sudah menginjak teras, maka mataku pun terbelalak besar. Seorang wanita bertubuh tambun dengan rambut sebahu tengah marah-marah mengamuk kepada Arfan.

              “Mana bosmu! Biarkan aku masuk menemuinya!” Perempuan itu berusaha menerobos adangan Arfan. Namun, karyawanku tersebut berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya.

              Dewi! Ya, itu Dewi calon istrinya si Angga. Ngapain lagi dia ke sini?

              “Arfan! Biarkan dia masuk!” teriakku kepada Arfan yang berada di pintu gerbang halaman. Lelaki itu pun menoleh dan akhirnya membiarkan Dewi untuk masuk. Tampak oleh mataku, tubuh gendut Dewi sempat-sempatnya menubruk Arfan hingga lelaki itu hendak terpental. Memang kurang ajar, pikirku.

              Dewi yang mengenakan celana jin hitam ketat dan blus lengan panjang warna gold itu berjalan sembari memegang ponselnya yang kini mengarah ke depan. Firasatku mulai tak enak. Apa yang mau dia lakukan.

              “Eh, penjahit amatiran! Apa masalahnya kamu ngembaliin uang dan membatalkan orderan secara sepihak! Aku sudah capek-capek ke sini buat ngukur, buang waktu dan tenaga, kenapa ujung-ujungnya malah kamu cancel!” Dewi ngamuk-ngamuk sembari mengacungkan ponselnya ke wajahku. Oh, dia sedang merekam?

              Cepat kusambar ponselnya, tapi gadis itu malah mendorongku sampai aku terpental ke ubin. Sejurus kemudian, Arfan langsung berteriak menyebut namaku, dan terlihat bergegas ke sini.

              “Eh, Mbak, yang sopan, dong!” Arfan marah kepada Dewi. Membeliakkan mata dan buru-buru membantuku untuk berdiri.

              “Bosmu yang tidak sopan! Tidak profesional! Aku harus memviralkannya biar usahanya bangkrut sekalian!” Dewi berapi-api. Mukanya merah bagai kepiting rebus. Dia masih saja mengacungkan ponselnya, merekam muka kami dan bagian luar studio.

              “Ini ya, lokasi rumah jahitnya. Ada di jalan Antasari nomor 112. Namanya Re Tailor. Katanya dia ini desainer dan penjahit pengantin yang lagi naik daun. Nyatanya omong kosong! Bisanya cuma cancel kerjaan tanpa ada kejelasan! Mana uangnya dibalikin ke cowokku pula. Ada hubungan apa dia sama calon suamiku?” Dewi berujar dengan ketus. Merekam wajahku dan hendak masuk ke dalam untuk mengambil gambar lebih jelas.

              Hatiku seketika panas. Emosi ini bagai sudah naik ke ubun-ubun. Gila! Perempuan ini memang kurang waras. Sama saja dengan calon suaminya, si Angga.

              Tanpa pikir panjang lagi, kurebut ponsel tersebut dari tangan gemuk Dewi. Kubanting tanpa ampun benda pipih enam inci warna hitam itu ke atas ubin. Kuinjak-injak tanpa henti dengan sandal jepit rumah yang baru kuganti saat masuk tadi.

              “Apa kamu? Mau protes? Mau marah? Mau lapor polisi? Silakan! Aku tidak takut!” Aku ngamuk. Meneriakinya tanpa ampun. Biar badannya seperti toren pun, aku tidak takut sama sekali!

              “Angga itu laki-laki bajing*n! Dia mantan suamiku yang sudah mencampakkan aku dan anakku! Itu kalau kamu mau tahu siapa dia sebenarnya!” Kupungut ponsel yang telah remuk redam itu, lalu kulempar ke tubuh Dewi yang seakan kaku sebab mungkin ngeri melihat kemarahanku barusan.

              “Makan nih hape! Makan!” kataku dengan napas yang terengah-engah akibat termakan emosi yang meledak-ledak.

              Wajah pias Dewi tiba-tiba tersenyum. Lebar sekali. Ponsel yang mental saat mengenai tubuhnya tersebut, jatuh kembali ke ubin, dan tak dia pedulikan.

“Tadi itu, aku lagi live di I*******m, lho. Wow! Selamat ya, Mbak Resa yang cantik. Barang buktinya sudah tersiar ke lima ribu followersku. Setelah ini, aku akan melaporkan tindak pengrusakan yang baru saja kamu lakukan kepadaku!”

              Aku terhenyak. Rasanya mau pingsan saat itu juga. Cobaan apalagi ini, ya Allah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status