BAGIAN 5
“Sore semuanya,” sapa Mas Cipta sambil tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah Angga, kemudian kepada kami pemilik rumah. Feelingku sudah tak enak. Hari ini siap-siap saja perang dunia ketiga, benakku.
“Pergi kamu Angga! Apalagi yang kau tunggu!” hardik Mamak sambil masih menggendong Naya. Anakku sudah mau menangis. Melihat itu, cepat-cepat kuambil alih Naya, lalu berlari ke dalam. Kuberikan Naya pada Arin, agar dia tak perlu melihat keributan di depan.
“Mamak masih marah-marah, Res?” tanya Arin dengan muka yang khawatir.
“Masih, Rin. Bentar, ya. Jagain Naya dulu. Aku ke depan.”
Terdengar suara tangisan Naya yang tak mau ditinggal. Namun, aku tak menggubrisnya dan segera berlari ke depan. Kututup pintu depan dan menguncinya dari luar agar Naya tak bisa keluar. Kasihan anak itu. Nanti dia trauma.
“Makasih aja Mak, atas perlakuannya hari ini. Semua ini akan kuingat!” jawab Angga sambil memungut segepok uang yang tergeletak di tanah dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya, kini tengah memegang kuat dua plastik besar berisi makanan tersebut. Repot-repot dia cari muka datang ke sini. Dia pikir, aku bakal tersenyum bahagia dan memeluk tubuhnya, terus memohon-mohon untuk rujuk? Tidak akan!
“Jangan datang ke sini lagi, Angga! Kamu lihat sendiri, kan. Ini calon suamiku datang! Dia bahkan lebih ganteng dan berpendidikan ketimbang kamu! Bawa pergi uang dan mobilmu itu, aku sama sekali tidak tergiur!” Aku ikut menyemprot Angga. Suaraku kencang. Aku sudah putus asa sekarang. Mau tetangga satu komplek mendengar pun, biar saja. Jijik kali aku lihat mukanya si Angga yang tak tahu malu itu.
Angga pun berbalik badan sembari membawa pergi uangnya. Masih sempatnya lelaki itu menatap Mas Cipta dengan tatapan sinis. Apa urusannya dia sama pasanganku!
Mantan suamiku kini telah berlalu dengan mobil barunya tersebut. Menyisakan kami bertiga yang kini saling hadap-hadapan tanpa sepatah kata pun sampai mobil milik Angga sempurna menghilang. Aku bisa melihat jelas dari sini, tetangga di rumah-rumah depan pada keluar rumah dan tibat-tiba jadi nongkrong di teras masing-masing. Asem, emang. Bakal viral besok, pikirku.
“Kamu, Cipta, mau apa kamu ke sini?” Mamak beralih pada Mas Cipta. Lelaki itu tampak manggut-manggut tak enak hati. Aku jadi ikutan tak nyaman kepadanya. Duh, bagaimana ini? Jangan-jangan, Mamak juga mau mempermalukan Mas Cipta seperti Angga barusan?
“Mak,” katanya sambil naik ke teras dan meraih tangan Mamak untuk dia cium. Namun, Mamak menepisnya dengan sangat kasar. Membuatku sontak tutup mata, saking tak teganya melihat Mas Cipta diperlakukan demikian.
“Nggak usah kamu sok manis, ya! Aku tidak butuh!” semprot Mamak sambil mengeluarkan urat. Napasku rasanya jadi sesak. Duh, Mak, mbok ya sabar dulu. Kenapa harus pakai ngegas segala?
“Mak, jangan teriak-teriak, ah,” tegurku sambil menggamit lengannya.
“Eh, Resa! Jangan kamu ngatur-ngatur Mamak, ya! Kamu ini anak Mamak atau anak tetangga?” Aku langsung mati kutu. Diam tak menjawab lagi. Dari pada durhaka.
“Cipta ke sini mau silaturahmi, Mak.” Suara Mas Cipta terdengar gemetar. Seperti orang yang menahan takut.
“Silaturahmi, katamu? Bukannya mau minta uang ke anakku?!” Mamak makin ngegas. Dengan gigi satu, dia melaju dengan kecepatan paling tinggi. Aku pasrah. Sudah tak bisa melakukan apa pun selain menahan rasa malu.
“Eh, t-tidak, kok, Mak.”
Aku langsung terhenyak. Kaget. Mas Cipta, kok, dia bohong? Kok, dia menyangkal?
Langsung kuangkat wajah. Memperhatikan muka lelaki berhidung mancung itu dengan seksama. Tampak Mas Cipta agak kikuk dan salah tingkah.
“Aku nggak minta uang, kok, Mak. Mana pernah aku minta apa-apa ke Resa. Ya, kan, Res?” Mas Cipta tersenyum tak enak hati. Memperhatikanku dengan bola mata penuh kebohongan. Entah, saat itu juga, rasa cintaku kepadanya seolah menguap. Hilang bagai asap yang naik ke angkasa. Dia bilang tidak pernah minta apa-apa? Mengapa dia tak jujur kepada mamakku?
“Resa, kamu lihat sendiri, kan, pilihanmu ini! Bahkan dia nggak mau ngaku sama mamakmu. Modelan tikus pengerat begini yang mau kamu pertahankan, Res?!” Mamak melepaskan gamitan tangaku kasar. Menatapku sambil berkacak pinggang dengan wajah galaknya. Mata tua Mamak bahkan membelalak besar seperti serigala mau menerkam kelinci buruannya.
Langsung timbul sakit hatiku kepada Mas Cipta saat itu juga. Muak sekali. Tega-teganya dia bicara bohong kepada Mamak yang meskipun sangat galak, tapi begitu kucintai lebih dari apa pun tersebut.
“Kita putus, Mas! Kita tidak usah jadi nikah! Aku pendusta!” Aku menunjuk-nunjuk wajah Mas Cipta yang berdiri tegak di hadapanku tersebut. lelaki itu langsung tampak marah. Keningnya berkerut dan memperhatikanku dengan tatapan jijik.
“Pendusta? Bukannya kamu sendiri yang mau memberikan uang kepadaku, Res? Kenapa malah aku yang dituduh minta segala?”
Ternganga aku dibuatnya. Belum menikah saja, dengan gampangnya dia memutar balikkan fakta. Mas Cipta, aku pikir hampir setahun kita kenal dan beberapa bulan menjalin komitmen, kamu itu tulus. Namun, tidak kutemukan ketulusan itu dari sorot matamu saat ini. Allah memang Maha Adil. Secepat kilau Dia beri petunjuk kepada-Ku.
Plak! Kutampar wajah lelaki itu dengan keras. Pertanda bahwa aku sangat kecewa kepadanya.
“Kurang ajar kamu, Mas! Jelas-jelas kamu yang minta uang sejuta kepadaku. Saat aku tanya kapan kamu akan membawaku ke orangtuamu, kamu malah berkelit terus. Kamu hanya ingin mempermainkan aku, kan? Kamu pikir, aku ini gampangan, kan?”
“Halah! Baru jadi tukang jahit aja lagak bicaramu seperti wanita terhormat saja, Res! Janda gatal!” Benar-benar tak kusangka, Mas Cipta malah mencaci makiku, bahkan di hadapan Mamak.
“Kamu yang laki-laki pengeretan! Tidak tahu malu! Jual muka demi uang!” Mamak pun beraksi. Memukuli tubuh tinggi Mas Cipta sampai lelaki itu bergerak mundur dan ketakutan. Dia sibuk melindungi diri dari amukan Mamak yang ternyata semakin ganas tersebut.
“Pergi kamu! Jangan pernah kembali ke sini lagi!” Keras sekali Mamak menendang ban motor milik Mas Cipta. Membuat lelaki itu kalang kabut dan cepat-cepat memakai helm, lalu tancap gas.
Aku hanya bisa menangis. Terhenyak dengan kalimat terakhir Mas Cipta yang begitu merendahkan derajatku. Harga diriku hancur lebur dibuatnya. Bahkan dia berkata dengan suara yang keras, membuat tetangga sekitar yang sudah standby sebagai wartawan infoitanmen tersebut bisa mendengar jelas.
“Itu yang pada ngumpul di teras, ngapain? Pada mau ngetawain anakku?” Mamak berkacak pinggang di depan pagar rumah, menunjuki para tetangga rumah depan yang asyik duduk melihat kejadian di rumah kami.
“Pada masuk sana!” Mereka pun berhamburan masuk ke rumah masing-masing saat diteriaki Mamak untuk kedua kalinya.
Aku yang masih berdiri di teras dengan wajah basah akan air mata, hanya bisa menunduk sekaligus membeku. Suara derap langkah Mamak terdengar makin mendekat, membuatku merasa takut dimarahi lagi.
“Dengar sendiri kamu, Res? Dengar, kan?” teriaknya nyaring membuatku makin tergugu.
“Janda gatal kamu dibilangnya! Apa kamu tidak malu digelari seperti itu?”
Maka, tangisku pun semakin pilu. Kudekap tubuh Mamak dan sesegukanlah diriku di dalam peluknya.
Mak, salahkah aku menjadi janda? Mengapa statusku begitu hina di mata orang?
Mak, mengapa tak ada satu pun pria yang tulus kepadaku? Dari perekonomianku morat marit, sampai mau bangkit pun, tak ada yang mau mencintaiku tanpa syarat. Semuanya dengan motif dan modus. Ya Allah, salah apa aku sebenarnya?
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 22 “Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.” Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang. “Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga. &ldq
BAGIAN 21 Mataku membulat sempurna saat menatap halaman rumah yang sudah terparkir dua buah sepeda motor bebek di depannya. Tentu itu bukan motor keluargaku. Bukan motor Mamak juga. Aku pun membatin dalam hati. Itu pasti milik Arfan dan kedua orangtuanya. Motor kulesatkan sampai ke halaman yang pagarnya memang dibuka lebar. Semakin yakin aku bahwa di dalam sana ada Arfan dan calon mertuaku, sebab sandal-sandal yang tergeletak di depan teras salah pasangnya adalah milik Arfan. Jantungku makin berdegup keras, bersamaan dengan perasaan buncah yang luar biasa. Sampai aku sempat lupa bahwa di belakang sana ada sosok Angga yang memang mengikuti sejak dari studio tadi. Aku langsung menghentikan motor matikku. Melepaskan helm dan menyang
BAGIAN 20 Keesokan harinya, entah mengapa suasana studio jadi lain. Bukan sebab ramai yang mengukur pakaian, tapi sebab perubahan sikap Nisa dan Arfan. Baik antara mereka berdua, maupun kepadaku. Arfan tampak malu sekaligus sungkan padaku, sedangkan Nisa lebih banyak diam dan menghindar. Tentu saja, ada tanda tanya besar dalam kepala ini mengenai perubahan sikap karyawan perempuanku. Apakah dia sungguh sedang patah hati? Total ada tiga orang klien yang datang dari pagi hingga sore hari. Semuanya ingin mengukur pakaian pengantin. Dua kebaya, sedang satunya gaun modern bertema princess. Tiga-tiganya kami sanggupi. Deadline memang masih lama. Sebulan lagi. Kurasa semua tetap bisa kami handle, meskipun aku juga tengah memikirkan konsep yang cocok untuk pernikahan kami kelak. Duh, maaf, ya. M
BAGIAN 19 “Jadi, kamu siap buat menikah dengan anak tunggalku itu?” Raut wajah Mamak lagi-lagi tampak galak. Wanita paruh baya yang mengenakan daster lengan panjang motif bunga-bunga kecil warna marun dan jilbab instan bahan jersey warna senada tersebut melempar pandagan sengit ke arah Arfan. Lelaki yang telah bertukar pakaian dengan koko putih dan celana ¾ warna abu gelap itu tampak duduk menghadap ke arah kami berdua dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Naya sengaja sudah kutitipkan ke rumah sebelah, agar pembicaraan ini bisa berjalan tanpa gangguan. “Iya, Mak. Insyaallah,” jawabnya sambil mengangguk sopan. “Kamu tahu kan, kalau anakku sudah janda. Anaknya satu. Siap kamu mene