BAGIAN 22
“Kalau dari kami pribadi, inginnya bulan depan untuk akad.”
Ucapan bapaknya Arfan yang bernama Pak Ahmad tersebut membuat mataku membulat. Sambil mengusap-usap kepala Naya yang tengah berada di pangkuan Arfan, lelaki paruh baya yang tampak segar dan maskulin itu lalu menatap ke arah aku dan Mamak dengan tatapan yang riang.
“Mak,” lirihku sambil menatap wanita itu dengan wajah yang semringah. “Bulan depan, Mak!” Aku benar-benar tersentak senang. Bagaimana tidak, ternyata keinginanku sebentar lagi akan terwujud. Segera menikah dengan Arfan, anak buahku sendiri, demi menghindar dari gangguan Angga.
&ldq
BAGIAN 23 “Naya, masuk kamar dulu, ya? Bunda harus ke depan.” Aku buru-buru memasukkan Naya ke kamar Mamak. Gadis kecil yang masih menangis itu kini mulai meredakan isaknya. Dengan disogok ponsel dan disetelkan video musik kartun, anak semata wayangku akhirnya mau anteng di kasur sambil duduk bersandar di bantal. “Bunda ke depan, ya?” tanyaku sambil mengusap rambutnya. “Iya.” Naya masih menatap ponselnya. Wajahnya kini tampak ceria. Aku pun tak banyak menunggu lagi. Langsung keluar dari kamar Mamak dan menutup pintunya rapat. Bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu rumah. Tampak kedua mantan mertuaku bersama
BAGIAN 24ENDING Deret ujian yang terjadi sebelum hari pernikahan, nyatanya tak membuat aku dan Arfan menjadi patah semangat. Lelaki saleh itu membuktikan kekuatan hatinya dalam menseriusi hubungan kami dengan perhatiannya yang wajar sekaligus hangat. Dia pantang mundur saat Angga beberapa kali muncul kembali untuk memohon balikan kepadaku. Arfan pun dengan sangarnya mengancam akan mempolisikan Angga bila dia kembali ke hadapan kami lagi dan itu ternyata terbukti ampuh. Angga tak muncul-muncul lagi sampai hari ini, hari di mana kami akan melangsungkan ijab kabul di KUA. Duduk di mobil yang disopiri oleh Jefry, aku kini merasa begitu deg-degan sekaligus nervous. Bagaimana tidak, sebentar lagi aku akan sah menjadi seorang istri dari Arfan Ramadhan. Lelaki yang akan kupanggil sayang atau mas. Rasanya,
BAGIAN 1 “Mas, susu Naya habis. Gajiku udah habis. Boleh aku minta bantuannya?” “Enak banget hidup kalian, Res! Apa-apa tinggal nelepon. Apa-apa tinggal minta. Apa nggak malu?” Mas Angga, mantan suami yang telah menceraikanku sebulan setelah Naya lahir, malah ngamuk-ngamuk. Apa salahnya aku minta uang untuk beli susu Naya? Naya darah dagingnya, meskipun anak itu hadir sebelum kami resmi menikah. “Mas, Naya itu anakmu. Tanggung jawab kamu untuk nafkahin dia!” “Bacot! Ya, udah. Datang sini ke rumah. Ambil duitnya ke sini!” 
BAGIAN 2 Angga yang semula menatap kesal, kini malah tersenyum manis sekali. Senyuman busuk, pikirku! Dua tahun kami dulu berpacaran, dua tahun pula dia meracuniku dengan senyuman tersebut. Sampai aku terbuai dan rela menggadaikan keperawanan dengan iming-iming bakal dinikahi. Nyatanya? Dia kabur-kaburan, meskipun akhirnya terpaksa bertanggung jawab saat usia kehamilanku menginjak delapan bulan. Ya, kuakui itu memang salahku. Aku yang bodoh dan lemah iman. Aku juga salah sudah meminta nafkah kepada dia atas keperluan anakku. Baru kutahu sekarang bahwa anak di luar nikah memang tak punya hak apa pun lagi terhadap harta ayah biologisnya. “Kamu jangan seperti itu, Resa. Nanti menyesal,” ujarnya manis sambil membuka gulungan kertas yang tadi dipungutnya.&nb
BAGIAN 3 “Nanti kita bahas lagi deh, Res. Eh, iya. Udah dulu, ya. Mumpung libur dinas, aku mau beres-beres kamar dulu. Habis itu baru nanti ke rumahmu. Bye, Resa!” “Assalamualaikum, bukan bye!” Aku agak kesal menanggapi kata-kata Mas Cipta. Lelaki itu tak sama sekali merevisi kalimatnya. Malah segera mematikan sambungan telepon. Sesaat aku tercenung. Perasaanku tak enak. Rasanya ada yang mengganjal. Apa ada yang salah dalam diriku, ya? Namun, apa?! Pusing, aku memutuskan untuk pulang ke rumah Mamak. Kukendarai sepeda motor matikku dengan kecepatan sedang. Awalnya, aku sudah mulai ingin membuat p
BAGIAN 4 “Iya, Mak. Aku akan putuskan Mas Cipta.” Aku memang sayang kepada cowok itu. Namun, rasa sayangku tentu lebih besar lagi kepada Mamak. Ucapannya adalah titah. Mana mungkin aku bisa melawan. “Bagus! Awas saja kalau dia datang ke sini kamu malah berubah pikiran!” Hardikan Mamak benar-benar membuatku mati kutu. “Tapi, kalau seandainya Mas Cipta tidak terbukti memanfaatkanku, Mak?” Mata Mamak terlihat makin membeliak. Alisnya sampai bertaut. “Kamu masih kurang bukti apalagi, Resa?” Tampak Mamak gregetan sendi
BAGIAN 5 “Sore semuanya,” sapa Mas Cipta sambil tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah Angga, kemudian kepada kami pemilik rumah. Feelingku sudah tak enak. Hari ini siap-siap saja perang dunia ketiga, benakku. “Pergi kamu Angga! Apalagi yang kau tunggu!” hardik Mamak sambil masih menggendong Naya. Anakku sudah mau menangis. Melihat itu, cepat-cepat kuambil alih Naya, lalu berlari ke dalam. Kuberikan Naya pada Arin, agar dia tak perlu melihat keributan di depan. “Mamak masih marah-marah, Res?” tanya Arin dengan muka yang khawatir. “Masih, Rin. Bentar, ya. Jagain Naya dulu. Aku ke depan.”
BAGIAN 6 Semalaman itu aku benar-benar gelisah. Rasa sedih merasuk dan mencabik-cabik perasaan. Sebab tak konsentrasi, malam itu kubiarkan Naya tidur dengan Mamak. Padahal, biasanya aku tak bakalan mau pisah tidur dengan bocah kecil itu, kecuali kalau sedang lembur di studio. Makan tak selera, tidur pun tak nyenyak. Sepanjang malam, hanya WhatsApp dari Mas Cipta saja yang kutunggu. Permintaan maafnya yang kuharapkan betul. Namun, sia-sia. Lelaki itu memang tampaknya hanya memanfaatkanku saja selama ini. Pupus sudah harapan dan cita-cita untuk melepas masa janda akhir tahun. Semua hanya sekadar mimpi indah belaka. Aku sudah bersiap sejak pagi-pagi buta untuk mencari nafkah. Saking ingin membuang rasa galau, hari ini kubersihkan ru