Home / Pendekar / Jagat Kelana / 7. Suara Yang Menguar

Share

7. Suara Yang Menguar

Author: Shaveera
last update Last Updated: 2024-03-31 13:20:38

Jagat seketika melihat pada pusat tubuhnya dan kedua bola matanya membola dengan mulut terbuka. Dia tidak menyangka jika sinar itu bisa keluar dan dilihatnya lagi setelah beberapa hari tidak muncul.

"Aku sendiri juga tidak tahu, Ki. Hanya saja saat aku terjatuh ke kedalaman jurang kemarin keadaanku segera pulih meskipun ada kujang bermata sembilan memasuki aku."

"Apa yang kamu katakan, Jagat, kujang bermata sembilan? Kau tidak bohong, 'Kan?"

Jagat menggeleng lemah, selama ini dia selalu berkata jujur. Jadi jika ada yang meragukan kejujurannya hatinya bagai dicubit kecil, perihnya tidak terkira.

"Bukan maksud paman tidak percaya dengan apa yang kamu ungkap. Hanya saja, kujang itu sudah hilang dari kancah dunia persilatan. Bahkan benyak sekali pendekar pilih tanding berlomba untuk dapatkan kujang itu."

Jagat meraup wajahnya kasar, dia terlihat begitu ragu dan tidak mengerti dengan maksud kalimat dari Ki Jemblung. Sementara sinar yang berada di pusat tubuhnya perlahan mulai pudar. Seiring sinar itu menghilang, perut Jagat seakan berputar.

"Sakit!?" desis Jagat. Lalu tatapannya mengarah ke sisi kiri, lebih tepatnya pada keberadaan pria tua yang sudah merawatnya sejak kecil.

Jagat diam menatap Ki Jemblung sambil menekan perutnya. Sungguh sakitnya melebihi kala itu, dia tidak bisa berkata lagi hanya ringisan dengan memejam yang mampu ditunjukkan.

"Jagat, apa yang terjadi padamu?" Ki Jemblung bertanya dengan nada begitu khawatir.

Lelaki itu gegas berdiri dan berjalan menuju ke meja kecil dekat jendela. Diraihnya cairan cokelat pemberian tabib kala itu. Setelahnya diangsurkan pada Jagat, "Minumlah cairan ini, semoga bis meredakan sakitmu!"

Perlahan Jagat mengulurkan lengannya mengambil gelas yang terbuat dari bambu dan segera menenggaknya hanya sekali. Cairan itu langsung masuk ke tenggorokan, saat itu juga hawa dingin langsung mengalir hingga ke dalam organ tubuhnya.

"Cairan apa ini, Ki?" tanya Jagat.

"Aku tidak paham, tetapi hanya cairan ini yang masuk ke tubuhmu saat kamu masih pingsan, Jagat." jelas Ki Jemblung.

Jagat merasa sedikit lebih baik, keringat dingin keluar dari tubuhnya dan menimbulkan aroma yang menusuk hidung. Koki itu bangkit sambil menutup jalan masuknya udara miliknya

"Sebaiknya kamu lekas bersihkan diri dan lanjutkan pekerjaan yang sudah kau tinggalkan beberapa hari lalu!"

"Baiklah, Paman. Terima kasih!"

Jemblung bangkit dan melangkah meninggalkan kamar Jagat. Sementara setelah ditinggal, Jagat bangkit dan berjalan menuju jendela. Tangannya segera bergerak untuk membuka dua daun jendela.

Udara segar langsung menyapa hidungnya, dengan buas dia mulai menghirup oksigen bebas dan segar. Merasa puas, Jagat berjalan keluar kamar dan langsung ke belakang rumah.

Dia mulai menadahkan tangannya pada kucuran air yang sudah ada pada gentong khusus. "Seger!"

Setelah selesai menyegarkan diri, Jagat melangkah menuju ke dapur umum. Dia langsung menemui koki muda yang biasa dikutinya saat bekerja.

"Jagat, kau sudah baikan?" tanya Koki muda.

"Sudah, Paman."

Koki menatap sekilas keseluruhan tubuh pemuda di depannya. Dahinya berkerut, ada yang aneh pada pancaran aura Jagat yang bisa dia tangkap. Hingga muncul di otaknya mungkinkah pemuda itu sedang belajar sesuatu.

"Paman!" panggil Jagat sambil melambaikan telapak tangannya.

Koki terkesiap antara kaget dan terpana, untuk sesaat terlihat jelas gerakan Jagat yang mengandung tenaga berbeda. "Apakah kamu sedang belajar olah pernapasan?" tanya Koki muda untuk memastikan.

"Tidak, Paman. Orang seperti aku yang tidak memiliki struktur tulang manalah mampu melakukan hal itu?"

"Bagus jika kau sadari itu, bisa bertahan hidup hingga usia segini saja sudah cukup bagimu!" cicit koki muda, kemudian koki itu fokus pada daging kijang muda dan mulai memotong. "Pergilah ke hutan dan carikan aku daun suji!"

Tanpa bersuara Jagat pun melangkah menuju ke belakang, dia segera menyiapkan semua alat untuk panen daun suji. "Ayo kita mulai kerja!" ujarnya lirih sambil memasukkan clurit pada pinggang kanan.

Beberapa helai tali dari pelepah pisang yang sudah dikeringkan juga dibawanya. Langkah Jagat terlihat begitu ringan berbeda dengan beberapa hari lalu.

Jagat terus melangkah masuk hutan, senyumnya mengembang kala di hadapannya terlihat tanaman yang dicari. Namun, suara perempuan minta tolong makin jelas didengarnya. "Suara siapa ya, jelas sekali. Tetapi siapa?"

Jagat menyapu sekitar mungkin ada mahkluk berjenis wanita, tetapi hingga melangkah lagi sejauh tiga meter tetap tidak ditemukan. Akhirnya Jagat memutuskan segera memanen beberapa daun suji.

Setelah mendapat seikat daun suji, Jagat melanjutkan langkahnya. Pemuda itu sengaja melalui jalan memutar, dia ingin melihat seniornya berlatih ilmu kanuragan tingkat awal. "Semoga masih ada yang sedang berlatih pagi ini!"

Samar terdengar suara jerit serempak beberapa murid. Jagat berhenti di antara dua pohon besar untuk menutupi tubuhnya. Dia berniat mengintip apa yang dilakukan oleh beberapa murid pemula. "Ah, aku amati dan tiru saja gerakan kuda-kuda mereka siapa tahu suatu hari nanti bisa berguna!"

Jagat meletakkan ikatan daun suji dan disandarkan pada salah satu pohon. Setelahnya dia mulai mengintip lagi, dengan cermat dan seksama kedua lengannya sedikit meniru. "Kedua tungkai dibuka lebar sedikit ditekuk dan pusatkan tenaga dalam pada satu titik. Pakai napas perut!"

Deretan kata yang berhasil ditangkap oleh pendengaran segera dipraktekkan oleh pemuda itu. Bibirnya mengulas senyum, sepertinya dia merasa ada yang berbeda pada suhu tubuhnya.

"Hai, hawa apa ini? Terasa begitu nyaman. Mungkinkah kujang itu ... rasanya tidak mungkin." Jagat terus saja berbicara sendiri hingga seberkas sinar menerpa wajahnya, "Ah, rupanya mentari makin naik. Aku segera pulang saja."

Jagat pun tersenyum sendiri mengingat apa yang dia ucapkan baru saja, tetapi selain paparan sinar mentari pagi juga ada jerit minta tolong yang masih sesekali dia dengar. Dengan langkah ragu, Jagat melanjutkan perjalanannya menuju ke dapur umum tempat pemesan daun suji.

Dari jauh dapat dilihat seorang koki lapis dua sudah berdiri menanti kedatangannya, dia pun berteriak lantang, "Woi jalan yang cepat, itu daun segera aku butuhkan. Dasar lelet!"

Jagat berhenti melangkah di jarak dua meter, dia diam terpaku menerima hinaan di pagi buta yang bahkan berasal dari seorang koki kelas awal.

"Malah berhenti di sana, bawa ke sini, Cepat!"

Tanpa bicara, Jagat memberi daun suji pada pria muda itu. Tidak dia letakkan dengan benar tetapi daun suji itu dilemparnya hingga tepat dibawah kaki pria tersebut. Begitu daun suji jatuh kedua bola mata pria itu melotot tajam, lalu berkata lantang, "Woi, yang sopan dong!"

Jagat tidak memedulikan teriakan pria muda itu, dia terus melangkah mengikuti suara perempuan yang seakan menuntunnya. Sungguh suara itu begitu mengikat otaknya hingga sulit untuk mengabaikan. "Suara ini, begitu familiar."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagat Kelana   234. S2

    Hari perpisahan pun tiba, Jagat berdiri di antara para selirnya. Terlihat wajah Pitaloka menunduk, dia tidak berani menatap sosok Akshita yang begitu bersinar di antara dua selir yang lain.Kepergian Jagat yang mendekat pada Pitaloka memberi kesempatan pada Akshita untuk melangkah menuju ke kereta kuda yang telah disiapkan putranya.Tidak hanya Akshita yang meninggalkan Jagat berdua bersama selir Pitaloka melainkan juga ada Roro Wening yang berjalan mengikuti Akshita dari belakang sambil menggendong putranya. Hanya Prameswari yang masih setia menunggui suaminya.Jagat yang melihat sikap Pitaloka segera berjalan mengikis jarak hingga sejengkal, lalu telapak tangannya terulur agar dapat menggapai dagu runcingnya."Ada apa dengan wajahmu, Pitaloka?"Wanita itu terdiam, dia masih mengarahkan pandangannya ke bawah meskipun wajahnya sudah terangkat. Helaan napas berat bisa dirasakan oleh Jagat."Bicaralah, bagaimana aku bisa tahu apa yang kau pikirkan jika hanya diam bahkan menatapku pun su

  • Jagat Kelana   233. S2

    Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela

  • Jagat Kelana   232. S2

    Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger

  • Jagat Kelana   231.

    Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den

  • Jagat Kelana   230. S2.

    Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun

  • Jagat Kelana   229. S2

    Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status