**
Beberapa hari kemudian..,
“Hei, kok melamun?”
Aku tersentak. Suara Iroh menggugahku, bersama dengan sosoknya yang muncul dari dalam rumah, menyusul aku di beranda belakang rumahnya ini.
Aku menoleh sebentar, dan tersenyum. Iroh meletakkan satu gelas besar berisi teh manis dan sebuah toples berisi keripik.
Ia kemudian mengambil duduk di sampingku, ikut mengarahkan wajah dan pandangannya ke halaman rusun di bawah sana.
Tidak ada yang cukup menarik, memang, selain sebuah taman kecil yang berbatasan dengan pagar dan jalan raya.
“Sedari tadi aku tidak melihat Mikhail. Ke mana dia?” Tanyaku.
“Pergi, main.”
“Ke mana?”
“Ke rumah Yogi.”
“Yogi, anak mana tuh?”
“Anak rusun sini juga, tapi rumahnya di lantai bawah, paling ujung.”
Aku mengangguk-angguk. Terang Iroh lagi,
**“Di atas?”“Iya, di kamarnya.”Aku menoleh ke sembarang arah, pikiran segera berkelana, menduga-duga maksud Miss Widya memanggil aku sekarang ini.Aku lantas teringat tiga hari yang lalu ketika aku bersama Iroh. Miss Widya menelepon aku, dan ia sedang menangis.Apakah pemanggilan ini berkaitan dengan itu? Dengan masalah apa pun yang telah membuat dia menangis?Atau, hanya satu kelumrahan terkait pekerjaan mengingat besok aku sudah kembali bertugas. Ah, aku jadi penasaran.“Kira-kira, ada apa ya, Mbak?” Tanyaku pada Mbak Puspa, mencari bocoran.Mbak Puspa mengangkat kedua bahunya. “Menekehte,” imbuhnya.Aku kemudian menoleh lagi ke arah belakang, ke kanan lalu ke kiri.“Ibu Suri di mana, Mbak? Tanyaku lagi.Mbak Puspa yang sudah berjalan dua langkah meninggalkan aku memberi jawaban.“Di halaman belakang.”“Dengan s
**Aku menangkupkan kedua telapak tanganku di pipi Iroh, menatapnya dengan lembut. Aku kemudian membelai rambut Iroh, mengaitkan kedua ujung sisinya di samping telinga.“Aku pamit ya.”“Kamu pulang ke mana? Langsung ke rumah Acropolis?” Tanya Iroh seakan tak rela melepas aku.Aku menggeleng pelan. “Ke Angke,” jawabku.“Tempat tinggalnya Galih, sahabat kamu itu?”“Iya, tempat tinggalku dulu.”“Terus, besoknya mau ke mana?”“Kalau tidak ada perubahan rencana, aku mau menemui Bang Jambrong.”“Bang Jambrong? Ngapain kamu menemui dia? Mau ngajakin dia ribut lagi? Atau mau ngajak main suit lagi?”“Hahaha..,” aku tertawa pelan. “Tidak ada maksud apa-apa. Hanya sekadar silaturahmi saja kok. Aku mau memperbaiki hubungan.”“Setelah kejadian di Marunda tempo hari itu, sepertinya Bang Jambrong a
**Aku menjadi tak enak hati, sekaligus merasa tidak nyaman karena mendengar suara isak tangis Miss Widya di telepon. Sementara di sampingku ada Iroh dan juga Mikhail.Iroh tidak terlalu peduli dengan telepon yang aku terima ini. Ia membelokkkan langkahnya ke kiri, sambil menjawil tanganku untuk mengikutinya pula.Kami bertiga kemudian berhenti di depan sebuah dinding depan sebuah restoran siap saji yang terbuat dari kaca.Di mana, pada dinding kaca ini terpampang gambar stiker aneka macam menu yang mereka jual, termasuk paket promosi, diskon dan voucher macam-macam.“Kamu di mana, Gending?” Tanya Miss Widya dari seberang sana, dengan suara yang bercampur isakan.“Eeem.., saya di Cipayung, Miss.” Jawabku.“Kapan kamu pulang ke sini?”“Tiga hari lagi, sesuai dengan jatah libur saya.”“Oh, ya sudah, jangan lama-lama ya.”Tut, tut, tuuut..! Telepon Miss Widy
**Entah mengapa, perasaanku jadi tak enak. Aku kemudian menerima panggilan dengan satu gesekan di layar ponsel“Halo..,” sapaku, dengan terus membiarkan Iroh yang memeluk aku.“Halo, Mojo?” Sapa sebuah suara dari seberang sana.“Emm.., ini siapa?”“Ini, aku, Irul.” Jawab si penelepon.“Irul?” Aku sontak heran, melihat ke layar ponsel sebentar.“Iya, Irul. Kamu lupa?” Kata si penelepon lagi.“Irul siapa ya?”“Irul, atau Khairul. Ingat?”Aku butuh beberapa detik untuk mencari nama Irul atau Khairul di dalam memoriku. Ketika mendapatkannya, aku terkejut sekaligus gembira dan merasa lucu.“Iya, iya, aku ingat. Ini Irul yang tempo hari mulutnya pernah aku gaplok pakai sepatu merek adidas??”“Hahaha.., sialan kamu, Mojo!”“Betul kan?”“Iya, betul. Ak
**“Oh ya Mas, ada yang mau aku kasih tahu nih.”“Apa?”“Nanti, minggu depan, Mikhail akan ikut lomba melukis lho.”“Hem-hem? Lomba melukis? Di mana tuh?” Tanyaku bersemangat.“Di TMII.”“Taman Mini Indonesia Indah?”“Iya.”Aku langsung tersenyum. Sebuah kenangan yang melankolis seketika berkelebat di dalam kepalaku. Di sebuah jalan dekat TMII itulah pertama kali aku bertemu Iroh dan Mikhail yang ketika itu baru berusia 5 tahun.“Evennya even apa nih?” Tanyaku. “Maksudnya dalam rangka apa?”Iroh menggeser sedikit duduknya ke arahku. Penuh semangat ia pun bercerita.“Jadi, lomba ini diadakan oleh dinas pendidikan Jakarta Timur, bekerja sama dengan manajemen TMII, dan disponsori oleh perusahaan air minum nasional.”Aku mengangguk-angguk.“Pesertanya dari sekolah man
**Dari pihak ibu, Iroh memang masih memiliki paman dan bibi. Tetapi keluarganya itu sudah terpisah-pisah, merantau jauh entah ke mana, sejak Iroh masih kecil lagi, hingga sekarang mereka semua sudah lost contact sama sekali.Lalu dari pihak ayah, Iroh masih mempunyai saudara, dua orang, yang sesungguhnya merupakan sepupu ayahnya itu.Sekarang, keduanya tinggal di Cibinong, di bilangan Bogor sana. Hubungan silaturahmi antara Iroh dan keluarga kedua pamannya itu masih terjaga sampai sekarang.Di waktu-waktu tertentu, cuti lebaran misalnya, Iroh kerap berkunjung ke Cibinong, menyambangi pamannya itu.Jadi, keluarga yang Iroh maksud di dalam percakapan kami tadi, adalah keluarga paman yang di Cibinong itu. “Kamu yakin kan, Mas?”“Yakin dengan apa?” Tanyaku heran.“Yakin dengan keputusanmu ini?”“Tentu saja.”“Kamu tidak menyesal? Toh aku hanya seorang janda