LOGIN**
Beberapa hari kemudian..,
“Hei, kok melamun?”
Aku tersentak. Suara Iroh menggugahku, bersama dengan sosoknya yang muncul dari dalam rumah, menyusul aku di beranda belakang rumahnya ini.
Aku menoleh sebentar, dan tersenyum. Iroh meletakkan satu gelas besar berisi teh manis dan sebuah toples berisi keripik.
Ia kemudian mengambil duduk di sampingku, ikut mengarahkan wajah dan pandangannya ke halaman rusun di bawah sana.
Tidak ada yang cukup menarik, memang, selain sebuah taman kecil yang berbatasan dengan pagar dan jalan raya.
“Sedari tadi aku tidak melihat Mikhail. Ke mana dia?” Tanyaku.
“Pergi, main.”
“Ke mana?”
“Ke rumah Yogi.”
“Yogi, anak mana tuh?”
“Anak rusun sini juga, tapi rumahnya di lantai bawah, paling ujung.”
Aku mengangguk-angguk. Terang Iroh lagi,
**Apakah akan berujung menjadi pasangan, itu lain soal. Yang pasti, sifat naluriah seorang wanita adalah, bahwa ia dengan pesona yang dimilikinya bisa membuat lawan jenis tertarik kepadanya.Seperti wanita kebanyakan, Miss Widya suka dengan tatapan kagum seorang lelaki.Misss Widya suka dengan pujian para pria. Ia ingin menjadi center of gravity bagi para kaum adam di dunia ini.Tapi ternyata, Gending tidak ada di dimensi itu!Ia berada di universe yang berbeda, dan bersamanya sekarang ini adalah Iroh yang ia cintai itu.Miss Widya menelan ludah, yang anehnya sekarang terasa pahit.Almarhum ayahnya bersama Abah Anom diam-diamm telah menjodohkan dirinya dengan Gending. Tapi Gending mencintai orang lain. Bagaimana tidak pahit?“Ah, seharusnya ini tidak pahit!” Sanggah Miss Widya dalam hati.“Karena aku mencintai Kelvin!”“Tapi Kelvin selingkuh dengan wanita lain di luar san
**Gending.., melirik Miss Widya!“Nih, saya melirik.”Yang dilirik pun merasa keki. Dengan gemasnya Miss Widya mencubit pangkal lengan Gending. Lalu nyaris tanpa sadar ia mengeluarkan ekpresi yang manja.“Iiiiihh..! Bukan melirik yang begitu maksud aku, Gendiiiing!”Kali ini Miss Widya menjewer ujung telinga Gending, tetap dengan ekpresinya yang gemas dan manja.“Kamu tuh kadang suka ngeselin ya?”Gending yang menerima cubitan dan jeweran lembut itu pun hanya bisa terdiam sembari menahan senyum yang grogi.Ia merasa aneh, menerima sikap manja Miss Widya, persis seperti yang biasa ia dapatkan dari Iroh. “Maksud aku, apakah kamu..,”“Iya, iya, Miss. Saya paham kok. Tapi, saya memang tidak pernah mencoba untuk mengkhianati Iroh.”“Kenapa?”“Jawabannya ada pada kata-kata saya sebelumnya.”&ldquo
**“Ngomong-gomong, itu apa, Miss?” Gending menunjuk segulung kertas di tangan Miss Widya.Putri Wibisono ini tiba-tiba menjadi gugup. Ia menunduk, menatap gulungan kanvas lukis di tangannya.Pada momen ini Gending tentu saja tidak mengetahui bahwa itu adalah hasil karya Mikhail.“Ah, bukan apa-apa, cuma brosur mobil.” Sahut Miss Widya menutupi kegugupannya dengan mengalihkan pandangan ke arah burung elang lagi.“Brosur mobil?”“Iya, tadi, waktu berjalan ke sini, saya dicegat seorang sales mobil dari sebuah dealer. Mereka membuka sebuah stand di Taman Mini ini.”Gending mengangguk-angguk. Sementara di sisi Miss Widya, hatinya menjadi berdebar tak keruan.Lukisan di tangannya benar-benar menjadi sebuah proyeksi dari mimpi sekelebat yang pernah ia alami.Subyek di dalam mimpinya jelas: Gending!Subyek di dalam lukisan; tidak jelas siapa!Lalu subyek wanita di ke
**“Miss,” sapa Gending setelah sampai.Miss Widya menoleh sebentar, hanya untuk memastikan bahwa yang menghampirinya adalah Gending, bukan orang lain.Ia kemudian mengalihkan pandangannya lagi pada seekor elang di dalam kandang besar di depannya.“Maaf saya tadi tidak memperhatikan Miss. Saya sampai tidak sadar kalau Miss sudah pergi.”Miss Widya tidak menyahut. Ia terus memandangi burung elang sebesar ayam dewasa di dalam kandang itu.Gending jadi tak enak hati karena dicueki. Ia menoleh ke arah sisi yang jauh di kanan sana.Ia melihat masih ada belasan kandang lagi dengan ukuran yang sama. Namun, penghuninya elang dari spesies yang berbeda.Di antaranya adalah elang laut, elang brontok, elang hitam, elang gunng, dan beberapa lainnnya.“Coba kamu lihat burung elang itu, Gending.” Miss Widya menunjuk burung elang pada sangkar besar di depan mereka.Ia menunjuk bukan menggunakan
**Widya kemudian mendengar suara kasak-kusuk di antara sesama panitia yang sedang bekerja itu.“Kalian sudah menyortir lukisan nomor 217?” Tanya ketua panitia yang tadi, pada salah satu juri wanita di depannya.“Nomor 217?” Sahut sang juri pula bertanya.“Iya.”“Tidak ada tuh.”“Ini, aku cari di meja sini tidak ada.”“Oh, nomor 217 ya?”“Iya.”“Ada di kotak sampah.”“Yakin?”“Iya, aku yakin banget. Itu tuh lukisan yang paling jelek, paling tidak nyambung, dan menyalahi tema.”Ketua panitia itu pun bergeser ke satu sisi, lalu mengobok-obok isi kotak sampah di mana isinya adalah semua karya yang tidak lolos sortir dan akan dibuang.“Hmm..,” Betul dugaan Widya pertama tadi, bahwa karya yang gagal akan dimusnahkan.Widya tetap sabar menunggu. Hingga akhirnya,
**“Permisi,” kata Widya, melangkah pelan memasuki tenda yang berukuran cukup besar ini.Beberapa juri yang sedang menyortir lukisan dan panitia lain yang tengah sibuk sontak mengalihkan perhatian mereka pada sosok Widya.“Ada apa, Mbak?” Sambut seorang lelaki berseragam kaus biru dan bertopi pet.“Eee.., begini.” Widya menoleh sekeliling sebentar, menaruh perhatiannya pada interior tenda yang cukup semarak dengan aneka dekorasi.Pantasa saja orang-orang di sini tidak merasa gerah atau kepanasan. Ternyata, ada dua buah kipas embun yang cukup besar.“Saya Widya. Saya pengunjung Taman Mini yang kebetulan mampir di acara lomba ini.”“Hem-hem? Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Eee.., anu, oh ya Mas, apakah benar bahwa semua karya anak-anak peserta lomba menjadi milik sponsor?”“Iya, betul. Lalu?”“Jadi begini. Kebetulan tadi saya me







