Home / Lainnya / Jagoan Kampung Merantau Ke Kota / Bab 6: Kuntilanak di Balik Meja

Share

Bab 6: Kuntilanak di Balik Meja

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2025-06-03 21:36:40

**

Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.

Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.

“Kamu..,” jarinya menuding aku.

“Kamu..,” aku pun menuding dia.

Sontak saja ia meradang.

“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.

Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.

“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.

Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.

Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!

Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!

Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??

Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bus Transjakarta! Wanita egois nan angkuh bin arogan tak tahu terima kasih yang menyebutku miskin dan norak!

“Badut Hello kitty yang tadi malam berlagak sok kebal??” Ketusnya lagi.

Aku diam, mati kutu.

“Sok keren jual mahal sampai-sampai tidak mau menerima uang dari saya??”

Aku tetap diam, menahan rasa kesal, sekuat tenaga berusaha meredam emosiku yang nyaris saja meledak.

Oh, Ya Tuhan, jika bukan karena baktiku pada Abah Anom, betapa inginnya aku membuka sepatu sneakerku yang butut ini, lalu menggaplokkannya ke mulut Widya Wibisono itu.

Plok-plok-plok! Begitu.   

Sebelum menundukkan pandanganku lagi, aku menyempatkan diri menatap pada bagian mulut Ibu Widya, terutama bibirnya yang berlapis lipstik merah muda yang ternyata.., ah, indahnya jika aku bisa mengecap dengan merek sneakerku.

“Seandainya kamu datang ini tanpa membawa nama Abah Anom, dan seandainya saya tidak memandang hubungan baik antara almarhum ayah saya dengan Abah Anom itu, sudah pasti kamu saya usir detik ini juga!”

“Kamu tahu, Mojo? Eh, nama kamu Jaya atau Mojo sih??”

“Mojo, Bu. Kalau Jaya, itu nama belakang saya.” Jawabku lirih. 

“Oke, Mojo. Kamu tahu, di balik meja saya ini ada tombol, yang kalau saya pencet, maka tak sampai satu menit para staf dan bodyguard saya akan tiba di sini dan meringkus kamu ke kantor polisi!”

Aku merasa terenyuh. Ditindas oleh rasa ketidakberdayaan aku hanya bisa menyahut di dalam hati;

“Dan seandainya aku datang ini dengan membawa niat buruk, maka aku hanya butuh waktu setengah menit saja untuk mengalahkan para bodyguard kamu! Inginnya aku berkata padamu wahai Widya Wibisono Yang Pongah, bahwa aku ini adalah orang berbahaya yang bisa membunuh orang bahkan hanya dengan seutas tali rafia!”

Ibu Widya menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan tak percaya bahwa hari ini, untuk ketiga kalinya ia bertemu denganku lagi. Sebuah pengalaman yang entah bagi dia, tapi bagiku ini adalah satu kesialan.

Ia kembali duduk, lalu menarik nafas dalam-dalam. Kursi putarnya bergoyang beberapa saat ditimpa tubuh langsing proporsionalnya. Seakan tak sudi menatapku ia  langsung membuang pandangannya ke arah jendela sana.

Satu menit, dua menit, hingga beberapa menit terus berlangsung dengan kebisuan antara kami berdua. Entah ia sedang memikirkan apa.

Namun aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri. Tepatnya, aku begitu sibuk dengan doaku sendiri.

Doa?

Doa apa?

Doa yang aku jeritkan di dalam hati;

“Ya Allah Ya Tuhanku.., please.., aku mohon pada-Mu, semoga Ibu Widya ini sudah menikah. Aku tak bisa membayangkan jika harus menjaga sampai dia menikah, andai dia jomblowati yang tak kunjung bersuami akibat sikap angkuhnya itu!”

“Oh, Abah Anom.., seandainya aku bisa memilih, lebih baik Abah memberi tugas kepadaku untuk mencabut kumis harimau sekalipun, daripada menjaga kuntilanak di depanku ini!”

Ibu Widya, yang jika tak salah aku menerka usianya masih di bawah tiga puluhan ini, kemudian mengambil beberapa berkas yang tadi ia letakkan di meja depannya.

Ia merapihkan berkas itu dan memindahkan ke meja lain di sisi kanannya. Sekarang, ia melipat kedua tangannya di atas meja. Setelah itu, ia pun bertanya,

“Karyawan saya di bawah tadi bilang, kamu datang mau mengantar surat dari Abah Anom. Betul, begitu?”

“Betul, Bu.”

“Mana suratnya?”

Aku mengambil sebuah amplop dari dalam tas sandangku. Ya, inilah surat yang selama dua tahun ini aku simpan.

Meskipun aku sempat mendekam di dalam penjara namun surat ini tetap aman terjaga. Masih menahan rasa dongkol aku pun menjelaskan sesuatu.

“Harus saya beritahu, Bu, bahwa surat ini sebenarnya untuk ayahanda Ibu, yaitu Pak Wisnu. Akan tetapi, mengingat, maaf, ayahanda Ibu sudah tiada..,”

“Ya, ya, ya,” potongnya cepat. “Mana suratnya?”

“Ini, Bu.”

Aku melungsurkan amplop dengan dua tangan sekaligus. Ibu Widya menerimanya dengan kening yang mengernyit.

“Kenapa amplopnya kucel begini?”

“Karena sudah lama tersimpan di dalam tas saya, Bu.”

“Berapa lama?”

“Dua tahun, Bu.”

“Dua tahun??”

“Iya, Bu.”

“Kenapa kamu simpan selama dua tahun?? Kenapa tidak langsung kamu beri ke sini??”

“Karena, karena.., saya kesulitan ketika mencari alamat Bapak, atau Ibu di sini, Bu.”

“Sulit?? Ya elaaaah.., zaman modern begini kok sulit sih??”

“Jujur ya, Bu. Oleh Abah Anom saya memang tidak diberi tahu alamat rumah atau alamat kantor ini. “

“Kenapa tidak diberi tahu?”

“Karena persis setelah menyampaikan dua amanah kepada saya, Abah Anom kemudian berpulang, Bu.”

“Berpulang? Maksud kamu, meninggal?”

“Iya, Bu, dua tahun yang lalu.”

“Hemmh..,” komentar Ibu  Widya itu dengan raut aneh yang tak bisa aku artikan.

Hening sesaat.

“Nah, nah, tadi kamu bilang, Abah Anom memberi kamu dua amanah. Yang pertama adalah surat ini, betul?”

Aku mengangguk.

“Lalu yang kedua?”

“Yang kedua adalah, saya harus menjaga Ibu, sampai kelak Ibu menikah. Artinya, setelah menikah maka amanah yang diembankan kepada saya sudah selesai."

"Itu berarti pula, jika sekarang ternyata Ibu sudah menikah maka amanah yang kedua itu otomatis gugur.”  

“Menjaga? Menjaga dalam arti yang bagaimana neeeh..??”

“Mungkin sebagai pengawal atau bodyguard, mungkin sebagai ajudan, sebagai sekuriti atau satpam. Saya tidak begitu mengerti. Mungkin hal itu telah dibicarakan sebelumnya oleh almarhum Pak Wisnu dan almarhum Abah Anom.”

Ibu Widya menggelengkan kepalanya lagi, seakan kesal pada keadaan yang telah berlangsung ini. Ia terus menggerutu.

“Menjaga.., menjaga.., memangnya saya ini anak kecil sampai harus dijaga?”

“Saya tidak perlu dijaga. Saya tidak butuh orang macam kamu.”

“Saya punya sopir, punya sekretaris, punya ajudan, dan mereka semua sudah bekerja dengan profesional untuk saya.”

“Lha, kamu? Badut Hello kitty? Bisa apa? Cuma bisa berlagak macam jagoan, iya kan?”

Sungguh, aku berharap Ibu Widya akan berkata ‘kamu tak perlu menjaga saya karena saya sudah menikah’, begitu.

Dan sungguh, sumpah mati aku penasaran, apakah Ibu Widya ini sudah menikah??

********

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 8: Isi Surat

    **Widya Wibisono, sang CEO yang cantik dan energik ini merasa amat tersinggung dengan pertanyaan dari lelaki bernama Mojo di depannya.Spontan ia mendelikkan mata dan menghunuskan tatapannya ke arah Mojo. Jengkelnya lagi, Mojo itu menunjukkan ekpresi wajah seperti salah tingkah. Bukannya merasa bersalah.Mengapa? Mengapa Widya harus tersinggung? Bukankah itu pertanyaan yang wajar dan itu normal?Sayangnya, saat ini, tidak!Mengapa?Karena di setiap lebaran atau di setiap momen apa pun, setiap bertemu dengan saudara, kerabat atau sahabatnya, ia kerap mendapat pertanyaan yang senada; ‘kapan nikah’, kapan kawin’, ‘cepetan kawin bentar lagi kiamat’, begitu lho!Ada makna yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bahwa, dirinya ini jomblo-lah, tidak laku-lah.Sementara ia sendiri belum terpikir akan segera menikah. Lagi pula Kelvin Hammond, k

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 7: Kapan Nikah

    **Aku ingin segera menanyakan status Ibu Widya ini. Masih lajang-kah? Atau, sudah menikah-kah? Akan tetapi, menurut hematku itu tidak sopan.Aku butuh banyak perbincangan terlebih dulu. Butuh pendekatan yang persuasif untuk menanyakan sesuatu yang berada di ranah pribadi itu.Lagi pula, sekarang ini ia sedang gondok-gondoknya. Maksudku, sedang jengkel setengah mati. Ya karena aku, ya karena situasi, dan karena beberapa hal berikut yang selanjutnya ia pertanyakan padaku.“Kamu ingat waktu dulu kita bertabrakan di sudut jalan? Hape yang saya pegang terjatuh. Buah melon yang sedang kamu pegang juga terjatuh, ingat?”“Ingat, Bu,” jawabku pelan.“Jujur ya, waktu itu saya marah sekali karena keteledoran kamu sewaktu berjalan.”Kamu yang teledor! Sahutku dalam hati. Kamu yang berjalan tanpa melihat kanan-kiri, kamu yang berjalan sambil mengutak-atik ponsel!Ibu Widya meneruskan kata-katanya.

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 6: Kuntilanak di Balik Meja

    **Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.“Kamu..,” jarinya menuding aku.“Kamu..,” aku pun menuding dia.Sontak saja ia meradang.“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bu

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 5: Arung Tower

    Keesokan harinya..,Dengan menaiki bus lalu aku teruskan dengan naik ojek online, akhirnya siang ini aku sampai di Priok, tepat pada alamat yang aku tuju. Sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari Galih tadi malam. Lalu sekarang, aku berdiri canggung di tepi jalan raya. Matahari terik kota Jakarta hampir mencapai titik kulminasinya, membuatku terpaksa menyipitkan mata.Kepalaku menengadah, menatap sebuah gedung tinggi nan megah dengan pucuknya yang tampak menusuk langit.Dua puluh lima lantai, kurang lebih, inilah dia, gedung yang bernama Arung Tower. Jendela-jendela kantornya yang persegi tampak tersusun simetris dari atas ke bawah, juga dari kanan ke kiri.Aku kemudian melangkah menuju gedung Arung Tower itu. Sembari berjalan aku membetulkan posisi tas selempangku, sembari meyakinkan diri bahwa sepucuk surat yang terbungkus amplop untuk Pak Wisnu Wibisono telah berada di dalamnya sejak aku pergi dari rumah tadi. “Permisi, selamat siang, Pak,” sapaku pada seorang petugas sekuriti,

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 4: Balada Apel dan Melon

    “Kamu kan.., badut Hello kitty yang..,” “Yang, yang apa?” Kejarku pula.“Badut yang dulu memecahkan apelku!” Ketus si wanita tiba-tiba.Aku pun tersentak.“Apel? Buah.., a-pel?” Tanyaku lagi bingung, sembari terus mengingat. Sang wanita menggeleng cepat. Wajahnya tampak geregetan. Sepertinya ia salah bicara.“Apel, bukan buah! Tapi, hape!”“Hape? Apel? Maksud kamu ini apa sih??”“Maksudku hape aiphone! Gambar logonya kan apel, tahu!”Aku makin terkejut saja. Seiring dengan ingatanku tentang gadis ini, satu setengah tahun yang lalu ketika kami bersinggungan, lalu bertabrakan.“Ooooh, iya, iya, aku ingat sekarang! Kamu yang dulu memecahkan buah melon punyaku!” Balasku seketika dengan nada yang juga mulai ketus.Ya, dulu kami bertabrakan di satu jalan yang sempit. Di sana, di seputaran Jakarta Timur sana. Ponsel mewah miliknya terjatuh dan pecah. Buah melon milikku pun terjatuh, juga pecah hingga tak bisa lagi dimakan.Dia kehilangan ponsel berikut beberapa data penting di dalamnya.

  • Jagoan Kampung Merantau Ke Kota   Bab 3: Horang Kayah

    Tiba-tiba, ada yang menahanku.“Heiii..! Mas..!”“Mas..! Tungguu..!”Secara perlahan aku hentikan langkah, lalu berbalik. Keningku segera mengernyit, menyadari ada seorang wanita yang berjalan tergopoh-gopoh menuju ke arahku.Antara terang dari lampu jalan dan gelap dari pohon-pohon peneduh membuat aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya.Setelah cukup dekat barulah aku menyadari. Ternyata dia wanita korban preman di dalam bus Transjakarta tadi. “Ya? Ada apa, Mbak?” Tanyaku sopan.Sang wanita berhenti di depanku. Ia mengatur nafasnya terlebih dulu sebelum kemudian menghadapku dengan canggung. “Emm.., anu, eee.., saya cuma mau bilang terima kasih.” Katanya.Aku tersenyum tipis.“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya.”Aku mengangguk pelan.“Terima kasih kembali,” sahutku.Sekilas aku mencermati sang wanita, yang ternyata cukup cantik untuk ukuran orang kebanyakan. Aku baru menyadari akan hal ini.Ia memakai blouse untuk atasan, dan celana jins ketat untuk bawahan. Posturny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status