LOGIN**
Sang CEO, alias Ibu Widya itu, juga tak kepalang terkejutnya. Ia sampai membuka kacamata dan mengucek-ngucek matanya.
Tanpa sadar ia bangkit berdiri. Aku yang sudah duduk pun ikut berdiri.
“Kamu..,” jarinya menuding aku.
“Kamu..,” aku pun menuding dia.
Sontak saja ia meradang.
“Lancang betul kamu berani menuding-nuding saya di kantor saya sendiri??” Ketusnya seketika.
Deg! Jantungku seakan berhenti berdegup. Aku langsung terbungkam beberapa saat.
“Maaf, maaf, maafkan saya, Bu.” Aku menurunkan tudingan tanganku, lalu pelan-pelan kembali duduk.
Aku yang tak sanggup menerima tatapan tajam Ibu Widya cepat saja menundukkan kepala.
Oh, betapa ajaibnya kehidupan ini!
Dulu ketika aku kesulitan mencari alamat Wisnu Wibisono, aku merasa dunia ini teramat sangat luasnya. Namun sekarang ketika aku telah menemukannya, ternyata dunia hanya selebar daun kelor. Tak lebih!
Bagaimana mungkin, oh, bagaimana mungkin??
Ibu Widya Wibisono sang CEO ini ternyata wanita yang tadi malam aku selamatkan di bus Transjakarta! Wanita egois nan angkuh bin arogan tak tahu terima kasih yang menyebutku miskin dan norak!
“Badut Hello kitty yang tadi malam berlagak sok kebal??” Ketusnya lagi.
Aku diam, mati kutu.
“Sok keren jual mahal sampai-sampai tidak mau menerima uang dari saya??”
Aku tetap diam, menahan rasa kesal, sekuat tenaga berusaha meredam emosiku yang nyaris saja meledak.
Oh, Ya Tuhan, jika bukan karena baktiku pada Abah Anom, betapa inginnya aku membuka sepatu sneakerku yang butut ini, lalu menggaplokkannya ke mulut Widya Wibisono itu.
Plok-plok-plok! Begitu.
Sebelum menundukkan pandanganku lagi, aku menyempatkan diri menatap pada bagian mulut Ibu Widya, terutama bibirnya yang berlapis lipstik merah muda yang ternyata.., ah, indahnya jika aku bisa mengecap dengan merek sneakerku.
“Seandainya kamu datang ini tanpa membawa nama Abah Anom, dan seandainya saya tidak memandang hubungan baik antara almarhum ayah saya dengan Abah Anom itu, sudah pasti kamu saya usir detik ini juga!”
“Kamu tahu, Mojo? Eh, nama kamu Jaya atau Mojo sih??”
“Mojo, Bu. Kalau Jaya, itu nama belakang saya.” Jawabku lirih.
“Oke, Mojo. Kamu tahu, di balik meja saya ini ada tombol, yang kalau saya pencet, maka tak sampai satu menit para staf dan bodyguard saya akan tiba di sini dan meringkus kamu ke kantor polisi!”
Aku merasa terenyuh. Ditindas oleh rasa ketidakberdayaan aku hanya bisa menyahut di dalam hati;
“Dan seandainya aku datang ini dengan membawa niat buruk, maka aku hanya butuh waktu setengah menit saja untuk mengalahkan para bodyguard kamu! Inginnya aku berkata padamu wahai Widya Wibisono Yang Pongah, bahwa aku ini adalah orang berbahaya yang bisa membunuh orang bahkan hanya dengan seutas tali rafia!”
Ibu Widya menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan tak percaya bahwa hari ini, untuk ketiga kalinya ia bertemu denganku lagi. Sebuah pengalaman yang entah bagi dia, tapi bagiku ini adalah satu kesialan.
Ia kembali duduk, lalu menarik nafas dalam-dalam. Kursi putarnya bergoyang beberapa saat ditimpa tubuh langsing proporsionalnya. Seakan tak sudi menatapku ia langsung membuang pandangannya ke arah jendela sana.
Satu menit, dua menit, hingga beberapa menit terus berlangsung dengan kebisuan antara kami berdua. Entah ia sedang memikirkan apa.
Namun aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri. Tepatnya, aku begitu sibuk dengan doaku sendiri.
Doa?
Doa apa?
Doa yang aku jeritkan di dalam hati;
“Ya Allah Ya Tuhanku.., please.., aku mohon pada-Mu, semoga Ibu Widya ini sudah menikah. Aku tak bisa membayangkan jika harus menjaga sampai dia menikah, andai dia jomblowati yang tak kunjung bersuami akibat sikap angkuhnya itu!”
“Oh, Abah Anom.., seandainya aku bisa memilih, lebih baik Abah memberi tugas kepadaku untuk mencabut kumis harimau sekalipun, daripada menjaga kuntilanak di depanku ini!”
Ibu Widya, yang jika tak salah aku menerka usianya masih di bawah tiga puluhan ini, kemudian mengambil beberapa berkas yang tadi ia letakkan di meja depannya.
Ia merapihkan berkas itu dan memindahkan ke meja lain di sisi kanannya. Sekarang, ia melipat kedua tangannya di atas meja. Setelah itu, ia pun bertanya,
“Karyawan saya di bawah tadi bilang, kamu datang mau mengantar surat dari Abah Anom. Betul, begitu?”
“Betul, Bu.”
“Mana suratnya?”
Aku mengambil sebuah amplop dari dalam tas sandangku. Ya, inilah surat yang selama dua tahun ini aku simpan.
Meskipun aku sempat mendekam di dalam penjara namun surat ini tetap aman terjaga. Masih menahan rasa dongkol aku pun menjelaskan sesuatu.
“Harus saya beritahu, Bu, bahwa surat ini sebenarnya untuk ayahanda Ibu, yaitu Pak Wisnu. Akan tetapi, mengingat, maaf, ayahanda Ibu sudah tiada..,”
“Ya, ya, ya,” potongnya cepat. “Mana suratnya?”
“Ini, Bu.”
Aku melungsurkan amplop dengan dua tangan sekaligus. Ibu Widya menerimanya dengan kening yang mengernyit.
“Kenapa amplopnya kucel begini?”
“Karena sudah lama tersimpan di dalam tas saya, Bu.”
“Berapa lama?”
“Dua tahun, Bu.”
“Dua tahun??”
“Iya, Bu.”
“Kenapa kamu simpan selama dua tahun?? Kenapa tidak langsung kamu beri ke sini??”
“Karena, karena.., saya kesulitan ketika mencari alamat Bapak, atau Ibu di sini, Bu.”
“Sulit?? Ya elaaaah.., zaman modern begini kok sulit sih??”
“Jujur ya, Bu. Oleh Abah Anom saya memang tidak diberi tahu alamat rumah atau alamat kantor ini. “
“Kenapa tidak diberi tahu?”
“Karena persis setelah menyampaikan dua amanah kepada saya, Abah Anom kemudian berpulang, Bu.”
“Berpulang? Maksud kamu, meninggal?”
“Iya, Bu, dua tahun yang lalu.”
“Hemmh..,” komentar Ibu Widya itu dengan raut aneh yang tak bisa aku artikan.
Hening sesaat.
“Nah, nah, tadi kamu bilang, Abah Anom memberi kamu dua amanah. Yang pertama adalah surat ini, betul?”
Aku mengangguk.
“Lalu yang kedua?”
“Yang kedua adalah, saya harus menjaga Ibu, sampai kelak Ibu menikah. Artinya, setelah menikah maka amanah yang diembankan kepada saya sudah selesai."
"Itu berarti pula, jika sekarang ternyata Ibu sudah menikah maka amanah yang kedua itu otomatis gugur.”
“Menjaga? Menjaga dalam arti yang bagaimana neeeh..??”
“Mungkin sebagai pengawal atau bodyguard, mungkin sebagai ajudan, sebagai sekuriti atau satpam. Saya tidak begitu mengerti. Mungkin hal itu telah dibicarakan sebelumnya oleh almarhum Pak Wisnu dan almarhum Abah Anom.”
Ibu Widya menggelengkan kepalanya lagi, seakan kesal pada keadaan yang telah berlangsung ini. Ia terus menggerutu.
“Menjaga.., menjaga.., memangnya saya ini anak kecil sampai harus dijaga?”
“Saya tidak perlu dijaga. Saya tidak butuh orang macam kamu.”
“Saya punya sopir, punya sekretaris, punya ajudan, dan mereka semua sudah bekerja dengan profesional untuk saya.”
“Lha, kamu? Badut Hello kitty? Bisa apa? Cuma bisa berlagak macam jagoan, iya kan?”
Sungguh, aku berharap Ibu Widya akan berkata ‘kamu tak perlu menjaga saya karena saya sudah menikah’, begitu.
Dan sungguh, sumpah mati aku penasaran, apakah Ibu Widya ini sudah menikah??
********
**“Auuuuuuuu…!”Dengan marah dan geramnya Gending terus meremas kemaluan sang lawan.Begitu terasa di jari jemarinya, satu batang kemaluan lengkap dengan dua butir.., eee.., apa namanya? Buah pelir, sebut saja begitu.“Ampuuuuun..!”Tak cukup hanya meremas, Gending juga menyentak-nyentaknya ke sembarang arah.Mau putus, putuslah. Mau lepas, lepaslah. Demikian pikirnya.“Aaaakh..! Ampun.., ampuunn..!”Akhirnya, cekikan di leher Gending pun terlepas. Sang ajudan ini langsung menarik satu nafas yang dalam untuk mengisi paru-paru dan otaknya kembali dengan oksigen.Fiuhh..! Barulah ia bisa melihat segala sesuatunya dengan terang lagi.Ia kemudian bangkit berdiri, sembari memutar badan ke arah lawan yang kini tak berkutik di dalam cengkeramannya.“Ampun, Mojo..!”“Ampun, Mojooo..! Lepaskan, lepaskaaan.. auuuu..!”Begitu terkejutnya
**Suasana coffe shop memang tidak terlalu ramai dengan pengunjung. Hanya ada beberapa orang yang duduk di bagian dalam, dan beberapa orang lainnya yang duduk di bagian luar.Para pengunjung itu tentu saja saling tidak kenal dan tidak acuh. Termasuk ketika ada dua orang yang baru datang menyambangi Gending di meja pojok luar itu.Jika pun ada pengunjung yang kebetulan melihat, penampakannya bagi mereka adalah seperti ini;Satu dari dua orang yang baru datang itu memeluk Gending dari arah belakang.Tidak ada yang tahu bahwa sesungguhnya itu adalah serangan mematikan yang bisa dilakukan bahkan tanpa suara!Gending yang menerima cekikan itu sontak terperanjat.“Huugghh..!” Nafasnya tercekat di tenggorokan.Secara refleks ia menangkap tangan kiri si penyerang yang membelit lehernya, lantas menarik ke bawah supaya cekikan bisa terlepas. Akan
**Satu bulan kemudian..,Gending masih belum juga mendapat kepastian, atau paling tidak sedikit gambaran, kapan kira-kira Miss Widya akan menikah. Hal itu kerap membuat ia uring-uringan tak menentu. Kadang, tanpa alasan yang jelas ia merasa gelisah. Perasaan itu menjadi memuncak ketika ia teringat janjinya pada Iroh dan Mikhail.Sewaktu mengambil jatah liburnya yang terbaru ini, ia dan Iroh bersama Mikhail pergi ke Cibinong. Mereka bersilaturahmi ke rumah paman Iroh, yang sesungguhnya merupakan saudara sepupu dari ayah Iroh.Sesuai dengan perbincangan mereka sebelumnya, di situ Gending melamar Iroh kepada keluarga sang paman. Lamarannya disambut dengan tangan terbuka. Disambut pula dengan uluran doa yang tulus.Disaksikan keluarga sang paman, Gending memakaikan cincin perak di jari manis Iroh. Lalu Iroh pun menyalami dan mencium tangan Gending sembari menitikka
**Setelah memasuki kamar Miss Widya membanting tubuhnya ke kasur. Rasa kesal yang tak tertahankan membuat ia menangis.Ada begitu banyak alasan yang membuatnya menangis itu. Salah satunya adalah, ia pun tidak tahu mengapa harus menangis!“Kurang ajar kamu, Gending!” Umpatnya dalam hati.“Tega sekali kamu memperlakukan aku macam begini!”Sedetik kemudian, sisi hatinya yang lain bertanya pula.“Memangnya apa yang telah dilakukan Gending padaku?”“Ah, dasar sialan kamu Mojo badut hello Kitty kuda lumping!”“Lumpiiiingg..!”“Bikin malu aku saja!”“Dasar kamu laki-laki tak tahu diuntung!”“Aku yang sudah steady cantik begini kamu cuekin!”“Bahkan kamu pun tak sudi memandang aku!”“Sesetia itukah kamu pada Iroh pacar kamu itu??”“Secantik dan sebaik apa sih Iroh
**“Atau kamu punya seseorang lain yang mau kamu jodohkan ke aku?” Tanya Miss Widya sembari bangkit, lalu berjalan pelan ke arah Gending.Satu.., dua.., langkah kakinya anggun, menapak di lantai dengan ritme yang acak dan sesekali gugup.Sementara di sisi Gending, ia memisuh-misuh di dalam hati.“Diancxuuuk..!”Mengapa?Karena kimono tipis dan transparan yang dipakai Miss Widya itu, rupanya telah bersekongkol dengan cahaya lampu, membiaskan sosoknya, hingga semua lekak-lekuk tubuh putri Wibisono itu tampak jelas di mata Gending.Satu.., dua.., langkah Miss Widya semakin dekat pada Gending. Hingga akhirnya ia pun berhenti tepat di depan sang ajudan. Cuma satu jengkal jaraknya.Miss Widya menengadah, menatap Gending yang pandangan matanya ia pertahankan tetap lurus ke depan, meski yang ia lihat hanyalah dinding.“Ada? Laki-laki lain yang mau kamu jodohkan dengan aku?” Tanya M
**Miss Widya memang telah mempersiapkan ini semua. Citra dan perbawa seorang ratu telah ia bangun malam ini, dan ia tunjukkan khusus untuk seoraang Gending.Ya, semuanya.Baju kimono tipis yang ia kenakan, riasan di wajah dan rambut yang tertata, termasuk cara duduknya yang bertopang kaki di sofa ini.Perihal es krim, ia menyantapnya dengan dua tujuan. Pertama, untuk mengatasi gugup.Lalu yang kedua, untuk menampilkan citra sensual lewat bibirnya yang basah akibat es krim.“Masak sih, Gending si kuda lumping itu tidak ada rasa tertariknya ke aku? Sedikit pun?” Pikir Miss Widya terus penasaran. “Bagaimana dia menatap aku, bagaimana dia berbicara dengan aku, seolah-olah aku ini perempuan yang biasa-biasa saja, tidak cantik dan tidak menarik.”“Dia mengaku setia ke Iroh pacarnya itu, hemm.., bagaimana kalau aku memberi kamu sedikit godaan?&







![[ ROSES ] : The Tragedy After 10 PM](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)