LOGINKeesokan harinya..,
Dengan menaiki bus lalu aku teruskan dengan naik ojek online, akhirnya siang ini aku sampai di Priok, tepat pada alamat yang aku tuju. Sesuai dengan petunjuk yang kudapat dari Galih tadi malam.
Lalu sekarang, aku berdiri canggung di tepi jalan raya. Matahari terik kota Jakarta hampir mencapai titik kulminasinya, membuatku terpaksa menyipitkan mata.
Kepalaku menengadah, menatap sebuah gedung tinggi nan megah dengan pucuknya yang tampak menusuk langit.
Dua puluh lima lantai, kurang lebih, inilah dia, gedung yang bernama Arung Tower. Jendela-jendela kantornya yang persegi tampak tersusun simetris dari atas ke bawah, juga dari kanan ke kiri.
Aku kemudian melangkah menuju gedung Arung Tower itu. Sembari berjalan aku membetulkan posisi tas selempangku, sembari meyakinkan diri bahwa sepucuk surat yang terbungkus amplop untuk Pak Wisnu Wibisono telah berada di dalamnya sejak aku pergi dari rumah tadi.
“Permisi, selamat siang, Pak,” sapaku pada seorang petugas sekuriti, yang kebetulan sedang berada di lobi depan gedung.
“Ya, selamat siang. Ada apa?” Sahut sang sekuriti dengan ramah.
“Maaf mengganggu, Pak. Apa betul ini kantornya Pak Wisnu Wibisono?”
“Hemm, ya, betul. Ada yang bisa dibantu?”
“Saya mau bertemu dengan Pak Wisnu, bisa Pak?”
Aneh! Mendengar permintaanku ini tiba-tiba wajah petugas sekuriti berubah. Rautnya tidak lagi ramah. Berubah menjadi masam, mengeras, dan menatapi aku dengan penuh kecurigaan.
“Maaf, Bapak siapa?” Tanya sang sekuriti.
Karena sering kesal dengan penyebutan nama ‘Mojo’ yang selalu salah, maka aku menyebutkan nama belakangku
“Jaya, nama saya Jaya.”
“Ada perlu apa?” Tanya dia lagi menyelidik.
Mungkin dia menakar aku dari penampilan diriku yang tidak meyakinkan ini. Berkemeja kotak-kotak, bercelana katun sederhana, dan bersepatu sneaker bulukan yang warnanya telah berubah dari putih ke abu-abu akibat debu.
Lalu, dengan semua yang ada pada diriku ini, aku mau menemui seorang CEO, atau direktur perusahaan besar yang sangat dihormati oleh seluruh karyawan dan orang-orang di sekitarnya??
“Eee.., anu Pak, saya mau mengantarkan sebuah surat untuk Pak Wisnu.”
“Surat? Surat dari siapa?”
“Dari Abah Anom.”
“Abah Anom, siapa itu?”
Aku mulai gugup.
“Emm, maaf Pak. Tanpa bermaksud untuk tidak sopan. Pak Wisnu pasti tahu kok. Beliau pasti mengenal dengan baik siapa itu Abah Anom.”
“Ya sudah, sini suratnya. Biar nanti saya sampaikan ke atas.”
“Aduh, sekali lagi mohon maaf, Pak. Saya diperintah untuk langsung memberikan surat ini kepada Pak Wisnu.”
Mendengar jawabanku ini wajah sang sekuriti semakin tidak ramah saja. Masih dengan gerak-gerik yang curiga ia lantas membimbingku menuju ke bagian dalam gedung.
Aku berjalan membuntut di belakangnya, melewati sebuah pintu kaca nan besar, lalu menyusuri semacam lobi yang cukup luas hingga kemudian berhenti di depan front desk, atau resepsionis.
Aku disuruh duduk untuk menunggu. Sementara sang sekuriti langsung melangkah ke balik front desk. Hingga kemudian aku hanya bisa melihat sedikit kepalanya yang menunduk.
Ia terlibat pembicaraan yang serius dengan dua petugas resepsionis di balik front desk itu. Ya, aku mendengar suara bisik-bisik ‘ssstt-sssstt-sssstt’, begitu.
Akhirnya, salah satu petugas resepsionis, seorang wanita tiga puluhan, bangkit dari kursinya. Ia menoleh dan segera menatapku.
“Pak Jaya?” Panggilnya.
“Ya.” Aku pun bangkit, berjalan ke arah mejanya.
“Mohon maaf ya, Pak,” katanya dengan raut prihatin. “Karena satu dan lain hal, Pak Wisnu tidak dapat ditemui.”
Aku langsung lemas.
“Jadi, kira-kira, kapan saya bisa menemui Pak Wisnu, Bu? Atau saya harus membuat janji bertemu lebih dulu?”
“Emm, untuk itu, saya tidak bisa memastikan. Tapi kalau hanya untuk mengantarkan surat, Bapak bisa menitipkan di saya.”
Seperti yang kuutarakan pada sekuriti tadi, aku pun berkeras bahwa aku harus menyampaikan surat dari Abah Anom ini ke tangan Pak Wisnu langsung.
Wajah bertemu wajah, dan tangan bersambut tangan. Apa pun rintangannya, dan bagaimana pun keadaannya. Karena memang begitulah yang diamanahkan Abah Anom padaku.
Petugas resepsionis kembali ke balik front desk. Sebentar kemudian ia terlibat perbincangan bisik-bisik lagi dengan seorang rekannya, juga petugas sekuriti yang pertama tadi.
“Aneh!” Kataku dalam hati.
Ada yang tak wajar dengan semua sikap karyawan di sini, dan aku terus menduga-duga gerangan apakah itu.
Berikutnya, aku melihat petugas resepsionis itu mengambil telepon intercom dan melakukan panggilan, entah kepada siapa. Suaranya di telepon lirih sekali hingga aku tak bisa mencuri dengar.
Usai bertelepon itu petugas resepsionis kembali menghadapku. Penuh hati-hati ia kemudian berbicara.
“Begini ya, Pak. Dengan berat hati saya harus memberi tahu Bapak, bahwa Pak Wisnu.., sudah tiada.”
Aku terkejut setengah mati.
“Ti.., ti.., tiada, maksudnya, sudah meninggal?”
“Iya, Pak.” Jawab si resepsionis, dengan roman wajah yang mendadak kelabu.
Tanpa sadar aku menempelkan tapak tangan ke dadaku. Rasa prihatin segera mengisi hatiku, dan begitu pula sikap tubuhku.
“Kalau boleh saya tahu, kapan meninggalnya, Bu?”
“Sudah lama, sekitar sembilan bulan yang lalu.”
Sembilan bulan yang lalu, berarti ketika itu aku sedang berada di dalam penjara. Aku pun menarik nafas dalam-dalam, sadar pada kegagalanku menjalankan amanah ini. Sungguh, aku kecewa sekali.
Aku menunduk, memandangi sneaker bututku yang seakan tak menjejak lantai. Aku lantas menoleh ke kanan, pada satu pojok di mana pintu lift berada.
Suara denting dari lift itu menimbulkan sensasi yang begitu hening di dalam hatiku. Orang-orang yang keluar masuk dari lift itu juga membuatku gamang.
Aku segera sadar, bahwa aku masih mempunyai amanah yang kedua. Yaitu, menjaga putri Pak Wisnu itu, sampai nanti dia menikah. Ya, aku tidak boleh lupa pada amanah yang kedua itu.
Lagipula, menurut pemikiranku, selayaknya hukum waris, maka surat yang sedianya untuk Pak Wisnu ini mesti juga aku berikan kepada istrinya, atau anaknya.
“Ka.., ka.., kalau..,” kataku terbata-bata.
“Kalau saya bertemu dengan Ibu Wisnu, atau anaknya Pak Wisnu, bisa Mbak? Boleh saya minta alamatnya?”
Wajah kelabu sang resepsionis sekarang bercampur dengan mimik cemberut. Permintaanku ini sepertinya sedikit merepotkan bagi dia.
“Kalau Ibu Wisnu, maaf, dia tidak berada di sini. Tetapi, anaknya, yang sekarang memegang kepemimpinan perusahaan ini, emmh.., sepertinya Bapak harus membuat janji terlebih dulu.”
“Boleh, boleh, Bu. Saya akan menunggu.”
“Tunggu sebentar ya.”
Petugas resepsionis kemudian kembali duduk di kursinya. Ia melakukan panggilan lagi melalui telepon intercom.
Kepada seseorang yang ada si seberang sana ia menjelaskan perihal kedatanganku ini, bersama sepucuk surat dari Abah Anom.
“Bersyukurlah Bapak, karena Ibu Widya sedang tidak ada agenda siang ini,” kata resepsionis seusai bertelepon itu.
Aku langsung menarik nafas lega.
“Ibu Widya bisa menerima Bapak sekarang di ruangannya.”
Ibu Widya? Batinku kemudian. Oh, jadi, putri Pak Wisnu itu bernama Widya.
Sungguh aku berharap dia sudah menikah. Sehingga dengan demikian maka gugurlah amanah yang kedua dari Abah Anom itu.
Aku diberi sebuah name tag atau ID card oleh petugas resepsionis, berisi keterangan yang berbunyi; Pengunjung. Aku pun memakai name tag itu, melingkarkan talinya ke leher.
“Terima kasih, Bu.”
Selanjutnya aku menuruti arahan dari petugas resepsionis, berjalan memasuki lift dan menuju lantai teratas gedung ini.
Sepanjang perjalanan di dalam lift aku mengkhayal, tentang rencana-rencana untuk masa depanku. Yaitu, jika urusan dengan keluarga Wibisono ini selesai, aku akan pergi ke Riau, menuju satu kawasan transmigrasi untuk mengklaim tanah warisan dari almarhum ibuku.
“Di tanah itu aku akan bertanam melon.” Tekadku dalam hati.
“Aku akan menjadi petani..,”
“Melupakan semua kepahitan di dalam hidupku..,”
“Melupakan cinta terpendamku pada Ceu Lena..,”
“Dan menjalani hari-hariku bersama Iroh, tambatan hatiku saat ini..,”
Ting! Lift berdenting, pintunya terbuka dan ada orang lain yang masuk.
Ting! Lagi, ada yang masuk, disusul ada pula yang keluar. Begitu terus hingga aku sampai pada lantai teratas gedung Arung Tower ini.
Keluar dari lift aku mengambil jalan ke kanan. Menyusuri semacam lorong yang kanan-kirinya diapit oleh ruang-ruang perkantoran. Beberapa tanaman hias indoor tampak terpajang di salah satu sudutnya.
Di ujung, ternyata masih ada meja resepsonis lagi. Sedikit berbeda dengan yang di bawah. Di sini suasananya lebih dingin dan suram.
Aku pun segera mengutarakan maksudku pada seorang karyawati yang ada di balik meja itu. Sebentar bertanya jawab denganku, sang karyawati pun menelepon seseorang.
“Pak Jaya sudah di sini, Bu.” Katanya di telepon itu.
Oh, dia menelepon Ibu Widya, pikirku.
Usai menelepon sang karyawati bangkit, lalu mengarahkan aku pada satu ruangan di pojok dengan pintu yang tertutup. Di pintu itu terdapat sebuah label dengan tulisan berbunyi ‘CEO’.
Aih, aku langsung gugup.
“Silahkan, Pak.” Katanya padaku, sekaligus membukakan pintu ruang CEO itu.
“Terima kasih.”
Aku memasuki ruangan. Daun pintu ditutup kembali oleh karyawati dengan lembut. Sebentar aku berdiri canggung di ruangan CEO yang ternyata amat mewah ini.
Sekilas aku memperhatikan keadaan. Ada satu set sofa di sisi kanan, sementara di sisi kiri ada lemari kaca yang penuh dengan barang pajangan.
Di ujung sana, ada sebuah jendela besar yang menampilkan view jalanan raya, dengan ujungnya yang tampak samar-samar yaitu teluk Jakarta.
Ibu Widya, sang CEO anak Pak Wisnu itu, sedang duduk di kursinya, kursi putar yang yang juga mewah. Ia memakai busana semacam jas, dan memakai kacamata berbentuk persegi.
Dari posisiku berdiri ia menghadap ke samping, sehingga aku tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya.
Ia rupanya sedang mencermati lembaran berkas yang beberapa saat masih ia bolak-balik di atas meja kerjanya.
“Silahkan duduk, Pak,” kata Ibu Widya itu, seraya memutar posisi kursinya menghadapku.
Bersamaan dengan tangannya yang menutup berkas, ia pun menoleh dan menatap aku.
Jegerrr..! Aku terkejut bukan kepalang. Ternyata, dia adalah..,
********
**“Auuuuuuuu…!”Dengan marah dan geramnya Gending terus meremas kemaluan sang lawan.Begitu terasa di jari jemarinya, satu batang kemaluan lengkap dengan dua butir.., eee.., apa namanya? Buah pelir, sebut saja begitu.“Ampuuuuun..!”Tak cukup hanya meremas, Gending juga menyentak-nyentaknya ke sembarang arah.Mau putus, putuslah. Mau lepas, lepaslah. Demikian pikirnya.“Aaaakh..! Ampun.., ampuunn..!”Akhirnya, cekikan di leher Gending pun terlepas. Sang ajudan ini langsung menarik satu nafas yang dalam untuk mengisi paru-paru dan otaknya kembali dengan oksigen.Fiuhh..! Barulah ia bisa melihat segala sesuatunya dengan terang lagi.Ia kemudian bangkit berdiri, sembari memutar badan ke arah lawan yang kini tak berkutik di dalam cengkeramannya.“Ampun, Mojo..!”“Ampun, Mojooo..! Lepaskan, lepaskaaan.. auuuu..!”Begitu terkejutnya
**Suasana coffe shop memang tidak terlalu ramai dengan pengunjung. Hanya ada beberapa orang yang duduk di bagian dalam, dan beberapa orang lainnya yang duduk di bagian luar.Para pengunjung itu tentu saja saling tidak kenal dan tidak acuh. Termasuk ketika ada dua orang yang baru datang menyambangi Gending di meja pojok luar itu.Jika pun ada pengunjung yang kebetulan melihat, penampakannya bagi mereka adalah seperti ini;Satu dari dua orang yang baru datang itu memeluk Gending dari arah belakang.Tidak ada yang tahu bahwa sesungguhnya itu adalah serangan mematikan yang bisa dilakukan bahkan tanpa suara!Gending yang menerima cekikan itu sontak terperanjat.“Huugghh..!” Nafasnya tercekat di tenggorokan.Secara refleks ia menangkap tangan kiri si penyerang yang membelit lehernya, lantas menarik ke bawah supaya cekikan bisa terlepas. Akan
**Satu bulan kemudian..,Gending masih belum juga mendapat kepastian, atau paling tidak sedikit gambaran, kapan kira-kira Miss Widya akan menikah. Hal itu kerap membuat ia uring-uringan tak menentu. Kadang, tanpa alasan yang jelas ia merasa gelisah. Perasaan itu menjadi memuncak ketika ia teringat janjinya pada Iroh dan Mikhail.Sewaktu mengambil jatah liburnya yang terbaru ini, ia dan Iroh bersama Mikhail pergi ke Cibinong. Mereka bersilaturahmi ke rumah paman Iroh, yang sesungguhnya merupakan saudara sepupu dari ayah Iroh.Sesuai dengan perbincangan mereka sebelumnya, di situ Gending melamar Iroh kepada keluarga sang paman. Lamarannya disambut dengan tangan terbuka. Disambut pula dengan uluran doa yang tulus.Disaksikan keluarga sang paman, Gending memakaikan cincin perak di jari manis Iroh. Lalu Iroh pun menyalami dan mencium tangan Gending sembari menitikka
**Setelah memasuki kamar Miss Widya membanting tubuhnya ke kasur. Rasa kesal yang tak tertahankan membuat ia menangis.Ada begitu banyak alasan yang membuatnya menangis itu. Salah satunya adalah, ia pun tidak tahu mengapa harus menangis!“Kurang ajar kamu, Gending!” Umpatnya dalam hati.“Tega sekali kamu memperlakukan aku macam begini!”Sedetik kemudian, sisi hatinya yang lain bertanya pula.“Memangnya apa yang telah dilakukan Gending padaku?”“Ah, dasar sialan kamu Mojo badut hello Kitty kuda lumping!”“Lumpiiiingg..!”“Bikin malu aku saja!”“Dasar kamu laki-laki tak tahu diuntung!”“Aku yang sudah steady cantik begini kamu cuekin!”“Bahkan kamu pun tak sudi memandang aku!”“Sesetia itukah kamu pada Iroh pacar kamu itu??”“Secantik dan sebaik apa sih Iroh
**“Atau kamu punya seseorang lain yang mau kamu jodohkan ke aku?” Tanya Miss Widya sembari bangkit, lalu berjalan pelan ke arah Gending.Satu.., dua.., langkah kakinya anggun, menapak di lantai dengan ritme yang acak dan sesekali gugup.Sementara di sisi Gending, ia memisuh-misuh di dalam hati.“Diancxuuuk..!”Mengapa?Karena kimono tipis dan transparan yang dipakai Miss Widya itu, rupanya telah bersekongkol dengan cahaya lampu, membiaskan sosoknya, hingga semua lekak-lekuk tubuh putri Wibisono itu tampak jelas di mata Gending.Satu.., dua.., langkah Miss Widya semakin dekat pada Gending. Hingga akhirnya ia pun berhenti tepat di depan sang ajudan. Cuma satu jengkal jaraknya.Miss Widya menengadah, menatap Gending yang pandangan matanya ia pertahankan tetap lurus ke depan, meski yang ia lihat hanyalah dinding.“Ada? Laki-laki lain yang mau kamu jodohkan dengan aku?” Tanya M
**Miss Widya memang telah mempersiapkan ini semua. Citra dan perbawa seorang ratu telah ia bangun malam ini, dan ia tunjukkan khusus untuk seoraang Gending.Ya, semuanya.Baju kimono tipis yang ia kenakan, riasan di wajah dan rambut yang tertata, termasuk cara duduknya yang bertopang kaki di sofa ini.Perihal es krim, ia menyantapnya dengan dua tujuan. Pertama, untuk mengatasi gugup.Lalu yang kedua, untuk menampilkan citra sensual lewat bibirnya yang basah akibat es krim.“Masak sih, Gending si kuda lumping itu tidak ada rasa tertariknya ke aku? Sedikit pun?” Pikir Miss Widya terus penasaran. “Bagaimana dia menatap aku, bagaimana dia berbicara dengan aku, seolah-olah aku ini perempuan yang biasa-biasa saja, tidak cantik dan tidak menarik.”“Dia mengaku setia ke Iroh pacarnya itu, hemm.., bagaimana kalau aku memberi kamu sedikit godaan?&







