“Setelah pulang dari menjalankan misi, ibu pasti terkejut ketika melihat aku tidak ada di rumah,” batin Luo Yi seraya melangkah ke arah kursi. Sesampainya di depan kursi, ia duduk dengan santai, tetapi hatinya masih berkata-kata. “Ibu pasti mencariku. Aku ingin pulang, tetapi aku belum menguasai Teknik Pernafasan Alam.”
Pandangan matanya tertuju pada meja di depannya. Meja bundar dengan ukiran gambar naga yang melingkar.
Tak lama kemudian, Hua Lianyi datang dari dapur dengan nampan kayu berisi Nasi Bambu Seribu Akar serta guci keramik yang di dalamnya berisi Teh Bunga Persik.
Sembari meletakkan nampan di atas meja, Hua Lianyi dengan tenang bertanya, “Apa yang sedang kau pikirkan, Yi'er?”
“Saya hanya khawatir ibu saya mencari saya, tetapi saya sudah bertekad untuk tidak pulang sebelum mendapatkan kekuatan,” jawab Luo Yi seraya membantu Hua Lianyi menyiapkan makanan yang telah dimasak wanita itu.
“Jadi kau pergi ke sini tanpa berpamitan dengan orang tuamu, ya?” tanya Hua Lianyi dengan tenang.
“Sebelum berangkat ke sini, saya bermimpi. Di dalam mimpi itu saya mendengar suara tanpa rupa yang mengatakan, ‘Jika kau menginginkan kekuatan, datanglah ke Hutan Lianhua.’ Setelah bangun dari mimpi itu, saya pun bertekad untuk pergi ke hutan ini, tetapi karena rumor mengatakan bahwa belum pernah ada seorang pun yang kembali setelah memasuki hutan ini, saya pergi ke hutan ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibu saya, karena saya telah menduga ibu saya tidak mungkin mengizinkan saya pergi ke hutan ini.” Luo Yi menceritakan alasannya datang ke sini.
Hua Lianyi yang kini telah duduk di kursi dengan tenang menyesap tehnya, baru setelah itu ia merespon. “Tekadmu tinggi, Yi'er. Tapi jika kau pergi ke sini tanpa berpamitan dengan ibumu itu tidak baik. Ibumu pasti sangat mengkhawatirkanmu.”
Luo Yi menundukkan kepalanya. “Maafkan saya. Kalau begitu, setelah ini saya akan pulang untuk meminta izin kepada ibu saya.”
Hua Lianyi dengan tenang berkata, “Jangan, Yi'er. Jika banyak orang tahu kau keluar dari hutan ini dalam keadaan selamat, kemungkinan besar akan banyak kultivator berdatangan ke sini untuk mengincar sumber daya Hutan Lianhua. Biarkan rumor itu terus berlanjut agar hutan ini aman dari kultivator-kultivator yang serakah.” Setelah berkata demikian, ia menyesap teh lagi.
“Lalu bagaimana dengan ibu saya?” tanya Luo Yi.
“Siapa nama ibumu? Biar aku saja yang menyampaikan izinmu pada ibumu, karena aku bisa ke tempat ibumu dengan Jurus Teleportasi, jadi tidak ada yang akan tahu kalau aku datang dari hutan ini,” kata Hua Lianyi dengan tenang.
“Jurus Teleportasi?” Luo Yi mengerutkan keningnya.
“Ya,” jawab Hua Lianyi dengan tenang. “Dan aku juga akan mengajarkan jurus itu padamu setelah kau berhasil menguasai Teknik Pernafasan Alam. Kau beritahukan saja nama ibumu dan di mana dia tinggal”
“Nama ibu saya Luo Yin, dan rumah ibu saya di Klan Luo yang berada di Ibukota Ningzou bagian tenggara,” jawab Luo Yi.
Melihat Luo Yi belum menyentuh makanan buatannya, Hua Lianyi dengan tenang bertanya, “Apakah kau tidak menyukai masakanku, Yi'er?”
“Bukan begitu, Guru,” kata Luo Yi. “Saya hanya ... masih canggung. Selama ini saya hanya makan masakan ibu, jadi saya belum terbiasa makan masakan orang lain.”
Hua Lianyi tersenyum hangat, lalu dengan tenang ia berkata, “Kalau begitu, anggap saja itu masakan ibumu. Anggap saja ini rumahmu sendiri, karena aku tidak akan mengizinkanmu keluar dari hutan ini sebelum kau menguasai semua ilmu yang akan kuajarkan.”
Setelah Hua Lianyi berkata demikian, akhirnya pun Luo Yi mulai mencicipi Nasi Bambu Seribu Akar dan Teh Bunga Persik buatannya.
Setelah selesai makan dan menikmati Teh Bunga Persik, dengan tenang Hua Lianyi bangkit dari duduknya seraya berkata, “Sebelum pergi menemui ibumu, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
“Apa itu?” tanya Luo Yi.
“Ikuti aku!” Hua Lianyi berjalan dengan tenang ke sudut ruangan.
Luo Yi mengangguk, lalu mengikutinya.
Di sudut ruangan, Luo Yi melihat gurunya itu mengetukkan jarinya tiga kali pada lantai kayu. Kemudian, sebuah lingkaran di lantai perlahan terbuka, memperlihatkan pintu rahasia yang tersembunyi rapi, sebuah jalan masuk menuju ruang bawah tanah.
“Lewat sini!” kata Hua Lianyi seraya melangkah ke dalamnya.
“Baik.” Luo Yi mengikutinya masuk ke dalam, berjalan melalui tangga spiral yang membawa mereka turun ke sebuah ruangan tersembunyi di bawah Paviliun Bunga Persik.
Sesampainya di bawah, mereka sekarang berada di tengah-tengah ruangan berbentuk bundar dengan diameter kurang lebih sepuluh tombak.
Di ruangan ini, Luo Yi melihat rak-rak buku melingkar mengikuti dinding, menjulang hingga mendekati langit-langit. Ruangan ini tidak gelap, karena terdapat kristal-kristal bergelantungan di langit-langit yang memancarkan cahaya terang seperti lampu.
“Inilah Perpustakaan Bawah Tanah. Di sini tersedia banyak buku-buku tentang alkimia dan taktik pertarungan. Di sini juga ilmu yang telah disembunyikan berabad-abad akan mengajarkanmu bukan hanya seni beladiri, tetapi juga ilmu-ilmu yang belum banyak diketahui dunia.” Hua Lianyi menjelaskan dengan tenang tenang ruangan rahasianya.
Luo Yi memperlihatkan ekspresi kagum dengan ruangan ini, ia tidak tahu harus berkata apa selain mengucapkan, “Terima kasih, Guru. Aku akan membaca banyak buku di sini.”
Hua Lianyi tersenyum tipis. “Selamat membaca! Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Sebelum Luo Yi sempat merespon, tiba-tiba cahaya lembut dengan cepat menyelimuti tubuh Hua Lianyi, kemudian gurunya itu menghilang dari hadapannya dalam waktu kurang dari satu tarikan nafas.
“Inikah jurus yang dimaksud Guru.” Luo Yi menyadari apa yang baru saja ia lihat. “Sepertinya Guru menggunakan Jurus Teleportasi untuk menemui ibuku di Klan Luo.”
***
Di tempat lain, jauh dari heningnya Hutan Lianhua, suasana Klan Luo tampak berbeda.
Luo Yin yang baru saja pulang dari menjalankan misi, terlihat sangat khawatir melihat putra semata wayangnya tidak ada di rumah.
“Luo Yi! Di mana kau, Nak?” Luo Yin memanggil-manggil nama anaknya dengan nada khawatir seraya memeriksa seluruh ruangan rumahnya, tetapi ia tidak menemukan Luo Yi, membuatnya semakin khawatir.
Tiba-tiba, angin tipis berhembus di dalam ruangan. Cahaya lembut muncul di tengah-tengah halaman kecil rumah itu, dan dari pusaran cahaya itu, sosok wanita bergaun biru muda perlahan menampakkan diri.
Luo Yin terkejut. Ia refleks mundur satu langkah sambil menaruh tangan di gagang pedangnya. Namun, ketika melihat sosok yang muncul tidak menunjukkan aura membahayakan, ia menahan diri.
“Siapa kau?” tanya Luo Yin dengan suara waspada.
Wanita itu tersenyum tenang. “Namaku Hua Lianyi. Aku datang bukan untuk menyakiti siapa pun. Aku datang mewakili Luo Yi.”
Mendengar nama anaknya disebut, ekspresi Luo Yin berubah. “Kau tahu di mana Luo Yi?”
Hua Lianyi mengangguk pelan. “Putramu berada di tempat yang aman. Dia datang ke Hutan Lianhua demi mencari kekuatan. Aku kini menjadi gurunya.”
Sambil mendengarkan Zhu Xiehun berbicara, Luo Yi mengaktifkan Jurus Langkah Tenang Menghanyutkan. Setelah jurus itu aktif, dan waktu itu adalah saat di mana pria berjubah merah itu belum menyelesaikan ucapannya, Luo Yi dengan tenang melangkahkan kakinya.Dalam sekejap, ia telah berpindah di hadapan Zhu Xiehun dengan Pedang Qingling dalam genggaman tangan kanannya kini telah berada di dekat leher pria itu.Zhu Xiehun tersentak. Keringat dingin seketika mengalir deras dari pelipisnya, dan jantungnya berpacu dengan cepat.“Cepat sekali! Lebih cepat dari sang Legenda yang pernah kuhadapi sebelumnya. Aku bahkan tidak merasakan apa pun saat orang ini mengaktifkan Jurus Teleportasi. Aku harus berhati-hati dengan orang ini!” batinnya.“Si ... siapa kau sebenarnya?” Zhu Xiehun bertanya dengan suara bergetar dan sedikit terbata.Luo Yi menjawab dengan tenang. “Aku hanya seorang pendekar yang ingin menghentikan kegaduhan yang disebabkan oleh orang-orang sepertimu.”“Kegaduahan? Apa maksudmu?” ta
Luo Yi menoleh ke arah ayahnya. Ia tersenyum tipis sebelum menjawab, “Jalan yang kutapaki adalah jalan sunyi. Dengan kata lain, aku memilih jalan yang membawaku pada ketenangan dan kedamaian. Jika aku melihat seseorang membuat kegaduhan, maka aku akan menghentikan kegaduhan itu dan menuntun orang itu ke jalan kedamaian.”Luo Yang tersentuh. Baginya, jawaban yang dilontarkannya putranya itu adalah kata-kata yang penuh makna mendalam. Ia tak tahu harus berkata apa selain merespon dengan kata, “Kau benar-benar sudah berubah, Yi'er.”Luo Yi hanya tersenyum tipis sebagai respon. Setelah percakapan itu, ia dan ketiga anggota keluarganya kemudian kembali masuk ke dalam kediaman setelah menutup kembali pintu gerbang halaman.***Malam harinya, dirasa semua orang dalam kediaman telah tertidur lelap, di kamarnya Luo Yi mengeluarkan Pedang Qingling dari cincin penyimpanannya.Saat bertarung melawan Luo Mian di Gerbang Selatan, ia sempat menghisap energi Qi merah ketika Pedang Qingling-nya itu be
Setelah hening beberapa saat, Luo Yin membuka suara. “Kenapa kau tidak ingin menemui Dewan Agung, Yi'er?” tanyanya, ada garis kerutan di dahinya. “Ibu yakin beliau pasti akan memberikan penghargaan yang sangat besar padamu. Bukankah dulu tujuanmu menjadi kuat karena menginginkan itu agar semua orang mengakuimu?”Luo Yi menatap ibunya yang tampak penasaran terhadap alasan di balik keputusannya. “Apakah Ibu lupa? Kemarin aku sudah mengatakan pada Ibu dan Bibi Qin di Danau Wuyao, bahwa tujuanku menjadi kuat adalah untuk mengubah dunia persilatan yang penuh dengan kegaduhan ini menjadi tenang dan damai,” katanya tenang. “Tujuanku sudah berubah sejak aku bertemu dengan guruku.”Setelahnya, Luo Yi bangkit dari duduknya, berniat untuk keluar dan menemui Yu Xuan. Namun, baru saja selangkah ia menapakkan kaki, ia mendengar ibunya kembali berkata, “Tapi kau berhak untuk bahagia, Yi'er. Kau berhak mendapatkan penghargaan, dan untuk mendapatkan itu, kau harus menjelaskannya pada Dewan Agung.”
Luo Mian menatap gerbang besar yang kini telah roboh sebelum menjawab, “Dia adalah pemuda yang sangat tenang, bahkan saat di bawah tekanan aura Ranah Ksatria sekali pun.”Mendengar ayahnya mengatakan 'sangat tenang', Luo Lian dapat menebak, “Apakah itu Luo Yi?” Luo Mian mengangguk. “Semua kerusakan di Gerbang Selatan ini adalah ulah ayah, tapi pemuda itu menghentikan ayah dengan ketenangannya. Ayah tak merasakan aura ranah kultivasi sedikit pun dalam dirinya. Tapi bagi ayah, dia seperti Kultivator Ranah Legenda.”Luo Lian menundukkan kepalanya dengan wajah murung. Ia sadar, bahwa Luo Yi yang dikiranya tak memiliki dantian, ternyata menyimpan kekuatan sebesar itu. “Aku kemarin juga bertarung dengannya, Ayah,” ucapnya lirih, tetapi masih dapat didengar oleh ayahnya.Luo Mian terkekeh sebelum berkata, “Ayah yakin kau pasti kalah.”Luo Lian mengerucutkan bibirnya sebelum berkata, “Awalnya aku merasa telah membunuhnya, tapi—”“Mungkin kau terkena ilusi,” potong Luo Mian. Luo Lian menger
Dengan kedua pedangnya, Luo Lian langsung menahan tubuhnya yang nyaris jatuh. Pria berjubah hitam itu berhasil kabur, dan ayahnya tiba-tiba dihisap oleh portal merah. Kini ... rasa putus asa menguasai dirinya. Ia menjatuhkan kedua lututnya dengan pasrah. Pandangannya kosong. Beberapa saat setelahnya, air matanya menetes, berjatuhan membasahi tanah gosong. “Kenapa ... kenapa ini terjadi pada keluargaku?” Luo Lian menjerit, suaranya lantang. Ia menangis dengan histeris. Ia merasa dirinya telah hancur. Dari belakang, Luo Lin merangkulnya, mencoba menenangkan kakaknya. “Tenangkan dirimu, Kak. Kita tidak boleh rapuh. Kita harus jadi kuat agar bisa membalas dendam!” katanya seraya menyandarkan kepalanya pada bahu kakaknya. Luo Lian memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri dari keterpurukan. Dalam pikirannya ia berusaha mencari cara untuk menjadi kuat. Setelah berpikir beberapa saat, ia pun teringat bahwasanya ibunya pernah bercerita padanya, kalau ibunya itu dulu pernah menj
“Tapi ibu ....” Luo Lin tak sanggup melanjutkan ucapannya begitu melihat tubuh ibunya yang tergeletak mengenaskan dan tak bernyawa lagi.Sementara itu, Luo Lian langsung mengalihkan pandangannya ke arah di mana tadi ayahnya bertarung. Matanya menajam ketika melihat sosok pria berjubah hitam itu melayang turun untuk mengambil Tongkat Bambu Emas-nya yang menancap di tanah gosong.Naga es ayahnya kini telah kembali ke wujud tombak biru tanpa adanya cahaya energi Qi yang tadi menyelimutinya. Di saat ia melihat ayahnya yang kini sedang berjuang keras untuk kembali berdiri dengan kedua tangan bergetar memegang tombak, ia meletakkan tubuh adiknya di sisi ibunya.“Tunggulah di sini, Lin'er. Aku harus menolong Ayah,” ujarnya, lalu segera menoleh ke arah pria berjubah hitam yang kini telah kembali menggenggam Tongkat Bambu Emas-nya.Luo Lin langsung menggenggam tangan kakaknya itu dengan tangannya yang lemas. “Aku sudah kehilangan ibu ... aku tidak ingin kehilangan Kakak dan Ayah!” ucapnya li