“Hutan Lianhua?” Luo Yin melebarkan matanya mendengar itu, sementara raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. “Hutan itu kan ....”
“Tidak perlu khawatir!” potong Hua Lianyi dengan tenang. “Aku pastikan putramu aman. Aku ke sini hanya mewakili Luo Yi untuk berpamitan padamu, karena putramu itu mengatakan kalau dia belum berpamitan denganmu ketika pergi ke Hutan Lianhua. Dia juga menitipkan pesan kalau dia ingin meminta maaf padamu karena pergi dari rumah tanpa berpamitan.”
Mendengar itu, Mata Luo Yin mulai berkaca-kaca dan ia bergumam dalam hati seraya menundukkan kepala. “Luo Yi, ibu bangga padamu. Kau berusaha menunjukkan pada ibu dengan tekad kuat bahwa kau bisa mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.”
Wanita itu mengusap air matanya yang mulai menetes, lalu ia menangkupkan tinjunya di depan dada dan membungkukkan tubuhnya di depan Hua Lianyi. “Maaf karena tadi saya telah menyambut kedatangan Anda dengan cara tidak sopan. Saya sekarang percaya dengan Anda. Tolong jaga putra saya dengan baik!”
Hua Lianyi mengangguk pelan. “Aku akan menjaga putramu dan melatihnya sampai menjadi kuat sepertiku.”
Hua Lianyi segera menghilang dari pandangannya setelah mengatakan itu, seperti asap yang tertiup angin. Luo Yin hanya bisa memandangi tempat wanita itu berdiri tadi, lalu berbisik lirih, “Kultivator Ranah Legenda!”
Bagi para kultivator, Jurus Teleportasi hanya bisa dikuasai oleh Kultivator Ranah Legenda.
Sebenarnya, Luo Yin sudah sempat menebak sejak awal. Cara bicara wanita itu, ketenangannya, dan kekuatan luar biasa yang ia tunjukkan—semuanya mengarah pada satu kesimpulan. Namun, emosi dan kekhawatiran terhadap anaknya sempat menutupi intuisi itu. Baru sekarang ia merasa yakin.
Akan tetapi, hal yang tidak diketahui Luo Yin, bahwa sebenarnya Hua Lianyi bukan Kultivator Ranah Legenda, melainkan pengguna Teknik Pernafasan Alam yang memungkinkannya memiliki kekuatan yang setara dengan Kultivator Ranah Legenda.
***
Sementara itu, di Hutan Lianhua, lebih tepatnya di Perpustakaan Bawah Tanah, terlihat Luo Yi telah fokus membaca sebuah buku yang berjudul ‘Cara Menenangkan Diri’. Ia berpikir jika ia membaca buku ini ia akan lebih cepat menguasai Teknik Pernafasan Alam, karena seperti yang dikatakan gurunya, teknik itu membutuhkan ketenangan tingkat tinggi.
Di saat sedang serius-seriusnya membaca buku itu, tiba-tiba sebuah cahaya lembut berpendar di depannya, membentuk siluet tubuh seseorang. Dalam hitungan detik, sosok Hua Lianyi muncul tanpa suara di hadapan Luo Yi, seolah cahaya itu membawanya langsung dari tempat lain.
“Yier,” kata Hua Lianyi tiba-tiba, suaranya lembut dan tenang.
Luo Yi tersentak ringan, lalu segera menoleh. “Guru?”
“Aku baru saja kembali dari menemui ibumu.”
Mata Luo Yi melebar. “Guru sudah ke rumah?”
Hua Lianyi mengangguk. “Aku telah menyampaikan izinmu dan juga pesanmu. Aku bisa merasakan dari sorot matanya, dia sangat menyayangimu dan bangga padamu, meski dia tak mengatakannya langsung.”
Hua Lianyi menatap rak buku di sekeliling mereka, lalu matanya tertuju pada buku yang sedang dipegang Luo Yi.
“Itu buku ‘Cara Menenangkan Diri’, ya?” tanyanya lembut sambil mendekat.
Luo Yi mengangguk, “Ya, Guru. Saya pikir jika saya memahami isi buku ini, saya akan lebih cepat menguasai Teknik Pernafasan Alam.”
Hua Lianyi tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dan menarik sesuatu dari cincin penyimpanan di jarinya, sebuah seruling giok berwarna perak yang berkilau diterpa cahaya yang memancar dari kristal-kristal yang menggantung pada langit-langit ruangan ini.
“Kalau begitu, biarkan aku tunjukkan padamu cara merasakan ketenangan dengan lebih dalam.”
Ia mendekatkan seruling itu ke bibirnya dan mulai memainkan sebuah nada lembut.
Alunan musiknya pelan, menyapu ruangan seperti angin musim semi. Nada demi nada terasa menyusup ke dalam hati Luo Yi, menenangkan pikirannya, seolah semua beban pikirannya menghilang. Tubuhnya terasa ringan, matanya sayu, dan kesadarannya nyaris dibuai ke alam mimpi.
Hua Lianyi menurunkan serulingnya perlahan. Tatapannya jatuh pada Luo Yi yang duduk lesehan di atas lantai keramik Perpustakaan Bawah Tanah ini, bersila dengan punggung bersandar ringan ke rak buku. Mata pemuda itu tampak setengah terpejam, seperti sedang berjuang melawan rasa kantuk yang datang akibat alunan merdu serulingnya tadi.
Melihat itu, Hua Lianyi tersenyum tipis.
“Jangan tidur di sini, Yi’er. Ayo ke kamar,” katanya lembut, seolah suara lembutnya melanjutkan irama ketenangan yang baru saja ia ciptakan.
“Maaf, Guru,” kata Luo Yi. “Saya sebenarnya belum ingin tidur. Tapi karena suara seruling yang Guru mainkan begitu merdu, saya merasakan ketenangan luar biasa. Saking nyamannya, saya hampir tertidur saat mendengarkannya.”
Hua Lianyi menawarkan, “Apakah kau ingin belajar memainkan seruling?”
Luo Yi mengangguk seraya melempar senyum. “Ajari saya, Guru!” pintanya.
“Sepertinya aku tidak perlu mengajarimu bermain seruling,” kata Hua Lianyi.
Senyum Luo Yi sedikit memudar, tetapi matanya masih menatap penuh antusias.
Hua Lianyi melangkah pelan mendekatinya, lalu duduk bersila di hadapannya. Ia menunjuk buku yang masih digenggam oleh Luo Yi.
“Buka halaman 178,” katanya tenang.
Luo Yi menuruti, membalik halaman buku hingga menemukan halaman yang dimaksud. Di sana tergambar sketsa seruling dan posisi jari, serta beberapa keterangan teknik dasar meniup nada.
“Kau bisa belajar sendiri dengan buku itu,” kata Hua Lianyi, lalu menyerahkan seruling yang di tangannya pada pemuda itu. “Ambil ini!”
“Terima kasih, Guru.” Luo Yi menerima seruling itu sembari tersenyum senang, tangannya menggenggam benda itu dengan penuh semangat, seolah tak sabar untuk mulai belajar.
“Berlatihlah!” Hua Lianyi beranjak berdiri. “Tapi jangan lupa untuk beristirahat!” sambungnya, lalu melangkahkan kaki menaiki tangga spiral.
“Baik, Guru!”
Setelah kepergian gurunya, Luo Yi menatap seruling di tangannya dengan penuh rasa ingin tahu. Ia kembali melirik halaman 178, memperhatikan posisi jari dan cara meniup yang dijelaskan di sana.
Dengan perlahan, ia mengangkat seruling itu ke bibirnya. Ia menyesuaikan posisi jari seperti pada gambar, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai meniup pelan.
Bunyi yang keluar masih terdengar sumbang dan tak beraturan.
Luo Yi tersenyum kecil. “Ternyata tidak semudah kelihatannya.”
Namun ia tidak menyerah. Ia kembali membaca, memperbaiki posisi jarinya, lalu mencoba lagi.
Kali ini, terdengar alunan sederhana, masih kasar, tapi lebih jelas dari sebelumnya. Nada-nada lirih memenuhi Perpustakaan Bawah Tanah, membawa nuansa baru di tempat itu.
Ia terus berlatih, nada demi nada, hingga akhirnya sebuah melodi pendek mulai terbentuk. Meski sederhana, alunan itu membawa ketenangan yang mendalam.
Tiba-tiba, seruling di tangannya bergetar ringan.
Luo Yi menurunkan seruling dan menatapnya dengan mata membelalak. “Apa yang terjadi?”
Namun tak ada yang terjadi lagi. Seruling itu hanya bergetar ringan, mungkin karena resonansi dari nada terakhir yang ia tiupkan. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri.
Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema dari tangga spiral.
Luo Yi menoleh cepat, tubuhnya refleks siaga. Tapi langkah itu terdengar ringan, pelan, dan sangat asing.
"Itu sepertinya bukan suara Guru," gumamnya pelan.
Langkah itu semakin dekat. Siapa pun itu, kini sudah hampir mencapai ujung tangga.
Luo Yi menggenggam serulingnya. Pandangannya tertuju pada arah pintu masuk, napasnya tertahan.
Dengan cekatan, Luo Yin segera memutar tubuhnya seraya menyiapkan bola energi Qi di tangan kanannya. Namun, begitu melihat orang yang tadi berjalan di belakangnya, ia menurunkan tangannya. Bola energi Qi yang ia siapkan untuk menyerang meredup. Matanya berkaca-kaca melihat sosok pemuda di depannya. “Kau ... kau Luo Yi, kan?”Dari jarak beberapa tombak tempat Luo Yin dan Luo Qin berada, Luo Yi tersenyum tipis, wajahnya terlihat sangat tenang. Pemuda itu mengangguk pelan seraya menjawab, “Ya, Ibu. Ini aku.”Luo Yin beranjak berdiri, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Wanita itu berlari ke arah Luo Yi lalu memeluknya. Ia tidak tahu harus terkejut atau bahagia. Tubuh mungil yang dulu ia peluk, kini telah berubah menjadi tubuh pemuda dewasa yang kekar dan hangat. Bahunya yang dulu sempit kini lebih lebar, dan tinggi badannya bahkan melebihi dirinya. Luo Yin menangis haru dalam pelukan putranya.Di sisi lain, Luo Qin melebarkan matanya, seol
Luo Lian melesat ke arah Luo Yi bagaikan kilat yang menyambar. DUAR!Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga mengguncang udara. Air Danau Wuyao terpental, membuncah ke segala arah akibat ledakkan energi Qi yang luar biasa dari serangan Luo Lian.Air danau yang terpental itu mengguyur daratan di sekitar danau, membanjiri tanah dan membuat beberapa pohon tumbang akibat hantaman arus deras yang datang secara tiba-tiba.Di tengah danau yang kini terlihat lebih surut, kabut putih mengepul tebal. Saat angin sore bertiup pelan, kabut itu perlahan tersibak, menampakkan sosok Luo Lian yang berdiri tegak di atas permukaan air. Wajahnya pucat dan nafasnya terengah-engah.Ia baru saja menggunakan Jurus Tebasan Taring Bulan, sebuah jurus yang membuat tubuhnya bergerak secepat kilat dan menebas bagaikan taring bulan yang dijatuhkan.Rambutnya yang memutih kini kembali menghitam seperti sedia kala. Aura ganasnya perlahan meredup, dan tingkat k
Luo Lian mengeluarkan sebuah pil berwarna merah gelap seperti darah kental dari cincin penyimpanannya. Itu adalah pil yang ia dapatkan dari hadiah menang dalam pertandingan di Kompetisi Kerajaan Zhi tahun lalu. Pil itu diracik oleh alkemis tingkat tinggi yang menggunakan bahan dari darah Kultivator Ranah Ksatria. Dengan kata lain, Kerajaan Zhi dipimpin oleh seorang Raja bernama Raja Zhi Yuan, yang juga termasuk Kultivator Ranah Ksatria. Jadi, pil itu dibuat dengan darah raja itu sendiri untuk dijadikan hadiah pada kompetisi tahunan di kerajaannya.Efek dari pil ini akan membuat ranah kultivator yang mengonsumsinya meningkat ke Ranah Ksatria, tetapi itu hanya berlaku untuk sementara.Luo Lian segera menelan Pil Darah Ksatria itu. Seketika itu juga, lonjakan energi yang mengerikan memancar ganas dari tubuhnya, membuat air danau di bawahnya membelah seperti dihantam gada raksasa.Rambut Luo Lian yang semula hitam memutih, otot-ototnya memb
“Maaf, Paman. Aku datang karena ingin pulang ke kampung halamanku, bukan untuk berkelahi,” kata Luo Yi seraya berjalan dengan tenang, melewati Luo Lian. Luo Yi memanggilnya dengan sebutan paman karena Luo Lian sebenarnya sudah berusia empat puluhan tahun. Luo Lian tampak seperti usia dua puluh lima tahun karena tingkat kultivasinya telah mencapai Ranah Lanjutan Tahap Sembilan. Dalam dunia persilatan, semakin tinggi ranah seorang kultivator, maka penuaan pada tubuhnya akan semakin melambat. Dan jika seorang kultivator telah mencapai ranah tertinggi, maka penuaan pada tubuhnya benar-benar akan berhenti, bahkan akan menjadi muda lagi seperti berusia dua puluhan tahun. Inilah alasan kenapa kebanyakan kultivator memiliki tujuan yang sama, yaitu mencapai ranah tertinggi. Melihat Luo Yi yang dengan tenangnya melewatinya, wajah Luo Lian memerah. Pria itu merasa seolah tantangannya tak layak untuk ditanggapi, membua
“Luo Yi, kaukah itu?”Suara lembut namun penuh rasa tak percaya itu membuat langkah Luo Yi terhenti. Ia menoleh perlahan ke arah sumber suara.Sekitar tujuh tombak dari tempatnya berdiri, tampak seorang gadis berdiri di dekat gerbang Klan Qiau. Jubah putih gading yang dikenakannya tampak berkilau samar diterpa cahaya matahari siang, dihiasi benang emas di bagian kerah dan lengan. Rambut hitamnya diikat rapi ke belakang dengan pita ungu muda.Di saat gadis itu menatapnya, Luo Yi mengenali tatapan itu. Tatapan yang dulu ia lihat saat dirinya dipermalukan di hadapan banyak orang di Sekte Pedang Langit. Saat semua menatapnya dengan hina, hanya satu orang yang memandangnya dengan iba, tanpa kata, namun menyentuh. Kini, tatapan itu kembali menyapanya. Masih sama, tapi kali ini dibalut keterkejutan.“Ya, ini aku, Nona Qiau,” jawab Luo Yi dengan suara tenang.Qiau Yu terpaku. Tatapannya menyusuri wajah Luo Yi yang kini lebih dewasa, tubuhnya tegap, sorot matanya dalam dan menenangkan. “Apakah
Luo Yi menghela nafas. “Ternyata Anda Guru, saya pikir orang lain,” katanya seraya menatap Hua Lianyi yang muncul dari pintu masuk tangga spiral.“Aku hanya sedang menguji ketenanganmu,” kata Hua Lianyi dengan tenang. “Tetaplah tenang dalam kondisi apa pun, Yi'er.”“Saya benar-benar tidak menduga kalau Guru akan menguji ketenangan saya lagi.” Luo Yi menatap seruling di tangannya. “Saya rasa, Guru melakukan sesuatu pada seruling ini.”Hua Lianyi tersenyum tipis. “Kau menyadarinya.”“Saya merasa Guru memiliki banyak cara untuk menguji ketenangan saya.” Luo beranjak berdiri, pandangan matanya masih tertuju pada sang guru yang berdiri di hadapannya. “Mulai sekarang, saya akan berusaha untuk selalu dalam keadaan tenang. Apa pun kejutan yang akan Guru berikan untuk menguji ketenangan saya, saya siap menghadapinya dengan ketenangan!”***Tiga tahun telah berlalu. Di bawah bimbingan Hua Lianyi, Luo Yi tumbuh menjadi sosok yang sangat berbeda. Tidak ada lagi kegugupan atau amarah remaja dalam