Share

Bab 2. Ledakan Kemarahan

Saat memasukkan bubuk cabai ke sarapan mertuanya, Sandra tak begitu memikirkan konsekuensi yang bakal ia dapatkan. Waktu itu ia dalam kondisi emosi tinggi. Akal sehatnya tertekan oleh nafsu untuk membalas Bu Utami yang tak menganggapnya sebagai menantu.

Setelah dengan sengaja menuang bersendok-sendok bubuk cabai itu, ia sempat mengintip mertua dan para tamunya duduk dengan nyaman di ruang makan. Ia bahkan membantu menuangkan air minum untuk mereka. Alex sudah pergi ke kantor. Ia tak biasa ikut sarapan di rumah.

Setelah sang mertua dan para tamunya memasukkan satu sendok makanan ke mulut, dengan kompak mereka mengernyit. Namun, untuk menghormati si tuan rumah, para tamu tersebut diam.

Dua sendok mereka makan. Wajah mereka tampak memerah. Dan saat akan memasukkan sendok kelima, Bu Citra tak tahan lagi.

 “Ini masakan apa to, Jeng? Warna santannya kayak sambal goreng tapi nggak ada kacang, cuma ayam doang. Tapi kalau dibilang opor kok terlalu merah. Dan rasanya ....”

Rose yang juga kepedasan pun memegangi perutnya. Ia mulas. Ia lantas berlari ke toilet.

Untuk sesaat Sandra terkikik. Dalam hati ia puas telah mengerjai mertua dan calon perebut suaminya. Ia pun ke kamar dengan langkah riang.

Bu Utami yang belum sempat menyicip opor pun menyendok sedikit kuah masakan tersebut dan melepehnya ketika lidahnya terasa terbakar. Ia mengumpat, berteriak memanggil Bi Inah.

Tergopoh-gopoh, Bi Inah mendekati majikannya.

“Apa-apaan ini, Bi?” tanya Bu Utami dengan wajah merah padam. “Bibi mau meracuni saya?”

Dengen tangan gemetar, Bi Inah menggeleng. “Enggak, Nyonya! Demi Tuhan.”

Rose kembali dari toilet. Dia menghampiri ibunya dan merengek, “Mah, pulang, yuk! Perutku sakit banget.”

Bu Citra melihat wajah anaknya menjadi pucat. Perutnya juga sakit, melilit-lilit tak keruan. Tadinya dia senang diundang sarapan oleh Bu Utami. Apalagi mengetahui niat Bu Utami untuk menjodohkan anak-anak mereka. Namun, melihat perlakuannya yang seperti ini, ia menjadi ragu.

“Jeng, apa kamu masih menyimpan dendam padaku?” tanyanya kemudian.

Bu Utami menoleh, memandangnya dengan heran. “Apa maksudmu?”

“Kalau Jeng nggak suka sama aku, bilang dong. Jangan gini.” Bu Citra bangkit dari duduknya. Matanya menyala-nyala. “Jeng kan tahu aku tidak kuat pedas. Kalau memang aku pernah membuat Jeng Utami tidak suka, bilang saja, jangan pakai cara kekanak-kanakan kayak gini.”

“Maksudnya apa to, Jeng? Aku nggak ngerti. Aku juga nggak pernah punya dendam sama Jeng Citra. Sumpah mati.” Bu Utami mulai panik. Perjodohan yang akan dilakukannya terancam gagal. Padahal dia kepingin sekali Alex menikah dengan Rose. Gadis itu adalah mantu idamannya. Selain cantik, ia juga anak orang terpandang. Ayahnya, alias suami Bu Citra merupakan seorang pejabat. Kalau Alex menikah dengan Rose, Bu Utami dapat menyombong kepada teman-temannya yang lain kalau ia memiliki besan seorang pejabat. “Ini pasti cuma salah paham.”

Cuping Bu Citra kembang kempis. “Udah, jujur saja, Jeng maunya apa? Kupikir Jeng Utami benar-benar mau mempererat tali silaturahmi dengan kami. Tetapi ternyata? Aku benar-benar kecewa.” Ia lalu meraih tangan Rose dan meninggalkan ruang makan.

Bu Utami mengejar, mencoba menjelaskan. “Jeng, jangan pergi gitu, dong! Aku mengundang kalian ke sini tuh mau menjodohkan Alex dengan Rose. Aku serius. Kau lihat Alex kan tadi? Anaknya cakep kan, Jeng?”

“Maaf ya,” Bu Citra menyela. “Setelah dipikir, aku kok eman.”

“Eman gimana?” Kening Bu Utami berkerut. Mereka kini sampai ke mobil Bu Citra yang terparkir di halaman. Setelah membuka kunci, Rose duduk di balik kemudi.

 “Pokoknya perjodohan ini batal. Aku eman kalau Rose punya mertua seperti Jeng Utami. Setiap hari diberi racun seperti ini. Bisa hancur perut anakku nanti.” Setelah bicara seperti itu, Bu Citra masuk ke mobil. Tak lama kemudian mereka pergi, meninggalkan Bu Utami yang meradang. Tangannya terkepal erat memandang bemper mobil keluar gerbang.

Setelah kembali ke dapur, ia menginterogasi Bi Inah. “Siapa yang ngasih cabai ke dalam masakan?” tanyanya dengan nada keras.

Bi Inah menggeleng.

Dengan suara lantang ia memanggil mantunya. Ia yakin Sandra pelakunya. Karena yang dipanggil tak juga datang, ia pun berderap ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dengan kekuatan penuh hingga menjeblak terbuka, membuat Sandra yang sedang mengenakan daster terlonjak.

“Kamu!” Tanpa peringatan, Bu Utami menampar Sandra. “Kurang ajar! Berani-beraninya kamu mempermalukanku!”

Darah Sandra merosot tiba-tiba. Matanya membelalak. Ia syok. Dan saking syoknya ia sampai tak dapat bergerak.

“Dasar mantu nggak tahu diri!” Kemarahan Bu Utami belum juga surut. Ia lantas menjambak Sandra, menyeretnya keluar dan mengempaskan tubuhnya ke halaman. “Pergi kamu dari sini!”

“Non!” Bi Inah yang melihat Sandra tergolek di tanah pun berusaha menolong.

“Lepas, Bi! Jangan sentuh dia!” Bu Utami menarik tubuh Bi Inah menjauh dari Sandra, seolah wanita itu memiliki penyakit menular.

“Tapi, Bu—“

“Diam! Ini bukan urusanmu! Masuk sana!” bentak Bu Utami.

Pintu gerbang terbuka. Alex kembali pulang. Rupanya, ada barangnya yang tertinggal. Ia terkejut ketika mendapati istri dan ibunya di luar rumah.

"Ada apa ini?" tanyanya.

"Ini nih, Sandra! Mempermalukan Mama di depan Jeng Citra dan Rose." Bu Utami mengadukan.

Sandra mendekati suaminya. Ia berniat menjelaskan. "Tapi, Mas! Mama yang mulai duluan. Dia nggak anggap aku sebagai istrimu."

"Tuh, kan! Malah nyalahin Mama."

Wajah Alex memerah. "Kamu kenapa sih, San? Apa susahnya nurut sama orang tua?"

Tangan Sandra mengepal erat. "Nurut? Mama pengin menikahkanmu lagi, aku disuruh nurut? Mas, mana ada wanita yang mau dimadu?"

"Ya mau gimana lagi? Kamu kan mandul."

Mata wanita itu menjadi panas. "Aku nggak mandul!"

"Kalau gitu, kenapa belum juga hamil?" Bu Utami menimpali.

"Itu karena aku stres punya mertua semena-mena kayak Mama!" Perasaan Sandra meledak. Saking emosinya, ia tak bisa lagi menahan lidahnya.

Mata Bu Utami membulat. Mulutnya menganga. "Apa?"

"Sandra!" Alex mengangkat tangan, berniat menampar istrinya.

Wanita itu malah menantang. Ia menyodorkan pipinya. "Tampar saja yang keras. Kalau perlu sampai bibirku berdarah. Dengan begitu, aku bisa laporkan kalian ke polisi atas tindak kekerasan!"

Hal itu membuat Alex terpana. Ia tak menyangka istri yang biasanya diam kini melawan. Ia lalu mendengkus. Ia menarik kembali tangannya. "Sekarang kamu berani ya ngelawan aku?"

"Sudah, ceraikan saja istri kayak gitu, Lex. Nggak berbakti sama sekali! Mama empet lihat mukanya." Bu Utami malah memotivasi.

Sandra memandang mereka dengan penuh kebencian. "Nggak usah repot-repot menceraikan aku. Aku yang akan menceraikanmu, Mas!" Ia lantas berbalik, berderap ke gerbang. Ketika sampai di depan gerbang, ia berteriak kepada Alex dan mamanya, "Kalian tunggu saja! Kalian akan menyesal memperlakukanku seperti ini!"

Ia lalu meninggalkan rumah itu. Selang beberapa meter ia baru sadar bahwa ia pergi tanpa membawa apa-apa. Dompet, ponsel, bahkan alas kaki pun tak ia bawa. Ia begitu emosi tadi. Ia juga bingung harus pergi ke mana. Tidak mungkin kan dia kembali ke rumah itu sekadar mengambil dompet? Ah, Sandra merasa bodoh sekali.

Ia lantas mencegat kendaraan pertama yang lewat.

Sementara itu, Barra, CEO muda yang akan berangkat ke kantor heran ketika melihat seorang wanita berpenampilan acak-acakan dan hanya memakai daster mencegat mobilnya. Wanita itu berdiri di tengah jalan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Setelah mobil Barra berhenti, wanita itu lalu mengetuk pintunya dengan heboh. Barra terpaksa menurunkan kaca.

"Ada apa?"

"Buka!" Sang wanita berteriak, membuat Barra terkejut. Tak mau orang-orang berpikir yang bukan-bukan, ia pun membuka kunci mobil.

Wanita itu lantas masuk dan duduk di kursi penumpang.

"Maaf, Mbak ini siapa?" tanya lelaki itu.

Alih-alih menjawab, wanita itu malah menangis.

Barra mencoba sabar. "Mbak, sepertinya kamu salah masuk mobil, deh!"

"Tolong antar aku ke rumah adikku." Sandra sesenggukan di dalam mobil.

Barra mengernyit. "Tapi, aku buka sopir taksi."

Sandra memandang Barra dengan matanya yang merah. Wajahnya merengut galak. Kemarahan dan ketidakberdayaan atas perlakuan sang suami serta mertuanya ia tumpahkan kepada lelaki asing yang kebetulan lewat itu. Dengan menggertakkan gigi, ia berkata, "Tolong. Antar. Aku. Ke. Rumah. Adikku."

Sekilas, Barra melihat api kebencian dari mata wanita itu. Ia takut wanita itu bertindak gila kalau tidak dituruti. "Tenang, Mbak, tarik napas--"

"Antar aku ke rumah adikku!" Sandra meledak lagi.

"Oke, oke!" Barra lantas melaju. Ia bahkan tak tahu di mana rumah adik wanita itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status