Accueil / Romansa / Janda Cantik Milik CEO Arogan / Bab 3. CEO itu Ternyata

Share

Bab 3. CEO itu Ternyata

Auteur: IyoniAe
last update Dernière mise à jour: 2023-10-25 22:03:30

Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.

Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.

Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.

Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.

Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran. Padahal, ia hanya lulusan SMA. Bosnya dulu sangat puas atas kinerjanya.

Namun, setelah menikah dengan Alex, Bu Utami memintanya berhenti dan fokus melayani keluarga. Kini ia menyesal menuruti sang mantan mertua. Seandainya ia terus bekerja, mungkin sekarang ia sudah menjadi bos.

Sandra menyiapkan CV. Ia mencoba melamar ke kantornya yang lama. Kali saja bosnya mau memberinya pekerjaan. Mungkin tidak sebagai kepala pemasaran. Ia bisa mulai dari awal, menjadi sales penjualan.

Akan tetapi sial, ketika sampai di perusahaan itu, HRD-nya sudah berganti, bukan temannya lagi.

"Wah, maaf, Mbak. Saya lihat di CV, Mbak sudah pernah nikah, ya?" tanya sang HRD.

Sandra mengangguk. "Iya. Emang kenapa, Mas?"

"Maaf, Mbak. Salah satu kriteria yang kami cari adalah freshgraduated."

Sandra menggigit bibir bawahnya. Ia sudah ditolak beberapa perusahaan sebelumnya dengan alasan yang sama. "Tapi saya lebih pengalaman, lho, Mas."

"Nah, itu dia, Mbak. Kita nggak mau yang punya pengalaman. Takutnya nanti minta gaji lebih tinggi dari yang kita tawarkan."

"Saya enggak begitu kok, Mas. UMR pun saya sanggup."

Si HRD mengelus tengkuknya dengan gugup. "Duh, gimana ya, Mbak. Saya cuma mengikuti perintah atasan saja."

"Coba dong, saya mau ketemu sama Pak Handi. Beliau dulu bos saya. Saya kan pernah kerja di sini."

"Pak Handi?" Kening HRD itu berkerut. "Pak Handi sudah pensiun, Mbak."

"Yah ...." Sandra putus asa. "Ya sudah, deh." Ia lantas pergi dengan kecewa. Ketika melangkah keluar, seseorang menabraknya. Sandra meminta maaf berulang-ulang.

"Sandra?"

Wanita itu menengadah. Ia melihat seorang wanita berbadan sintal memegang lengannya. Bibirnya yang merah karena memakai lipstik menganga. Matanya yang bulat memelotot tak percaya. Sandra mengenali wanita itu. Dulu ia bekerja satu tim dengannya. "Lusi?"

"Ya ampun, apa kabar?" Lusi lantas memeluk wanita itu. "Kenapa kamu ada di sini? Bawa map pula?"

Sandra enggan jujur. Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahunya dengan lesu. Lusi lantas mengajak Sandra ke kafe terdekat. Dilihat dari ekspresinya yang murung, ia tahu wanita itu pasti sedang ada masalah. ia ingin mendengar kabarnya.

Setelah sampai ke kafe dan memesan minuman, mereka bertukar cerita. Sandra menceritakan alasan ia datang ke sana. Ia juga menceritakan rumah tangganya yang kandas.

"Ya ampun, nasibmu, San. Dari dulu aku nggak suka kamu dekat dengan Alex. Tapi, ya sudahlah. Nah, masalah lamaran kerja, aku nggak bisa bantu kamu buat masuk ke sini lagi."

"Kenapa? Kamu kan sudah jadi kepala bagian, Lus. Tolonglah .... Please!"

Lusi menggeleng. "Sejak kamu keluar, perusahaan ini tuh banyak sekali berubah."

Sandra diam. Ia menyimak informasi temannya dengan khidmat.

Lusi melanjutkan, "Kamu tahu Pak Handi? Nah, beliau udah pensiun."

Pak Handi merupakan bos paling fair yang pernah ia kenal. Pantas saja banyak yang menyayangkan beliau pensiun. "Trus, sekarang siapa bosnya?"

"Orang bule. Pak Handi jual semua sahamnya ke mereka. Sejak itu peraturan berubah. Mereka nuntut kita kerja keras, tanpa ngasih upah yang sepadan. Semua orang nggak betah. Cuma aku yang bertahan. Itu pun karena aku merasa udah tua. Eman kalau keluar. Nyari kerja lagi kan susah."

Sandra mengangguk setuju. Lusi seusia dengannya. Dan ia mengetahui betul susahnya mencari pekerjaan saat berusia di atas kepala tiga.

"Nah," Lusi menambahkan, "tapi aku punya info tentang loker. Ada perusahaan baru, namanya Aksara Group. Di sana lagi nyari asisten seketaris. Coba aja ke sana."

"Harus S1?"

Lusi menggeleng. "SMA pun boleh."

Kening Sandra mengernyit. "Masa, sih?"

"Bosnya fair. Dia bener-bener nyari pekerja sesuai kemampuan, bukan lulusan. Hanya saja ...." Lusi enggan melanjutkan kalimatnya.

Sandra penasaran. "Hanya saja, apa Lus?"

"Bosnya itu ... gimana ya bilangnya? Dikatakan galak sih enggak, tapi lembut juga enggak."

"Maksudmu?" tanya Sandra.

"Pokoknya setiap bulan tuh ada aja sekretarisnya yang resign. Mereka nggak betah. Padahal dari kabar yang kudengar, bosnya ini ganteng maksimal. Masih muda pula."

Sandra menengok jam yang melingkar di tangannya. "Ya udah deh, nanti coba kumasukin CV ke sana. Siapa tahu ketrima. Alamat emailnya apa?"

"Nggak ada. Kalau mau masukin, sekarang aja. Soalnya nanti jam empat lowongan bakal ditutup. Lagi pula, bosnya ini maunya mewawancarai langsung pelamarnya."

"Kok aneh, sih?" Sandra heran. "Jaman sekarang apa-apa kan udah online."

"Kalau nggak aneh bukan CEO Aksara Group namanya." Lusi terkikik.

Sandra sebenarnya ragu. Tetapi, ia tak memiliki pilihan. Ia lalu meminta alamat Aksara Group kepada Lusi.

"Semoga beruntung," kata Lusi saat Sandra pamit.

Wanita itu lantas mencegat taksi. Ia merapikan rambutnya sebentar, memeriksa riasannya. Ia melihat dirinya tak jelek-jelek amat. Kulitnya tidak putih, tetapi lumayan bersih. Kerutan di sudut matanya pun berhasil ia tutupi dengan bedak. Nanti, kalau sudah memiliki gaji, ia akan mulai merawat diri, janjinya dalam hati.

Ia lalu memeriksa dokumen-dokumennya, kemudian mencoret frasa 'pernah menikah' dan menggantinya dengan 'single'. Ia takut dirinya tak diterima karena statusnya.

Ketika taksinya berhenti di depan kantor Aksara Group, mulut Sandra menganga. Kantor itu besar dan mewah, seperti kantor-kantor yang ada di drama-drama Korea yang sering ditontonnya.

Bangunannya tinggi menjulang. Kaca-kaca gelap dan mengilap membuatnya tampak seperti permata di antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya.

Di depan kantor ada sebuah taman yang pohon-pohonnya dikelilingi beton setinggi lutut, sehingga para pegawai bisa melepas penat di sana. Ada juga kolam dengan pancuran di tengahnya.

Jelas, kantor ini jauh lebih wah ketimbang kantor Sandra yang dulu. Bahkan kantor Alex tak ada apa-apanya dibanding kantor ini. Jika diterima di sini, Sandra dapat menyombong di hadapan sang mantan suami. Ia mampu menunjukkan bahwa tanpanya, Sandra bisa sukses.

Pintu kantor itu berupa empat kaca yang berdiri dan disusun membentuk lingkaran. Kalau ingin masuk, Sandra harus memutar secara searah, sehingga sisi lainnya bergerak keluar.

Dan ketika ia masuk ke kantor tersebut, hawa dingin AC segera menerpa.

"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita yang berdiri di belakang meja informasi menyapanya dengan ramah.

"Saya ingin melamar," ujar Sandra.

Wanita tadi menunjuk lift. "Lantai 25 ya, Mbak. Ruangan Pak Barra."

Sandra mengangguk. Ia segera masuk ke lift dan memencet nomor 25. Setelahnya, ia harus menelusuri lorong. Di ujung lorong ia bertemu bagian informasi lagi.

"Ruangan Pak Barra ada di sebelah kanan ya, Mbak. Silakan lurus saja."

Mengikuti arahan, Sandra berjalan lurus. Ia membaca papan-papan di depan pintu yang dilewatinya sampai menemukan ruangan sang CEO. Ia masuk dan terkejut mendapati banyaknya pelamar yang sudah menunggu. Kira-kira ada sekitar 15 pelamar yang berdiri di depan pintu bertulis CEO Aksara Group.

Di dalam ruangan itu ada sebuah meja panjang dengan komputer dan telepon di atasnya. Di balik meja itu duduk seorang wanita. Dilihat dari penampilannya, wanita itu lebih tua dari Sandra. Rambutnya disanggul seperti wanita-wanita jaman dulu. Tubuhnya kurus dan dandanannya sedikit menor.

Sandra berasumsi bahwa dialah seketaris sang CEO dan jika berhasil diterima, dia akan bekerja bersama wanita itu.

Mendadak, pintu ruangan sang CEO terbuka. Seorang lelaki berparas tampan keluar. Bahkan saking tampannya para pelamar wanita tersipu-sipu ketika menatapnya. Satu tangannya sibuk mempertahankan ponsel di telinga.

"Apa? Sebentar ...," katanya pada ponsel. Ia lantas mengamati para pelamar dengan kening berkerut. "Ada apa ini? Kok ramai sekali? Kalian mau demo?"

Si seketaris, wanita yang duduk di balik komputer tadi, bangkit. Ia memutar matanya dengan bosan, seolah-olah sang CEO sudah berulang kali hilang ingatan. "Kan hari ini Bapak mau wawancara asisten sekretaris yang baru."

"Iya, kah?" Sang CEO lantas memicing. Bibirnya mengerecut, khas seperti anak kecil ketika berpikir. Jantung Sandra dibuat berdentum-dentum ketika melihat parasnya. Dan mungkin, para pelamar wanita yang mengantre pun merasakan hal sama dengannya.

"Ya sudah, tunggu sebentar kalau gitu," tambah CEO itu kembali masuk.

"Anjir, ganteng banget nggak, sih?" bisik salah satu pelamar yang berdiri di samping Sandra. "Kerja sama dia seumur hidup juga bakal betah gue."

"Tapi, katanya sih orangnya sombong banget kalau sama cewek," balas gadis yang dibisiki pelamar tadi.

Sandra sendiri tak peduli sikap CEO itu. Ia hanya ingin diterima bekerja di sana. Ia perlu uang, plus membalas Alex dan ibunya. Samar-samar Sandra merasa pernah melihat lelaki itu. Tetapi ia lupa di mana.

Mulutnya kemudian menganga ketika ingat. Rupanya calon bosnya adalah lelaki yang dulu pernah ia cegat dan ancam supaya mengantarnya ke rumah sang adik setelah pergi dari rumah Alex. Bahkan setelah diantar pun, Sandra langsung keluar, tanpa mengucap terima kasih.

Duh, mati aku, batinnya, mengangkat map menutupi wajahnya yang merona. Ia berharap sang CEO lupa akan tindakannya yang memalukan itu.

***

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 95. Rasanya Mau Pecah

    Wuri bilang pada Sandra untuk tidak usah khawatir. Namun, tetap saja, Sandra gelisah. Dia sudah menelepon Barra beberapa kali, namun panggilannya tak dijawab. Dia juga sudah mengirim pesan, memberi embel-embel kata penting. Namun, sampai jam kantor usai, Barra tak kunjung membalas. Notifikasinya terbaca pun tak ada. Terlihat hanya tanda centang dua pada pesannya.Saat masuk ke bus untuk pulang, Sandra tak tenang. Perasaannya tidak enak. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Kenapa Barra tidak menjawab telepon maupun pesannya? Apakah terjadi apa-apa dengannya? Mungkinkah dia tertimpa musibah, kecelakaan misalnya? Kapan? di mana? Apakah saat hendak menemui klien? Atau ketika rapat dadakan? Kenapa pula tadi dia tidak pamit keluar kantor? Apa yang terjadi?Sandra menjadi mual memikirkannya. Ia tak bisa membayangkan tubuh Barra terluka di dalam mobil yang jatuh ke jurang, menunggu bantuan yang tak kunjung datang hingga akhirnya .... Tidak. Sandra tak sanggup. Ia menelepon nomor Barra lagi, tet

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 94. Percaya diri

    Aku harus percaya diri, Sandra bertekad. Ia ingat percakapannya dengan Bu dina dulu. Sebagai kekasih Barra, banyak yang bakal menekannya. Dia tak boleh menyerah atau melempem. Mentalnya harus kuat. Bukankah dia sudh pernah diperlakuka dengan kejam oleh Bu Utami dulu? Seharusnya, Sandra sudah mampu menyesuaikan diri dengan hinaan yang menjtuhkan mentalnya. Dulu, ia sudah bisa menerima omongan kejam mantan mertua dan mantan suaminya. Jadi, seharusnya ia lebih kuat menerima hinaan dari orang lain. Toh, mereka tidak ada hubungannya dengan Sandra.Berbeda dengan Alex dan Bu Utami yang dulu adalah orang terdekatnya. Orang yang dipercayanya, orang yang mestinya melindungi Sandra. Jadi, penghinaan mereka pastinya lebih kejam dari penghinaan yang diterimanya oleh orang luar. Maka dari itu, Sandra bertekad akan menghadapinya dengan percaya diri.Toh, apa sih cacian yang mereka lontarkan padanya? Statusnya sebagai janda? Sandra memang seorang janda. Namun, dia tetaplah wanita terhormat. Dia tak

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 93. Penghilang Tekanan

    Dengan lesu, Sandra merebahkan dirinya ke kasur. Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Orang-orang seolah menekannya. Ia tahu dirinya hanya orang biasa dan tak pentas mendaptkan Barra. Ia ingin menyerah dan mengakhiri saja. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk pergi ke tempat yang jauh, kembali memulai hidup baru. Namun, saat memikirkan berjauhan dengan Barra, dadanya terasa sesak. Sepertinya ia tak sanggup. Meski begitu, bertahan di sisisnya pun rasanya sulit sekali.Ponselnya bergetar sekejap, menandakan sebuah pesan masuk. Rupanya dari Barra. Ia membacanya dan tersenyum. Kemudian, ia menyadari bahwa hanya dengan membaca pesan dari lelaki itu saja mampu membuat hatinya menjadi ringan. Bagimana kalau ia tak lagi berhubungan dengannya? Pasti lebih sulit.Ia mengetik balasan. tetapi sebelum sempat mengirimnya, Barra sudah meneleponnya."Kangen ...," nada manja sang CEO terdengar begitu Sandra menempelkan ponsel ke telinganya. Bibirnya tak bisa menahan senyuman. "Udah makan, belum?

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 92. Munafik

    Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 91. Seorang Barra

    Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha

  • Janda Cantik Milik CEO Arogan   Bab 90. Akibat Beruntun

    Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga teman sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status