Sofia berdiri di balkon kamarnya, menatap ke luar. Gelapnya malam seakan mewakili isi hatinya saat ini. Angin dingin yang berhembus membuatnya merapatkan pelukan pada dirinya sendiri, seolah mencari kehangatan yang tak kunjung ada. Tiba-tiba, kepalanya terangkat menatap langit yang bertabur bintang. Namun, bukan cahaya bintang yang dia lihat, melainkan bayangan wajah Bima yang tiba-tiba hadir di sana. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis—sebuah senyum yang lahir dari kerinduan sekaligus ketakutan untuk kehilangan. Dia tahu, wajah itu tak mungkin bisa ia lupakan. Wajah yang telah menariknya keluar dari trauma masa lalu. Sofia sadar, ada rasa yang perlahan tumbuh dalam hatinya untuk Bima. Ada ruang kosong di dalam dirinya yang kini mulai terisi, dan itu terasa begitu istimewa. “Dia sedang apa ya?” gumam Sofia, jemarinya tiba-tiba berhenti begitu saja. Beberapa hari berlalu tanpa kehadiran Bima, dan ada yang terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang hilang—seseorang yang bias
*** Tap… tap… tap… Bima melangkah turun dari mobilnya. Begitu menoleh, ia langsung melihat Oma yang tengah duduk di teras. “Kamu sudah pulang?” sapa Oma. “Bagaimana keadaan Oma hari ini?” tanya Bima lembut. “Sudah lebih baik,” jawab Oma sambil tersenyum tipis. “Kalau begitu, Bima ke dalam dulu, Oma,” katanya pelan. “Iya,” balas Oma singkat. Bima pun melangkah masuk. Kakinya menapak tenang, namun hatinya terasa berat. Ia terus berjalan menuju kamar. Perlahan, tangannya meraih gagang pintu, memutarnya, lalu mendorongnya pelan. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menyapu ke seluruh ruangan. Kamar itu tampak sepi, kosong… seperti saat Sofia belum pernah hadir dalam hidupnya. “Mas, Sofia sudah buatin kopi,” suara lembut itu tiba-tiba terdengar. Sofia muncul begitu saja sambil menunjuk ke arah meja. Bima tersenyum kecil, mengangguk, lalu melangkah masuk. Ia berjalan ke arah meja yang ditunjuk Sofia. Namun, begitu matanya menatap permukaan meja itu… kosong. Tidak ada
*** Dua hari kemudian... Menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Hari ini, Sofia berdiri di depan rumah tempat ia dibesarkan. Dia pernah membayangkan bisa kembali lagi sebagai pemilik, tapi ternyata rasanya masih seperti mimpi setelah sebelumnya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Mami Naya turun dari mobil dan langsung menggenggam tangan putrinya erat-erat, seakan harapan baru yang mereka miliki kini bisa membawa kebahagiaan di masa depan. Selama ini ia mengira putrinya hanyalah gadis manja yang tak bisa apa-apa. Kenyataannya, Sofia jauh lebih kuat dari dugaan siapa pun—bahkan mampu menghadapi badai besar yang hampir merenggut segalanya. “Kita masuk ya, Mi,” ucap Sofia sambil tersenyum, membalas genggaman hangat sang Mami. Mami Naya mengangguk, lalu keduanya melangkah perlahan masuk. Begitu pintu dibuka, udara ruang tamu langsung menyeruak, menghadirkan rasa lega di hati mereka. Keduanya berdiri sejenak, menatap sekeliling dengan penuh perasaan.
"Sofia," panggil Mami Naya, menyadarkan Sofia dari lamunannya. Sofia tersenyum bahagia karena kini bisa berkumpul lagi bersama sang Mami. Ia pun melangkah masuk ke dalam apartemen, berjalan di sampingnya. "Kenapa Bima pergi?" tanya Mami Naya penasaran. Sofia duduk di sofa, diikuti Mami Naya yang mengambil tempat di sampingnya. "Oma sudah tahu tentang kerja sama antara Sofia dan Mas Bima, Mi. Oma marah besar, sekarang beliau dirawat di rumah sakit. Akhirnya kami pun bercerai, karena Oma tidak ingin melihat Sofia lagi," jelas Sofia sambil tersenyum kecil. Meski berusaha tegar, rasa bersalah masih jelas tergambar di wajahnya. "Padahal Oma orangnya baik banget, Mi... tapi Sofia malah ngecewain dia," ucapnya lirih. Mami Naya tersenyum lembut lalu memeluk putrinya erat. "Mami tahu kamu sebenarnya nggak ingin menyakiti Oma. Nanti kalau keadaan sudah lebih tenang, kita jenguk Oma, ya. Mami juga pengen kenalan sama beliau," ujar Mami Naya menenangkan. Sofia mengangguk setuju.
Sofia sudah kembali mengenakan pakaian bersih. Wajahnya terlihat lebih segar, seolah tak ada yang tersisa dari momen sebelumnya selain hangat di dada mereka. Begitu juga dengan Bima yang kembali mengenakan kemejanya. “Mas, sebelum aku pergi… kamu harus talak aku dulu. Jadi, begitu aku keluar dari rumah ini, aku bukan lagi istrimu,” pinta Sofia dengan suara bergetar. Bima terdiam lama. Matanya hanya menatap Sofia tanpa kata, seolah mencari sesuatu di balik sorot mata wanita itu. Sofia pun hanya berdiri dengan koper di genggaman, mencoba terlihat tegar meski dadanya sesak. “Mas… apa aku salah bicara?” tanyanya lagi, suara nyaris pecah. Bima akhirnya mengangguk pelan. “Ya… aku menjatuhkan talak,” ucapnya datar. Sekujur tubuh Sofia terasa dingin saat mendengarnya. Rasanya seperti separuh jiwanya ikut terlepas. Namun dia tak bisa menghentikan itu semua. Air matanya hanya tertahan di pelupuk, sementara bibirnya berusaha membentuk senyum tipis—agar terlihat biasa saja, meski
Sofia terbaring lelah di sisi Bima, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Keringat yang membasahi kulitnya terasa dingin seiring hembusan AC kamar, namun ada kehangatan lain yang membuatnya enggan bergerak menjauh. Bima diam, matanya menatap langit-langit tanpa kata. Hanya suara napas keduanya yang terdengar memenuhi kamar itu. Sofia menoleh perlahan, menatap wajah Bima yang begitu dekat namun terasa jauh. Ada rasa puas, ada rasa hangat—tapi juga sesak. Seakan-akan kebersamaan ini hanyalah fatamorgana yang sebentar lagi akan hilang. Ia meraih tangan Bima, menggenggamnya erat. "Mas... terima kasih," bisiknya lirih. Bima hanya menoleh sebentar, lalu menghela napas panjang. Tidak ada jawaban, namun genggaman tangannya membalas—erat, meski singkat. Tanpa ragu, Sofia turun dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi. Bima masih duduk di tepi ranjang, matanya mengikuti setiap gerakan istrinya itu. Beberapa detik kemudian, terdengar teriakan dari dalam. Refleks, Bima l