Bima hanya tersenyum menunggu permintaannya dituruti oleh Sofia. Siapa yang bisa mendengar teriakan Sofia? Hanya Bima saja. “Kalau kamu nggak mau, sampai pagi kita akan terus di sini seperti ini!” ancam Bima. Sofia benar-benar tidak bisa bergerak. Haruskah dia menuruti keinginan Bima? Meminta ampun? Ah, tidak mungkin! Tapi… siapa yang akan menolongnya di tengah hujan begini? “Ya udah,” ujarnya akhirnya, menyerah terpaksa. Bima tersenyum samar. Akhirnya, wanita keras kepala itu menyerah juga. “Apa? Kamu bilang apa?” tanya Bima, jelas menikmati kemenangannya. Ia tak berniat melepaskan Sofia semudah itu—perjuangan mengejarnya barusan terlalu melelahkan. “Aku minta maaf,” kata Sofia dengan nada tidak tulus. “Kamu ngomong apa?” Bima pura-pura tidak dengar, bahkan mendekatkan telinganya ke mulut Sofia. “MAAF, BUDEK!” pekik Sofia. Bima menahan tawa. “Kamu nggak tulus!” “Aku udah nurut, lepasin sekarang juga!” “Aku bilang minta ampun, lalu minta maaf,” teran
Sofia menabrak Lusi. “Aduh!” Lusi meringis sambil memegangi lengannya. Untung saja dia tidak sampai jatuh. “Heh, ini di dalam rumah, bukan di hutan! Nggak perlu lari-lari kayak orang kesurupan. Dasar orang miskin!” cerca Lusi dengan nada merendahkan. Sofia sama sekali tak peduli. Lagi pula, ucapan Lusi itu hanya bualan. Justru sekarang dia memanfaatkan tubuh Lusi sebagai tameng untuk melindungi diri dari Bima. “Mau ke mana kamu?!” geram Bima dari belakang. “Aku bilangin ke Oma!” ancam Sofia. “Aku nggak peduli!” balas Bima, masih berusaha mengejar. Dalam hati, ia menyesal sudah mengganggu janda ceroboh itu—sekarang malah dirinya yang repot. Harusnya tadi dia diam saja, justru lebih bagus. “Sakit!” keluh Lusi ketika Sofia terus menariknya tanpa arah. Tapi di sisi lain, dia merasa ini kesempatan emas untuk mendapatkan perhatian Bima. “Mas Bima… badan Lusi sakit…” rengeknya manja. “Huuueeekkk…” Sofia pura-pura muntah melihat tingkah Lusi. “Hey, lepas!” pekik Lusi, ber
Sudah satu jam berlalu, Bima yang berbaring di sofa melirik Sofia. Dia bingung kenapa janda ceroboh itu tenang sekali tanpa keributan, biasanya Bima pusing karena tingkahya yang aneh. Mendadak Bima merasa sepi jika Sofia hanya diam saja seperti ini, mungkinkah Bima mulai tak suka melihatnya dalam ketenangannya. “Sof…” panggil Bima. Namun Sofia tidak menggubris, matanya tetap terpaku pada ponsel. “Sosof…” panggil Bima lagi. Tiba-tiba Bima mengambil bantal sofa dan melemparkannya tepat mengenai wajah Sofia. “Bima!” pekik Sofia, tak terima. Ia langsung duduk tegak dan menatap Bima dengan mata menyala. “Sofia, kepalaku pusing sekali.” “Terus masalah buat aku?” “Bisa tolong oleskan minyak angin?” pinta Bima. “What? Aku, ngoles minyak angin?” Sofia menatapnya tak percaya. “Kepalaku benar-benar pusing, kayaknya aku kelelahan banget,” ujar Bima lagi. Sofia akhirnya bergeser dan duduk di sebelah Bima. “Kamu beneran sakit?” tanyanya. “Hmm…” “Sakit apa? Sakit hati?
Dari kejauhan, Sofia melihat Erin dan Lusi berada di dapur. Kali ini ia tidak menghindar—justru bagus, karena ini kesempatan untuk menjalankan misinya: membuat mereka berhenti berpikir bahwa pernikahannya hanya pura-pura. Sofia melangkah mantap hingga akhirnya berhadapan langsung dengan keduanya. "Hay, Ma," sapa Sofia, lalu beralih menatap Lusi. "Hay, Lusi… kok kamu di sini? Bukannya udah diusir sama Oma?" tanyanya sambil cengengesan, seolah ucapannya bukan masalah besar. Lusi tak kuasa menahan kesal. "Tante…" rengeknya. "Heh! Kamu kalau ngomong jangan kurang ajar!" tegur Erin ketus. "Enggak dong, Ma. Aku cuma ngomong apa yang dibilang Oma. Oma bilang—" "Diam!" potong Erin cepat. Sofia memasang wajah takut, padahal dalam hati ia ingin sekali membenturkan kepala dua orang di hadapannya itu. "Jangan coba-coba menghasut Oma. Kami juga tahu kalau pernikahan kamu dan Bima cuma pura-pura. Kami hanya butuh bukti!" cecar Erin. "Enggak kok, Ma. Sofia sama Mas Bima beneran n
Hati Sofia terus berbahagia setelah pulang menjenguk sang ibu, sungguh masih belum menyangka masih bisa melihat ibunya dan seperti ini, meskipun belum bisa berbicara padanya tapi paling tidak Sofia masih bisa memeluknya. "Mas, makasih ya," ucap Sofia tidak ada hentinya. "Iya, dan kita sudah sampai di rumah. Jangan bahas ini lagi," kata Bima mengingatkan. Sofia pun mengangguk mengerti. Keduanya turun dari mobil dan Oma sedang duduk di teras. "Kalian sudah pulang? Kenapa cepat sekali, belum juga satu minggu," kata Oma yang kini berdiri di hadapan Sofia. "Aku ada pekerjaan, Oma," sela Bima. "Pekerjaan terus yang kamu pikirkan, padahal ada Aran yang bisa menghendel semuanya selama kamu pergi," protes Oma. Tapi Bima memilih untuk melangkah masuk. "Ya ssuda... tidak masalah, lain kali bisa pergi lebih lama," kata Oma sambil menangkup wajah Sofia. "Iya, Oma. Sofia ke kamar dulu ya," kata Sofia dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Iya, sayang." Sofia melangkah masuk men
Semetara itu Sofia begitu bersemangat untuk segera berangkat ke Singapura untuk melihat keadaan ibunya. Bima benar-benar menepati janjinya untuk mengantarkan Sofia bertemu dengan ibunya. Mereka pulang ke rumah hanya untuk berpamitan pada Oma. "Oma, kami malam ini tidak pulang karena sore ini kami akan berangkat ke bali," kata Bima. Sofia terkejut mendengarnya, tapi sesaat kemudian Bima menatapnya sambil mengedipkan sebrlah matanya. Kemudian dia pun kembali menetralkan dirinya. "Ke Bali?" tanya Oma. "Iya, Oma. Sejak menikah kami belum pergi kemanapun... honeymoon, iya..." ucap Bima dengan susah payah. Tapi, ucapan Bima membuat Oma kegirangan, tentunya Oma tidak akan menghalanginya. "Iya, Oma setuju. Siapa tahu pulang-pulang Sofia sudah hamil," kata Oma sambil bersorak gembira dalam hatinya. Sofia tersenyum kecut mendengar ucapan Oma yang penuh harap. Dalam hatinya terus memohon maaf karena sudah memberikan harapan palsu. "Iya, Oma. Kalau begitu kami berangkat ya