Keesokan harinya, Sofia menerima tamu yang ternyata adalah perias pengantin kiriman Oma ke kostnya. Bahkan, si perias juga membawakan kebaya putih sederhana.
“Anda sangat cantik, Nona,” ucapnya sambil menatap puas hasil riasan di wajah Sofia.
Memang, tanpa riasan pun, Sofia sudah cantik alami. Tapi hari ini, dia tidak baik-baik saja.
Perasaan tegang menyelimuti dirinya. Sebentar lagi ia akan menikah dengan pria asing … semata-mata demi bantuan.
Aldi!
Satu nama yang membakar emosinya. Sofia tersenyum miring, tak sabar membalas dendam. Dia bersumpah akan mengusir Aldi dari rumahnya, dengan cara yang sama seperti yang pernah Aldi lakukan padanya.
“Nona, supir sudah menjemput Anda.”
Suara perias menyadarkannya dari lamunan. Sofia mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke rumah keluarga Bima.
Rumah itu besar dan megah—bahkan lebih mewah dari rumah Sofia sendiri. Entah sekaya apa Bima, yang jelas mereka punya tujuan masing-masing dalam kerja sama ini.
Sofia disambut hangat oleh Oma. Ternyata, keluarga Bima sudah menanti kedatangannya.
Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga inti, namun tetap terasa sakral.
Bukan maksudnya mempermainkan pernikahan, tapi inilah jalannya menuju dendam.
Dia duduk di samping Bima, berhadapan dengan penghulu.
Tiba-tiba, suara Bima terdengar jelas di telinganya:
“Saya terima nikahnya dengan mahar uang satu miliar rupiah, dibayar tunai!”
Sah!
Sah!
Tapi tunggu … satu miliar?!
Sofia terbelalak. Dia bukan dari keluarga miskin, tapi ini tetap mengejutkan. Bukankah pernikahan ini hanya sandiwara?
Dia pun baru menyadari, ternyata ada uang yang diletakkan di atas meja, di hadapannya.
Apakah jumlah uang itu sebanyak yang disebutkan oleh Bima, satu miliar?
Lalu dia sadar, mungkin memang hanya formalitas agar terlihat meyakinkan.
“Sofia, berikan tanganmu pada Bima,” suara Oma membuyarkan pikirannya.
Sofia segera menetralkan diri dan mengulurkan tangan.
Cincin yang disematkan di jarinya terlihat longgar. Tidak apa-apa, semuanya serba mendadak. Bahkan dia tidak menyangka akan ada cincin kawin.
Kini gilirannya menyematkan cincin di jari Bima, lalu mencium punggung tangannya.
Dia mulai menikmati peran yang harus ia mainkan.
“Bima, kenapa diam saja? Cium kening istrimu,” tegur Oma, kesal melihat cucunya hanya duduk pasif.
Bima menuruti tanpa banyak bicara.
Sofia menahan tawa. Bukan karena bahagia, tapi merasa seperti anak kecil yang sedang main kawin-kawinan. Anggap saja begitu.
Namun orang-orang di sekitarnya mengira senyumnya sedang benar-benar bahagia.
“Sofia, itu Papa suamimu, dan yang di sebelahnya ibu sambung Bima,” ucap Oma memperkenalkannya.
Sofia mengangguk, baru tahu tentang mereka.
Ia buru-buru mencium tangan Erlangga, lalu beralih ke Erin. Tapi Erin jelas tidak ingin bersentuhan dengannya, hanya menyodorkan ujung jari dan berbisik lirih:
“Cari istri kok asal-usulnya nggak jelas.”
Sofia mendengarnya. Ingin sekali ia meninju mulut wanita itu. Tapi bagaimana pun, Erin adalah bagian dari keluarga Bima.
Lagi pula ini hanya pernikahan sementara sehingga ia tak perlu terlalu ambil pusing dengan hal seperti ini.
“Selamat ya,” ucap Oma sambil memeluknya erat.
Sofia menyadari: dari semua anggota keluarga, hanya Oma yang benar-benar menerimanya dengan tulus.
Tapi itu tidak penting. Karena setelah enam bulan berlalu, kontrak pernikahan ini akan berakhir.
Kemudian Oma berbisik padanya, "Nanti minum jamunya lagi, ya. Iyem akan mengantarkannya ke kamarmu."
Refleks, mata Sofia membelalak. Ada rasa tak nyaman yang langsung menyergap begitu topik jamu disebut.
Ini harus dibicarakan dengan Bima. Ia tak bisa terus diam, semua ini jelas-jelas melanggar kesepakatan mereka di awal.
"Iyem, antarkan Sofia ke kamarnya. Kamar Bima, tentunya," perintah Oma pada salah satu pembantu.
Sofia pun diantar menuju kamar barunya, kamar Bima.
"Non, saya ke dapur dulu, mau bikin jamunya," ucap Iyem sambil tersenyum singkat sebelum berbalik.
Huuuft!
Sofia menghela napas panjang. Oma benar-benar sangat terobsesi pada jamu itu.
Wanita itu lantas masuk ke dalam kamar Bima.
Kamar itu luas dan terkesan dingin, nyaris seperti ruang kerja ketimbang ruang tidur.
Warna-warna gelap mendominasi, tanpa satu pun elemen lembut atau cerah yang memberi kehangatan.
Di salah satu sisi, sebuah rak buku menjulang tinggi berisi literatur hukum dan dokumen-dokumen berbingkai kulit. Sebuah meja kerja besar dari kayu mahoni terletak di dekat jendela.
Kamar ini milik pria yang terbiasa menang di ruang sidang, dan tak terbiasa menunjukkan perasaan.
Dingin, tertata, dan terlalu sepi. Seperti hidupnya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.
Bima masuk, wajahnya seperti biasa—datar dan dingin.
"Hey, kita harus bicara," kata Sofia langsung, tanpa basa-basi.
"Katanya tidak akan ada kontak fisik. Tapi kenapa sekarang Oma terus membahas soal anak? Bahkan… dia memaksa aku minum jamu," ucapnya dengan nada putus asa.
"Kau bisa membuangnya diam-diam," jawab Bima singkat.
Sofia tercenung. “Benar juga,” gumamnya. "Artinya… kita benar-benar tidak akan membuat anak, kan?" tanyanya lagi, memastikan.
Bima yang berdiri di depan lemari dan tengah melepas jasnya menatap Sofia, lekat dan lebih lama dari biasanya.
“Ke-kenapa?” tanya Sofia gugup.
Tangan Bima kini bergerak melepas kancing kemejanya satu per satu, sembari berjalan mendekati Sofia yang mematung di tengah ruangan.
“H-hey! Kenapa malah buka baju?!”
“Sudah, Bos,” lapor salah satu anak buahnya. Aldi menyeringai puas. Semua benda yang bisa dipakai Sofia untuk melawan sudah disingkirkan dari kamar. Kali ini, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk melukai siapa pun. Dengan hati-hati, Aldi menuangkan bubuk obat perangsang ke dalam segelas air mineral. Ia mengaduk hingga larut, lalu melangkah masuk ke kamar bersama beberapa anak buahnya. Sofia yang duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan berlari ke arah pintu. Namun, tubuhnya dengan cepat ditangkap dan dibekap oleh dua pria kekar. “Lepaskan aku!” teriaknya, berjuang sekuat tenaga. Aldi mendekat dengan senyum licik. Tangannya mencengkeram rahang Sofia, memaksanya meneguk cairan itu meski ia berusaha menolak. “Bagus,” bisiknya puas, melihat Sofia akhirnya menelan minuman tersebut. Tubuh Sofia didorong kasar ke ranjang hingga terhempas. Nafasnya terengah, matanya berkaca-kaca. “Kali ini kau tidak akan bisa lolos,” ujar Aldi dengan nada penuh kemenangan. “Keangkuhanmu
*** Aran menekan bel, tak lama pintu apartemen pun terbuka. Lusi muncul di ambang pintu. Ia sempat terkejut melihat Aran berdiri di sana, bingung apa yang membuat pria itu datang ke tempatnya. Namun, keterkejutannya berubah saat pandangannya melewati bahu Aran. Di sana berdiri Bima. “Mas… Bima?” ucap Lusi dengan suara tercekat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk sesaat tubuhnya kaku, namun senyum perlahan merekah di bibirnya. Matanya berbinar penuh rasa kagum dan bahagia, seakan mimpi lamanya kini benar-benar hadir di depan mata. “Masuk, Mas… masuk,” ucap Lusi antusias, matanya tak lepas dari sosok Bima. Aran melangkah lebih dulu ke dalam, lalu Bima menyusul. Begitu pintu ditutup, Lusi masih tersenyum bahagia, langkahnya ringan saat mendekati Bima. “Mas Bima, mau Lusi bikinin minum apa? Atau makan? Lusi bisa masak kok—” “Sofia!” potong Bima tajam. Suara itu langsung menghentikan langkah dan kata-kata Lusi. Degh! Jantungnya berdegup keras, tubuh
Lala masuk ke rumah dengan tubuh penuh lebam, pakaian kotor, dan wajah yang tampak sangat kelelahan. “Lala, kamu dari mana?” tanya Oma terkejut melihat cucunya dalam kondisi begitu mengenaskan. Namun, Lala tidak menjawab. Tatapan matanya langsung tertuju pada Erin—tajam, penuh kebencian. Sementara Erin hanya menatapnya sinis, bahkan memutar bola mata dengan jenuh. Dari lantai atas, Bima berjalan menuruni anak tangga. Beberapa langkah lagi ia akan menginjak lantai dasar ketika suara Lala menghentikan langkahnya. “Sofia… dibawa Mama,” ucap Lala tegas. Sekejap, suasana ruang tamu membeku. Semua orang terdiam, bahkan Bima. Ia berhenti di anak tangga terakhir, menoleh ke arah Lala dengan tatapan penuh tanya. Sebelum Lala sempat melanjutkan, Erin lebih dulu menyela dengan nada ketus. “Kamu ngomong apa, hah? Baru pulang entah dari mana, langsung ngomong ngaco. Kalau cuma mau bikin onar, mending pergi sekalian!” “Diam!” bentak Bima, suaranya tegas memotong ucapan Erin. Pandanga
Sekujur tubuh Sofia bergetar hebat, ia mundur selangkah demi selangkah, punggungnya hampir menempel pada dinding. Sementara pria itu terus melangkah mendekat, sorot matanya penuh maksud yang membuat udara semakin mencekam. "Aku merasa pernah melihatmu… tapi di mana, ya?" gumamnya, mencoba mengingat. Namun sesaat kemudian ia menyeringai. "Ah, mungkin kau mirip dengan LC yang biasanya menemaniku," ucapnya sambil membuka satu per satu kancing kemejanya dengan santai. "Berhenti! Jangan lakukan itu… aku mohon!" suara Sofia bergetar, nyaris pecah oleh rasa takut. Pria itu malah tersenyum puas. "Kenapa harus berhenti? Bukankah kau juga akan merasakan nikmatnya?" katanya sambil melangkah semakin dekat, tangannya terulur penuh nafsu. Hanya tinggal satu langkah lagi, jarak di antara mereka hampir hilang. "Aku bilang berhenti!" pekik Sofia sambil mengangkat tangannya sebagai peringatan terakhir. Pria itu malah terkekeh, tatapannya kian liar. "Heh… kau memang cantik, dan sedi
Sofia masih terduduk di lantai, berusaha mencabut beling yang tertancap di telapak tangannya. Darah mengalir, perihnya membuat tubuhnya bergetar. Tiba-tiba pintu terbuka. Jantung Sofia berdegup kencang, mengira Aldi kembali. Tapi ternyata dua orang pelayan masuk. Pintu segera ditutup kembali, dijaga dua anak buah Aldi di luar. "Nona, biar kami bantu," ucap salah satu pelayan dengan suara pelan, mencoba mengangkat Sofia berdiri. Sementara pelayan lain cepat-cepat merapikan kamar, menyapu pecahan beling yang berserakan di lantai. "Nona, sekarang Anda harus mandi, lalu makan," ujar pelayan itu lembut. Sofia menggeleng cepat, matanya memohon. "Aku mau keluar dari sini!" serunya putus asa. "Itu tidak mungkin, Nona. Mari, saya bantu Anda membersihkan diri," bujuk pelayan itu lagi. "Aku nggak mau!" Sofia kembali memberontak, menolak keras. Tangannya yang terluka semakin sakit saat ia melawan. "Nona, Anda harus mandi," kali ini nada pelayan berubah memaksa. "Aku bilang tida
Aldi menyeringai licik sambil melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Kemudian ia melepas kemeja itu dan perlahan merangkak naik ke atas ranjang. "Aldi, jangan kurang ajar!" pekik Sofia sambil bergerak turun. Bahkan ia sampai terjatuh karena terlalu panik. Sofia bangkit cepat dan berlari ke arah pintu, berulang kali memutar gagangnya dengan harapan bisa keluar. Sementara itu, Aldi kini berbaring miring di ranjang dengan santai sambil menatapnya. "Sofia, kemarilah. Kita ulangi percintaan kita yang dulu," katanya. "Gila kamu! Aku sudah punya suami!" balas Sofia. "Memangnya suami pura-puramu itu sehebat apa di ranjang?" ejek Aldi. Kemudian ia turun dari ranjang dan berjalan santai mendekati Sofia. Aldi langsung memeluknya dari belakang tanpa ragu, menyingkirkan rambut Sofia, lalu mengecup tengkuk bagian belakangnya. "Aldi!" pekik Sofia penuh kebencian. Aldi hanya terkekeh, sementara tangannya mulai menjalar liar. "Jangan kurang ajar!" Sofia pun mendorongnya sekuat