MasukBima menatapnya dengan dahi mengerut, lalu berjalan melewatinya.
Bima menaruh kemeja dan jasnya ke keranjang pakaian kotor di sudut ruangan.
Sofia menelan ludah salah tingkah. ‘Ya ampun! Sofia, kamu mikir apa sih?!’ makinya pada dirinya sendiri.
"Lalu… apakah kita akan tidur satu ranjang?" tanya Sofia lagi, berusaha terlihat biasa saja, padahal wajahnya mulai terasa panas.
Bima kembali menatapnya. "Kau tidur di ranjang. Aku di sofa," jawabnya singkat.
Sofia menghembuskan napas lega. "Syukurlah… Walaupun aku janda, aku masih punya harga diri!" gerutunya setengah berbisik.
Tok tok tok!
Keduanya langsung menoleh ke arah pintu.
"Biar aku yang buka," kata Sofia sambil berjalan menuju pintu.
Begitu dibuka, tampak Bik Iyem berdiri sambil membawa nampan berisi dua gelas jamu.
"Nyonya, ini jamunya," katanya sopan.
Sofia menatap gelas-gelas itu dengan tegang, lalu memberanikan diri mengambilnya.
"Kenapa dua?" tanyanya bingung.
"Satu untuk Tuan Bima."
Sebelum Sofia sempat merespons, sosok Oma muncul tiba-tiba dari balik lorong.
"Iya, satu untuk Bima. Biar makin perkasa," ujarnya sambil terkekeh geli.
Sofia membeku, syok mendengar ucapannya.
"Mana Bima?" tanya Oma sambil mengintip ke dalam kamar.
Bima pun muncul di belakang Sofia, tubuhnya menjulang tinggi di belakang "istri" pura-puranya itu.
"Bima, minum ini. Pokoknya kamu harus kejar target! Usiamu nggak muda lagi!" seru Oma penuh semangat.
Target?
Sofia hampir tertawa mendengarnya. Memangnya mereka sedang apa? Mengerjakan proyek?
"Aku akan meminumnya nanti," jawab Bima, malas menanggapi.
"Tidak, tidak! Oma tahu kamu paling susah disuruh minum jamu. Minum sekarang, di depan Oma!"
Oma lalu memberikan gelas masing-masing ke Sofia dan Bima. Mau tidak mau, keduanya pun meneguk ramuan itu, karena berdebat dengan Oma hanya akan berakhir sia-sia.
"Bagus," komentar Oma puas saat gelas-gelas itu sudah kosong.
Sofia hampir muntah karena rasanya yang aneh. Sementara Bima tanpa komentar langsung masuk ke kamar mandi.
Oma kemudian mendekat ke Sofia, lalu berbisik penuh makna.
"Kamu kan sudah berpengalaman. Jadi kamu lebih senior dari Bima. Oma percaya padamu."
Glek!
Sofia menelan ludah. Ucapan Oma membuatnya ingin menghilang.
Tapi belum selesai.
"Satu lagi. Pakai ini."
Oma menyerahkan sepotong lingerie berwarna merah marun ke tangannya. Tangan Sofia langsung gemetar, nyaris menjatuhkannya.
"Segera berikan cicit untuk Oma," tambah Oma sambil tersenyum lebar.
Sofia menyeka wajahnya yang mulai basah oleh keringat dingin.
"Mau tahu cara bikin anak laki-laki atau perempuan?" tanya Oma lagi dengan wajah serius.
Sofia membelalak, buru-buru menggeleng. "Oma… Sofia masuk dulu, ya."
"Iya, iya. Pengantin baru pasti udah nggak sabar ya," goda Oma dengan gaya centil.
Sofia tersenyum kecut lalu cepat-cepat menutup pintu. Ia bersandar di balik daun pintu dan perlahan merosot ke lantai.
Bima baru keluar dari kamar mandi saat itu.
Sofia menatapnya dengan lelah.
"Kamu tahu? Aku hampir mati berdiri!" serunya sambil melempar lingerie itu ke arah Bima dengan kesal.
Bima menangkapnya, lalu melemparnya dengan asal.
Ia duduk di sofa tanpa berkata apa-apa.
Sofia menatap pintu dengan wajah frustrasi.
Ingin rasanya kabur dari rumah ini. Tapi tidak mungkin….
Suara perut Sofia tiba-tiba terdengar seperti orkestra sumbang yang merengek minta makan.
Sejak pagi tadi dia belum menyentuh makanan sama sekali, dan sekarang hari sudah gelap gulita.
Lebih parahnya lagi, dia masih mengenakan kebaya dari pagi, bukan karena cinta tradisi, tapi karena memang tidak punya pakaian ganti.
Dia melirik ke arah Bima yang duduk santai di sofa, satu tangan sibuk scrolling ponsel, tangan satunya lagi elegan menyesap rokok seperti pemeran utama film noir.
“Hey,” Sofia membuka suara, suaranya setengah kesal, setengah putus asa. “Aku gerah pakai kebaya ini.”
Bima menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke ponselnya.
“Aku pinjam pakaianmu ya. Besok aku balik ke kosan buat ambil bajuku,” kata Sofia sambil melipat tangannya di dada.
“Hm,” sahut Bima tanpa menoleh.
“Hm?” Sofia menirukan suara Bima, lengkap dengan mata berputar seperti roda sepeda. “Apa maksudnya itu? Itu tuh bukan jawaban! Boleh atau nggak sih?!”
Bima tetap diam. Ponselnya lebih menarik daripada drama live-action di depannya.
“Pantesan kamu nggak laku-laku sampai umur segini,” cibir Sofia sambil menatapnya sinis. “Wanita mana yang tahan sama cowok kayak kamu? Aku aja, kalau bukan karena lagi butuh, udah kabur dari tadi!”
Komentar itu hanya dibalas lirikan sekilas. Seperti biasa, Bima punya bakat alam jadi patung lilin.
Sofia mendengus. “Oke. Aku anggap kamu ngijinin.”
Dia langsung lompat turun dari ranjang dan melangkah ke arah lemari. Deretan pakaian Bima tergantung rapi. Dia mengangkat alis, sedikit terkesan.
“Huh. Kukira lemari kamu bakal penuh semut dan kenangan mantan,” gumamnya.
Ketika itu Bima meliriknya sekilas tanpa disadari oleh Sofia.
Sofia memilih pakaian yang sekiranya terlihat bersih dan nyaman, lalu membawanya ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, wanita itu keluar mengenakan kaos oblong yang ternyata pas di tubuhnya dan celana boxer yang... ya, agak kebesaran. Tapi dibanding kebaya yang mencekik jiwa dan raga, ini jauh lebih nyaman.
Dia menarik napas lega, lalu melirik ke arah Bima sambil berkata, “Biar gembel begini, setidaknya aku bisa napas.”
Bima masih diam. Tak terusik oleh Sofia yang terus mengoceh tanpa henti.
"Eh, ini bukannya kaos perempuan?"
Sofia mulai memperhatikan kaos yang menempel di tubuhnya. Alisnya mengernyit.
Sambil menarik-narik kerah dan memeriksa bagian bawahnya yang ada renda tipis.
Tatapannya beralih ke Bima, yang kini berhenti scroll ponsel dan memandang ke arahnya.
Untuk sesaat, Bima tampak mematung, seperti habis melihat sesuatu yang tak seharusnya.
Sofia merasa ada yang aneh dari tatapan itu.
Tatapan kosong... tapi dalam... tapi juga seperti... bingung.
* Sofia berdiri diambang pintu, matanya menatap ke dalam sana, pikiran pun seketika melayang jauh saat itu dia harus keluar dari rumah ini. Rumah yang pernah menjadi tempatnya pulang, dan tak menyangka akan kembali tinggal disana. Bima yang awalnya mengantarkannya pulang kini kembali pula membawanya pulang. Ini rumit, tak ada yang bisa memahami. Semuanya berjalan begitu cepat dan kehamilannya yang membawanya kembali. "Ayo, masuk," kata Bima yang berdiri disampingnya, "kamu nggak kuat jalan?" tanya Bima. Tapi belum juga menjawab Bima sudah mengangkatnya. "Mas!" pekik Sofia reflek karena keterkejutan. "Ehemm... ehem..." ejek Lala yang ternyata berdiri diujung anak tangga. Wajah Sofia seketika merona, "Mas, turunin," pinta Sofia. "Nggak papa, Kakak ipar lanjut aja. Aku baik-baik aja kok," kata Lala sambil tersenyum mengejek, tapi dia sangat bahagia melihat hubungan sahabatnya dan Kakaknya mulai membaik. "Mas, aku bisa jalan," kata Sofia. Tapi Bima tetap saja mengang
Keesokan harinya... Dokter bersama dengan dua orang perawat masuk ke ruang rawat Sofia. Memeriksa keadaan Sofia. "Dok, saya udah bisa pulang nggak ya? Saya udah pengen pulang," kata Sofia. "Sebaiknya jangan dulu, Bu. Karena kami masih harus melihat perkembangan anda secara berkala," kata Dokter. "Dok, saya merasa udah lebih baik. Saya pengen pulang," pinta Sofia lagi terdengar memaksa. "Baiklah, tapi anda harus rutin melakukan pemeriksaan dan tolong untuk mengelola stess," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Sofia dengan perasaan bahagia. "Saya permisi," dokter keluar dan Bima pun bangkit dari duduknya. "Kenapa kamu mau pulang? Keadaan kamu belum pulih betul," ucap Bima. "Aku cape disini, aku pengen menghirup udara segar," jawab Sofia. "Perlu Mas berikan udara segar?" "Apasih?" kesal Sofia karena bingung kenapa Bima sekarang aneh. "Kalau gitu kamu pulang sama aku," kata Bima lagi. "Nggak, aku mau pulang ke rumah aku," tolak Sofia. "Kalau gitu, rumah aku buat
Clek. Pintu terbuka dan mata Lala langsung melebar sempurna melihat pemandangan yang cukup mengerikan sekaligus mengejutkan. Sofia dan Bima juga ikut tersadar, segera mendorong dada Bima agar menjauh. "Astaga, jantungku," katanya sambil memegang dadanya, ia benar-benar tak menyangka akan melihat adegan yang cukup membuatnya tegang. Sedangkan wajah Sofia terlihat memerah menahan malu. "Maaf Kakak ipar, aku tidak bermaksud mengganggu kalian berdua. Itu," Lala pun mengedarkan pandangannya sampai akhirnya menemukan benda yang tertinggal di kamar rawat Sofia, "ponsel aku ketinggalan," ucapnya dan langsung mengambil di sofa. Kemudian dia pun segera pergi, tapi setelah pintu tertutup dia kembali masuk. "Kak Bima, Kakak ipar. Lanjutkan yang tadi ya, bye!!!" serunya. Kali ini Lala benar-benar pergi. Sofia mengusap wajahnya menahan rasa malu, entah kenapa dia bisa seperti ini. Bahkan untuk menatap wajah Bima saja sekarang dia sangat malu. "Mau dilanjut lagi?" celetuk Bima
Setelah Oma dan Lala pergi, Bima kembali masuk ke ruangan Sofia. Ia melihat Sofia tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Dia tersenyum saat Sofia meliriknya, dan terus berjalan lebih dekat. Meskipun Sofia tak membalas senyumannya sama sekali. "Kenapa perceraiannya dibatalkan?" tanya Sofia tiba-tiba, dia juga baru diberitahu oleh Rayhan bahwa Bima menarik semua berkas perceraian mereka. "Kita tidak mungkin bercerai kan?" tanya Bima. "Kenapa tidak?" "Sofia, ayolah. Kamu sedang hamil, aku mau anak itu punya kedua orang tua yang lengkap dan mendapatkan kasih sayang penuh," terang Bima. Kali ini Sofia hanya diam, entah apa yang kini ada dalam pikirannya. "Sofia, kita besarkan anak ini sama-sama ya," mohon Bima. Sofia hanya menatapnya dalam diam, membuat Bima bingung. "Kita kembali ke rumah ya, rumah kita," kata Bima lagi, kali ini tangannya menggenggam tangan Sofia perlahan. Berharap Sofia setuju dengan keinginannya. Tapi sesaat kemudian Sofia pun melepaskan tang
"Sofia, aku hanya ingin minta maaf," ucap Bima lagi. Sofia masih berada di dunia lain setelah mendengar ucapan Bima. Entah itu benar atau tidak yang jelas kata-kata Bima terlalu mengejutkan. "Sofia, kamu jangan marah terus ya. Aku nggak kuat kalau jauhan terus sama kamu," katanya hati-hati sambil terus memperhatikan raut wajah Sofia, "Sofia, kita batalkan saja perceraian kita, ya," pinta Bima dengan memohon. Pintu kembali terbuka dan yang masuk adalah Oma dan Lala. "Hay," sapa Lala. Membuat Sofia pun segera tersadar lalu melihat Oma dan Lala yang masuk berjalan mendekatinya. "Kamu ngapain masih datang kesini?" sinis Oma. "Oma-" "Pergi sana!" usir Oma. "Tapi, Oma-" "Pergi!" Bima pun melirik Sofia, begitu juga sebaliknya. Sebenarnya Bima berharap Sofia menahannya, tapi Sofia hanya diam saja. Sebenarnya Sofia masih bingung setelah mendengar kata 'l love you' dari Bima yang tiba-tiba, ucapan itu tertuju padanya atau tidak? "Gimana keadaan kamu sekarang? Maaf
"Oma," seru Sofia karena kesal Bima malah memeluknya. "Sini kamu!" Oma menarik telinga Bima hingga akhirnya perlahan melepaskan Sofia. "Oma, apasih, aku malu tau," katanya. "Kamu itu memang dasar ya! Berbuat sesuatu sesukamu saja. Lagian siapa yang minta kamu ada disini?" tanya Oma sambil bertolak pinggang. "Ya, Oma aku pergi," katanya sambil berjalan keluar demi bisa menghindari Oma. Tapi sekarang dia harus mencari keberadaan Aran, bagaimanapun pun Aran harus bertanggungjawab. Ia menuju kantor dan segera menuju ruangannya, sudah pasti Aran ada disana. Benar saja Aran tengah duduk didepan laptop, ia tampak sangat fokus. "Bos," sapa Aran setelah menyadari kedatangan Bima. Bima pun berjalan mendekatinya dan langsung menarik kerah kemejanya. "Kenapa kau membuatku sial hari ini?!" geramnya. "Santai dulu, Bos." Aran pun melepaskan tangan Bima dari kerah kemejanya, "kenapa anda marah-marah?" tanya Aran lagi. "Karena saranmu hampir saja Sofia celaka!" "Lalu, kenapa







