“Kenapa kau malah pakai kaos itu?!” sentak Bima tiba-tiba.
Sofia terdiam sejenak, lalu matanya melebar, seperti baru saja mendapatkan wahyu dari langit.
“Oh… OH! Aku ngerti sekarang!” katanya sambil menepuk-nepuk dahinya. “Aku nggak perlu khawatir kamu bakal ngapa-ngapain aku, ya?”
Bima mengerutkan kening.
“Karena kamu… kamu suka jadi wanita juga, kan?” lanjut Sofia dramatis. “Berarti kamu punya kepribadian ganda! Astaga... kamu... kamu punya pacar lagi yang juga adalah... dirimu sendiri!”
Bima belum sempat membalas saat Sofia malah membuka mulut lebar-lebar, seperti hendak meneriakkan penemuan besarnya ke seluruh dunia.
Dan dengan sangat cepat—tanpa drama, tanpa aba-aba—Bima mengambil selembar tisu dan langsung menyumpalkannya ke dalam mulut terbuka Sofia.
“Aah!” pekik Sofia, lalu dengan jijik melemparkan tisu itu ke arah Bima. “Jorok banget! Aku memang belum makan, tapi aku juga nggak akan mau makan tisu!”
"Lepas pakaian itu sekarang!" perintah Bima tanpa ingin dibantah.
"Ogah! Aku mau langsung makan, aku lapar!" tolak Sofia.
Tiba-tiba, Bima bangkit dari sofa dan berjalan cepat ke arah Sofia.
Wajahnya serius, langkahnya mantap.
Sofia melangkah mundur reflek. “Eh… ngapain kamu?” tanyanya curiga.
Tanpa menjawab, Bima langsung mencoba melepas kaos yang dipakai Sofia, dengan ekspresi seperti orang sedang menyelamatkan kaos kesayangannya dari bencana.
“Hei! Apa-apaan ini?!” protes Sofia, tapi gerakannya malah membuatnya kehilangan keseimbangan.
Dan … bruk!
Keduanya terjatuh ke lantai. Sofia berada tepat di atas tubuh Bima, posisi awkward maksimal, mata mereka saling bertemu dalam jarak yang... sangat tidak Islami.
Sofia membeku. Bima pun terdiam.
Detik berikutnya … klek!
Pintu kamar terbuka perlahan, dan muncullah wajah ceria yang tidak mereka harapkan sama sekali—Oma.
Senyuman lebar mengembang di wajah wanita itu. Matanya berbinar-binar seperti melihat harapan cucu.
“Oh...” gumam Oma sambil menutup mulutnya manja, “Maaf ya, Oma tadi langsung masuk. Pintunya nggak dikunci.”
Dia tersenyum malu, tapi jelas tidak buru-buru pergi. Matanya memandangi “adegan” di lantai seperti sedang menonton sinetron favoritnya.
Sofia dan Bima sama-sama shock. Yang satu masih di atas, yang satu tidak bisa bergerak.
“Oma cuma mau ngecek, siapa tahu pengantin barunya udah mulai mesra. Eeeh, ternyata beneran,” tambah Oma sambil tertawa geli sebelum akhirnya menutup pintu dengan senyum penuh restu.
Sofia langsung menjauh dari Bima seperti habis kesetrum. “GILA! Oma kamu ngeliat semuanya!”
Bima hanya menatap langit-langit kamar, pasrah.
Sofia memegang kepalanya. “Besok-besok kunci pintu dong! Aku hampir kena label 'istri idaman versi Oma'!”
“Aku tahu sekarang…” lanjutnya sambil menunjuk Bima dengan gaya detektif sok tahu, “Kamu itu belok kiri!”
“Belok kiri? Apa lagi itu?” ulang Bima, sekarang malah terdengar penasaran.
“Iya, eh... bukan!” Sofia mendekat selangkah, wajahnya serius tapi sok dramatis. “Kamu suka sesama jenis!”
Bima mengusap wajahnya, seperti baru sadar hidupnya tiba-tiba berubah jadi episode sinetron tanpa iklan.
“Udahlah,” ucap Sofia sambil menepuk perutnya. “Aku lapar. Kalau aku nggak makan, aku nggak akan kuat menghadapi kenyataan ini... terutama menghadapi Oma kamu yang terus saja membahas cucu, cicit, cicak... Terserah dia lah! Dapurnya di sebelah mana? Temani aku!"
Sofia langsung menarik tangan Bima agar menemaninya mencari makanan di dapur, apalagi Sofia belum tahu letak dapur di rumah megah itu.
Bima mendengus pelan, tapi tidak menepis tangan Sofia.
Saat mereka hampir tiba di dapur, sebuah suara menghentikan mereka.
"Mas Bima, tunggu!" terdengar suara perempuan dari arah belakang.
Bima menoleh cepat, begitu juga Sofia, meskipun wajahnya jelas menunjukkan ekspresi malas.
Sosok perempuan itu melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. Wajahnya penuh sinis, terutama saat matanya tertuju pada Sofia yang berdiri tenang di samping Bima.
Sofia langsung menangkap aura tidak bersahabat dari tatapan itu.
Perempuan itu—yang sepertinya sudah mengenali Sofia—langsung menyelip masuk di antara mereka berdua, tanpa permisi seperti sedang main sinetron dan kebagian peran mantan pacar tukang rusuh.
Saking mendadaknya, Sofia hampir terjatuh ke belakang. Untung refleksnya bagus.
‘Siapa sebenarnya orang aneh ini?’ pikir Sofia sambil merapikan langkah dan menjaga ekspresinya tetap netral.
“Mas Bima…” ucap perempuan itu dengan nada manja yang kedengarannya dipaksakan. “Kok kamu malah nikahnya sama dia, sih?”
Lusi—begitu nama perempuan itu terdengar dari sekelibat obrolan orang-orang sebelumnya—lalu menatap Sofia dari atas sampai bawah dengan tatapan skor fashion 3 dari 10.
“Memangnya Lusi masih kurang cantik ya?” lanjutnya sambil membenarkan rambut yang padahal sudah rapi.
Tak puas sampai di situ, ia menambahkan dengan nada lebih tinggi, “Padahal Lusi masih lajang loh! Kok malah nikahnya sama janda?”
“Sudah, Bos,” lapor salah satu anak buahnya. Aldi menyeringai puas. Semua benda yang bisa dipakai Sofia untuk melawan sudah disingkirkan dari kamar. Kali ini, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk melukai siapa pun. Dengan hati-hati, Aldi menuangkan bubuk obat perangsang ke dalam segelas air mineral. Ia mengaduk hingga larut, lalu melangkah masuk ke kamar bersama beberapa anak buahnya. Sofia yang duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan berlari ke arah pintu. Namun, tubuhnya dengan cepat ditangkap dan dibekap oleh dua pria kekar. “Lepaskan aku!” teriaknya, berjuang sekuat tenaga. Aldi mendekat dengan senyum licik. Tangannya mencengkeram rahang Sofia, memaksanya meneguk cairan itu meski ia berusaha menolak. “Bagus,” bisiknya puas, melihat Sofia akhirnya menelan minuman tersebut. Tubuh Sofia didorong kasar ke ranjang hingga terhempas. Nafasnya terengah, matanya berkaca-kaca. “Kali ini kau tidak akan bisa lolos,” ujar Aldi dengan nada penuh kemenangan. “Keangkuhanmu
*** Aran menekan bel, tak lama pintu apartemen pun terbuka. Lusi muncul di ambang pintu. Ia sempat terkejut melihat Aran berdiri di sana, bingung apa yang membuat pria itu datang ke tempatnya. Namun, keterkejutannya berubah saat pandangannya melewati bahu Aran. Di sana berdiri Bima. “Mas… Bima?” ucap Lusi dengan suara tercekat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk sesaat tubuhnya kaku, namun senyum perlahan merekah di bibirnya. Matanya berbinar penuh rasa kagum dan bahagia, seakan mimpi lamanya kini benar-benar hadir di depan mata. “Masuk, Mas… masuk,” ucap Lusi antusias, matanya tak lepas dari sosok Bima. Aran melangkah lebih dulu ke dalam, lalu Bima menyusul. Begitu pintu ditutup, Lusi masih tersenyum bahagia, langkahnya ringan saat mendekati Bima. “Mas Bima, mau Lusi bikinin minum apa? Atau makan? Lusi bisa masak kok—” “Sofia!” potong Bima tajam. Suara itu langsung menghentikan langkah dan kata-kata Lusi. Degh! Jantungnya berdegup keras, tubuh
Lala masuk ke rumah dengan tubuh penuh lebam, pakaian kotor, dan wajah yang tampak sangat kelelahan. “Lala, kamu dari mana?” tanya Oma terkejut melihat cucunya dalam kondisi begitu mengenaskan. Namun, Lala tidak menjawab. Tatapan matanya langsung tertuju pada Erin—tajam, penuh kebencian. Sementara Erin hanya menatapnya sinis, bahkan memutar bola mata dengan jenuh. Dari lantai atas, Bima berjalan menuruni anak tangga. Beberapa langkah lagi ia akan menginjak lantai dasar ketika suara Lala menghentikan langkahnya. “Sofia… dibawa Mama,” ucap Lala tegas. Sekejap, suasana ruang tamu membeku. Semua orang terdiam, bahkan Bima. Ia berhenti di anak tangga terakhir, menoleh ke arah Lala dengan tatapan penuh tanya. Sebelum Lala sempat melanjutkan, Erin lebih dulu menyela dengan nada ketus. “Kamu ngomong apa, hah? Baru pulang entah dari mana, langsung ngomong ngaco. Kalau cuma mau bikin onar, mending pergi sekalian!” “Diam!” bentak Bima, suaranya tegas memotong ucapan Erin. Pandanga
Sekujur tubuh Sofia bergetar hebat, ia mundur selangkah demi selangkah, punggungnya hampir menempel pada dinding. Sementara pria itu terus melangkah mendekat, sorot matanya penuh maksud yang membuat udara semakin mencekam. "Aku merasa pernah melihatmu… tapi di mana, ya?" gumamnya, mencoba mengingat. Namun sesaat kemudian ia menyeringai. "Ah, mungkin kau mirip dengan LC yang biasanya menemaniku," ucapnya sambil membuka satu per satu kancing kemejanya dengan santai. "Berhenti! Jangan lakukan itu… aku mohon!" suara Sofia bergetar, nyaris pecah oleh rasa takut. Pria itu malah tersenyum puas. "Kenapa harus berhenti? Bukankah kau juga akan merasakan nikmatnya?" katanya sambil melangkah semakin dekat, tangannya terulur penuh nafsu. Hanya tinggal satu langkah lagi, jarak di antara mereka hampir hilang. "Aku bilang berhenti!" pekik Sofia sambil mengangkat tangannya sebagai peringatan terakhir. Pria itu malah terkekeh, tatapannya kian liar. "Heh… kau memang cantik, dan sedi
Sofia masih terduduk di lantai, berusaha mencabut beling yang tertancap di telapak tangannya. Darah mengalir, perihnya membuat tubuhnya bergetar. Tiba-tiba pintu terbuka. Jantung Sofia berdegup kencang, mengira Aldi kembali. Tapi ternyata dua orang pelayan masuk. Pintu segera ditutup kembali, dijaga dua anak buah Aldi di luar. "Nona, biar kami bantu," ucap salah satu pelayan dengan suara pelan, mencoba mengangkat Sofia berdiri. Sementara pelayan lain cepat-cepat merapikan kamar, menyapu pecahan beling yang berserakan di lantai. "Nona, sekarang Anda harus mandi, lalu makan," ujar pelayan itu lembut. Sofia menggeleng cepat, matanya memohon. "Aku mau keluar dari sini!" serunya putus asa. "Itu tidak mungkin, Nona. Mari, saya bantu Anda membersihkan diri," bujuk pelayan itu lagi. "Aku nggak mau!" Sofia kembali memberontak, menolak keras. Tangannya yang terluka semakin sakit saat ia melawan. "Nona, Anda harus mandi," kali ini nada pelayan berubah memaksa. "Aku bilang tida
Aldi menyeringai licik sambil melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Kemudian ia melepas kemeja itu dan perlahan merangkak naik ke atas ranjang. "Aldi, jangan kurang ajar!" pekik Sofia sambil bergerak turun. Bahkan ia sampai terjatuh karena terlalu panik. Sofia bangkit cepat dan berlari ke arah pintu, berulang kali memutar gagangnya dengan harapan bisa keluar. Sementara itu, Aldi kini berbaring miring di ranjang dengan santai sambil menatapnya. "Sofia, kemarilah. Kita ulangi percintaan kita yang dulu," katanya. "Gila kamu! Aku sudah punya suami!" balas Sofia. "Memangnya suami pura-puramu itu sehebat apa di ranjang?" ejek Aldi. Kemudian ia turun dari ranjang dan berjalan santai mendekati Sofia. Aldi langsung memeluknya dari belakang tanpa ragu, menyingkirkan rambut Sofia, lalu mengecup tengkuk bagian belakangnya. "Aldi!" pekik Sofia penuh kebencian. Aldi hanya terkekeh, sementara tangannya mulai menjalar liar. "Jangan kurang ajar!" Sofia pun mendorongnya sekuat